Duta Besar Afrika Selatan Pulang Tanpa Penyesalan Setelah Didepak AS

Ebrahim Rasool, Duta Besar Afrika Selatan untuk Amerika Serikat yang diusir, mengungkapkan bahwa ia kembali ke tanah airnya tanpa rasa penyesalan. Setelah menempuh perjalanan panjang selama 32 jam dari AS melalui Qatar ke Cape Town, Rasool menegaskan bahwa dirinya lebih memilih kembali dalam kondisi adanya kesepakatan dengan AS. Namun, menurutnya, Afrika Selatan tidak dapat membiarkan pihak lain menentukan siapa yang boleh menjadi sekutunya dan siapa yang harus dijadikan lawan. Ia juga menyoroti bahwa negaranya belum berhasil membantah narasi yang menyebut adanya “genosida kulit putih” di Afrika Selatan.

Rasool menekankan bahwa Afrika Selatan tidak bisa mendapatkan kembali manfaat dari Undang-Undang Pertumbuhan dan Peluang Afrika (AGOA) dengan menarik gugatan genosida terhadap Israel di Mahkamah Internasional (ICJ). Ia menegaskan bahwa jika negaranya tidak membawa kasus ini ke ICJ, maka tindakan Israel tidak akan terungkap dan perjuangan Palestina akan kehilangan harapan. Meski demikian, Rasool menampik anggapan bahwa Afrika Selatan bersikap anti-Amerika. Ia tetap menilai hubungan dengan AS perlu diperbaiki dan disusun ulang meskipun ia telah dinyatakan sebagai persona non grata.

Keputusan pengusiran Rasool diumumkan oleh Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, setelah komentarnya dalam sebuah webinar yang diselenggarakan oleh Institut Mapungubwe Afrika Selatan. Dalam kesempatan itu, ia menuding Donald Trump menjalankan kebijakan yang mencerminkan supremasi kulit putih dalam menanggapi perubahan demografi di AS. Situasi ini terjadi di tengah meningkatnya ketegangan antara Washington dan Pretoria, terutama setelah Trump memutuskan untuk menghentikan bantuan finansial ke Afrika Selatan dengan alasan kebijakan perampasan tanah, kasus genosida terhadap Israel, serta hubungan yang semakin erat antara Afrika Selatan dan Iran.

Presiden Afrika Selatan: Agresi Israel Terhadap Gaza Tidak Bisa Dibiarkan Berlanjut

Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa, kembali menegaskan bahwa serangan militer Israel terhadap Gaza dan Palestina adalah tindakan yang tidak manusiawi dan harus dihentikan segera. Pernyataan tersebut disampaikan dalam pidato resmi pada sebuah konferensi internasional yang diadakan di Johannesburg, Afrika Selatan, pada Senin (09/12).

Ramaphosa mengutuk keras serangan Israel yang telah menggempur Gaza sejak Oktober 2024, yang mengakibatkan ribuan korban jiwa di kalangan warga sipil dan puluhan ribu orang lainnya terluka. “Kekerasan ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Dunia harus bersatu untuk menekan Israel agar segera menghentikan agresinya yang tidak berperikemanusiaan terhadap rakyat Palestina,” ujar Ramaphosa.

Afrika Selatan, yang dikenal dengan sejarah perjuangannya melawan apartheid, selama ini selalu mendukung hak-hak rakyat Palestina dan mengecam kebijakan Israel yang dianggap sebagai bentuk penjajahan. Ramaphosa juga menekankan bahwa negara-negara di seluruh dunia, terutama di Afrika, perlu lebih aktif mendesak perdamaian di kawasan Timur Tengah.

Pernyataan ini juga sejalan dengan upaya Afrika Selatan yang terus mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Gaza serta menyerukan adanya sanksi internasional terhadap Israel.

Dalam pidatonya, Ramaphosa juga mengimbau masyarakat internasional untuk memberikan tekanan pada Israel agar segera duduk bersama Palestina dalam perundingan yang bertujuan mencapai perdamaian yang adil dan abadi.

Sementara itu, beberapa negara, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa, masih terpecah dalam respons mereka terhadap konflik ini, namun aksi solidaritas terhadap Gaza terus digelar di berbagai penjuru dunia.

Presiden Afrika Selatan Sebut Perang Biadab Penjajah Israel Terhadap Rakyat Gaza Harus Diakhiri Segera

Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa, kembali menegaskan bahwa agresi militer Israel terhadap Palestina, khususnya Gaza, merupakan tindakan biadab yang harus segera dihentikan. Pernyataan tersebut disampaikan dalam pidato resmi pada konferensi internasional yang digelar di Johannesburg, Afrika Selatan, pada Senin (09/12).

Ramaphosa mengecam keras serangan Israel yang terus menggempur wilayah Gaza sejak Oktober 2024, yang telah menewaskan ribuan warga sipil dan melukai puluhan ribu lainnya. “Kekerasan ini tidak bisa dibiarkan terus berlangsung. Dunia harus bersatu dan mendesak Israel untuk menghentikan agresinya yang tidak berperikemanusiaan terhadap rakyat Palestina,” kata Ramaphosa.

Afrika Selatan, yang dikenal sebagai negara dengan sejarah perjuangan melawan apartheid, telah lama mendukung hak-hak Palestina dan mengutuk kebijakan Israel yang dianggap sebagai bentuk penjajahan. Ramaphosa menambahkan bahwa negara-negara di dunia, terutama di Afrika, harus lebih aktif dalam mengadvokasi perdamaian di Timur Tengah.

Pernyataan ini juga sejalan dengan langkah Afrika Selatan yang terus mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Gaza serta menyerukan sanksi internasional terhadap Israel. “Keberpihakan pada Palestina adalah keberpihakan terhadap keadilan dan hak asasi manusia,” tambahnya.

Dalam pidatonya, Ramaphosa juga menyerukan masyarakat internasional untuk menekan Israel agar segera duduk dalam meja perundingan dengan Palestina demi tercapainya perdamaian yang adil dan langgeng.

Sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa, masih terpecah dalam menanggapi konflik ini, sementara aksi solidaritas untuk Gaza terus bergulir di berbagai belahan dunia.