Pada Minggu, 8 Desember 2024, terjadi momen monumental dalam sejarah Suriah, ketika pasukan oposisi berhasil merebut ibu kota Damaskus, yang menyebabkan runtuhnya rezim otoriter Presiden Bashar Al-Assad. Kejatuhan ini terjadi dengan sangat cepat, hanya dalam waktu kurang dari dua minggu sejak pasukan pemberontak mulai menggempur pusat pemerintahan di Damaskus.
Kemenangan ini merupakan klimaks dari konflik yang telah berlangsung lebih dari satu dekade, yang melibatkan pasukan pemberontak dari berbagai kelompok dan dukungan kuat dari kekuatan internasional, terutama Rusia dan Iran yang secara militer mendukung rezim Assad.
Kepungan Pasukan Pemberontak dan Kepergian Bashar Al-Assad
Rezim Bashar Al-Assad, yang dikenal dengan kebijakan represifnya terhadap rakyatnya, terutama dalam menghadapi protes dan pemberontakan yang dimulai pada 2011, akhirnya tak mampu bertahan terhadap tekanan besar dari pasukan oposisi. Sejak awal perang saudara, Assad terlibat dalam tindakan brutal, termasuk penggunaan senjata kimia terhadap warganya sendiri, yang menambah intensitas konflik.
Setelah pasukan pemberontak semakin mendekati Damaskus, Assad dilaporkan melarikan diri ke Rusia pada Minggu malam. Beberapa pejabat Iran dan media pemerintah Rusia, seperti TASS, mengonfirmasi bahwa Assad, bersama keluarganya, telah mendapatkan suaka politik di Rusia. Kepergian Assad menandakan berakhirnya salah satu rezim paling otoriter dan kontroversial di Timur Tengah.
Kronologi Jatuhnya Rezim Assad: 14 Tahun Perang Saudara Suriah
Keputusan Assad untuk melarikan diri tidak terjadi secara tiba-tiba. Itu adalah puncak dari pemberontakan yang telah berlangsung selama hampir 14 tahun. Konflik ini telah mengorbankan ratusan ribu nyawa dan menyebabkan lebih dari separuh populasi Suriah terpaksa meninggalkan rumah mereka. Perang saudara Suriah ini bukan hanya perang domestik, tetapi juga menarik perhatian kekuatan internasional, yang mempengaruhi situasi politik di kawasan tersebut.
Lebih dari 500.000 orang diperkirakan telah meninggal akibat konflik ini, sementara sekitar 6,8 juta orang terpaksa mengungsi ke luar negeri. Banyak dari mereka mencari perlindungan di negara-negara Eropa, yang kemudian memicu gelombang protes dan gerakan sayap kanan anti-imigran di seluruh benua.
Tahun-Tahun Kritis dalam Perjalanan Runtuhnya Rezim Assad
- 2011: Awal dari Pemberontakan dan Tanggapan Rezim Assad Protes pertama yang mengguncang Suriah dimulai pada 2011, ketika rakyat menuntut perubahan dan reformasi dari pemerintah yang dipimpin oleh Bashar Al-Assad. Protes ini dengan cepat meluas ke seluruh negeri, dan sebagai respons, pasukan keamanan Assad melakukan penangkapan dan penembakan terhadap para demonstran. Beberapa kelompok pengunjuk rasa mulai mengangkat senjata, dan dalam waktu singkat, pemberontakan berubah menjadi perang saudara yang semakin sengit. Pemberontakan ini mendapatkan dukungan dari negara-negara Barat, negara-negara Arab, dan Turki.
- 2012: Kemunculan Al-Qaeda dan Front Nusra Pada 2012, kelompok militan Al-Qaeda mendirikan afiliasi mereka di Suriah, yang dikenal sebagai Front Nusra. Kelompok ini mulai terlibat dalam operasi-operasi teroris, termasuk pengeboman besar-besaran di Damaskus, yang semakin memperburuk situasi. Front Nusra secara cepat memperoleh kekuasaan di berbagai wilayah Suriah dan mulai mengalahkan kelompok-kelompok dengan ideologi nasionalis.
Dampak Jangka Panjang: Suriah dan Dunia Internasional
Kehancuran yang terjadi di Suriah bukan hanya menyisakan luka bagi rakyatnya, tetapi juga memengaruhi politik internasional. Kehadiran kekuatan asing seperti Rusia dan Iran, serta dukungan dari negara-negara Barat, memperumit upaya perdamaian. Pengungsi Suriah yang melarikan diri ke Eropa menciptakan dampak sosial dan politik besar, yang turut mengubah peta politik di banyak negara Eropa, dengan tumbuhnya gerakan-gerakan anti-imigran yang berusaha membatasi masuknya pengungsi.
Kesimpulan: Perubahan Besar untuk Suriah dan Masa Depan yang Tak Pasti
Jatuhnya rezim Bashar Al-Assad menandakan berakhirnya salah satu fase paling kelam dalam sejarah Suriah. Namun, meskipun pemerintahan Assad telah runtuh, tantangan besar tetap menanti. Suriah kini harus menghadapi masa depan yang tidak pasti, dengan banyaknya kelompok yang saling bersaing untuk menguasai wilayah yang telah hancur dan terpecah. Dalam konteks ini, penting bagi komunitas internasional untuk berperan dalam membantu memulihkan negara ini.
Di sisi lain, bagi warga Suriah yang telah kehilangan segalanya, harapan akan kehidupan yang lebih baik dan damai tetap ada, meskipun perjalanan menuju rekonsiliasi dan stabilitas akan sangat sulit dan panjang.