Sejumlah ajudan Presiden Korea Selatan yang dimakzulkan, Yoon Suk Yeol, mengajukan pengunduran diri secara kolektif pada Rabu, 1 Januari 2025. Keputusan ini mengundang perhatian luas setelah sejumlah pejabat tinggi pemerintahan Yoon, termasuk kepala staf presiden, penasihat kebijakan, dan penasihat keamanan nasional, secara resmi mengundurkan diri. Pengunduran diri ini juga melibatkan semua sekretaris senior yang bekerja di bawah Yoon, namun hingga saat ini, rincian lebih lanjut mengenai keputusan tersebut belum diungkapkan oleh kantor kepresidenan.
Para ajudan tersebut sebelumnya sudah mengindikasikan niat mereka untuk mundur setelah upaya Presiden Yoon yang gagal untuk mengumumkan darurat militer pada 3 Desember 2024. Namun, meski telah menyatakan pengunduran diri mereka, para pejabat tersebut belum menerima persetujuan dari Presiden Yoon.
Menurut sumber di dalam pemerintahan, beberapa sekretaris senior masih membantu Presiden sementara, Choi Sang-mok, yang menggantikan posisi Yoon setelah pemakzulan. Meskipun tidak terlibat langsung dalam operasional pemerintahan sehari-hari, mereka tetap diharuskan melapor kepada Choi dan hadir dalam rapat-rapat penting apabila diperlukan.
Tawaran pengunduran diri para ajudan tersebut datang tidak lama setelah Choi menyetujui pengisian dua lowongan di Mahkamah Konstitusi, yang terlibat dalam proses persidangan pemakzulan Yoon. Keputusan ini memunculkan ketegangan di kalangan politikus Korea Selatan, khususnya dari Partai Kekuatan Rakyat yang berkuasa di bawah Yoon. Mereka mengkritik keputusan Choi sebagai kurang melalui konsultasi dan terlalu dogmatis.
Krisis ini semakin diperburuk dengan pemakzulan Perdana Menteri Han Duck-soo pada 14 Desember 2024. Han, yang sebelumnya menjabat sebagai penjabat presiden sementara, digantikan oleh Choi. Sementara itu, Yoon kini tengah menghadapi penyelidikan serius terkait tuduhan pemberontakan, dan pada 31 Desember 2024, pengadilan Seoul memberikan persetujuan pertama dalam sejarah untuk penangkapan seorang presiden yang sedang menjabat. Keputusan pengadilan ini semakin memperburuk situasi politik di Korea Selatan.
Krisis pemerintahan ini menciptakan ketidakpastian di negara tersebut, dengan banyak pihak berharap agar proses hukum dan politik dapat berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku, demi menjaga stabilitas negara.