Tatanan Konstitusional AS Terancam, Dubes Jerman Suarakan Kekhawatiran atas Rencana Trump

Andreas Michaelis, Duta Besar Jerman untuk Amerika Serikat, memberikan peringatan serius mengenai agenda pemerintahan Donald Trump yang dapat mengancam independensi lembaga penegak hukum dan media di AS. Dalam sebuah dokumen internal yang didapat oleh Reuters, Michaelis menyoroti bahwa pemerintahan Trump berpotensi merubah tatanan konstitusional negara, dengan mengonsentrasikan kekuasaan di tangan presiden dan memberikan peran yang lebih besar bagi perusahaan-perusahaan teknologi dalam pengambilan keputusan politik.

Dokumen yang ditandatangani oleh Michaelis dan bertanggal 14 Januari ini menggambarkan bahwa Trump berencana untuk memperkuat kekuasaannya melalui berbagai cara yang bisa melemahkan lembaga-lembaga demokratis, seperti Kongres, lembaga penegak hukum, dan media. Dalam dokumen tersebut, Michaelis menyatakan bahwa prinsip dasar demokrasi dan checks and balances dapat tergerus. Ia juga memperingatkan bahwa, di bawah agenda Trump, perusahaan-perusahaan besar di sektor teknologi bisa diberikan kekuatan untuk berperan dalam pemerintahan, merubah cara kebijakan publik ditentukan.

Sebagai respon, Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock menekankan bahwa Berlin akan terus menjalin hubungan erat dengan AS, tetapi tetap membela kepentingan negara Jerman. Ia juga menyatakan bahwa Michaelis hanya melaksanakan tugasnya sebagai duta besar dalam menyampaikan pandangannya terkait pemerintahan Trump. Sementara itu, meskipun pemerintahan Kanselir Jerman Olaf Scholz lebih berhati-hati dalam memberikan kritik terbuka terhadap Trump, penilaian rahasia yang diajukan Michaelis mencerminkan pandangan blak-blakan dari seorang diplomat senior.

Menurut dokumen tersebut, Mahkamah Agung AS memiliki peran penting dalam mempertahankan batasan terhadap kekuasaan eksekutif Trump. Namun, Michaelis juga menunjukkan bahwa meskipun pengadilan AS baru-baru ini memperluas kewenangan presiden, banyak pihak yang yakin bahwa pengadilan akan mencegah kesalahan yang lebih besar. Salah satu area yang paling dikhawatirkan Michaelis adalah kendali Trump terhadap Departemen Kehakiman dan FBI, yang menurutnya akan memfasilitasi pelaksanaan kebijakan kontroversial seperti deportasi massal dan pembalasan terhadap musuh politiknya.

Selain itu, Michaelis juga memperingatkan kemungkinan perubahan terhadap Amandemen Pertama yang melindungi kebebasan berbicara. Ia menyebutkan bahwa Trump, bersama dengan miliarder Elon Musk yang memiliki platform X, sudah mulai mengambil tindakan terhadap perusahaan media dan kritikusnya dengan menggunakan ancaman gugatan hukum, tuntutan pidana, dan manipulasi algoritma media sosial.

Peringatan ini muncul pada saat Jerman menghadapi ketegangan dengan AS dalam hubungan bilateral mereka, yang memuncak pada masa jabatan pertama Trump. Ketegangan ini terutama terkait dengan kebijakan tarif tinggi yang diterapkan Trump dan kritik terhadap kegagalan Jerman dalam memenuhi anggaran pertahanan NATO. Sebagai bagian dari respons terhadap kebijakan luar negeri Trump, Jerman berusaha mencari keseimbangan antara bekerja sama dengan AS dan melindungi kepentingan nasionalnya.

Dengan situasi politik yang semakin memanas, pandangan Michaelis memberikan gambaran tentang kekhawatiran yang ada di Eropa mengenai masa depan demokrasi di Amerika Serikat jika agenda Trump benar-benar terwujud.

Harga Minyak Tertekan Akibat Data Ekonomi AS Dan Jerman

Harga minyak mentah dunia mengalami penurunan signifikan setelah lima hari berturut-turut mencatatkan kenaikan. Penurunan ini dipicu oleh data ekonomi yang lemah dari Amerika Serikat dan Jerman, yang menimbulkan kekhawatiran mengenai permintaan energi global.

Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Februari 2025 turun sebesar 40 sen atau sekitar 0,5 persen menjadi USD73,56 per barel di New York Mercantile Exchange. Sementara itu, harga minyak mentah Brent juga mengalami penurunan, merosot 21 sen menjadi USD76,30 per barel di London ICE Futures Exchange. Penurunan harga ini menunjukkan bahwa pasar minyak sedang menghadapi tekanan dari faktor-faktor eksternal yang memengaruhi permintaan.

Data ekonomi terbaru dari AS menunjukkan adanya penurunan pesanan barang manufaktur pada bulan November, terutama disebabkan oleh lemahnya permintaan untuk pesawat komersial. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pertumbuhan ekonomi AS mungkin melambat, yang pada gilirannya dapat mengurangi permintaan energi. Penurunan ini mencerminkan tantangan yang dihadapi sektor industri di AS dan dampaknya terhadap pasar energi global.

Di sisi lain, inflasi tahunan di Jerman untuk bulan Desember lebih tinggi dari perkiraan, didorong oleh kenaikan harga makanan dan penurunan harga energi yang lebih kecil dibandingkan bulan sebelumnya. Bank sentral Jerman kemungkinan akan menaikkan suku bunga untuk mengatasi inflasi ini, yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menurunkan permintaan energi. Ini menunjukkan bahwa kondisi ekonomi Eropa juga berkontribusi pada ketidakpastian dalam pasar minyak.

Analis dari Eurasia Group menyatakan bahwa pasar minyak memasuki tahun 2025 dengan pasokan dan permintaan yang seimbang. Namun, ketegangan geopolitik dan kekhawatiran tentang permintaan yang rendah dari negara-negara besar seperti AS tetap menjadi faktor penentu harga minyak. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk menjaga keseimbangan pasar, faktor eksternal tetap memengaruhi stabilitas harga.

Meskipun sebelumnya harga minyak sempat naik akibat badai musim dingin yang melanda AS dan peningkatan permintaan gas alam, reaksi pasar terhadap data ekonomi yang lemah menunjukkan bahwa investor tetap waspada. Dolar AS yang kembali menguat setelah Presiden terpilih Donald Trump membantah laporan mengenai tarif impor terbatas juga memberikan dampak pada pasar minyak. Kenaikan nilai dolar membuat komoditas berdenominasi dolar menjadi lebih mahal bagi pembeli menggunakan mata uang lain.

Dengan penurunan harga minyak akibat data ekonomi AS dan Jerman, tahun 2025 diharapkan akan menjadi tahun penuh tantangan bagi pasar energi global. Semua pihak kini diajak untuk memperhatikan perkembangan ekonomi global dan dampaknya terhadap permintaan energi. Keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini akan sangat bergantung pada bagaimana negara-negara besar dapat beradaptasi dengan kondisi pasar yang berubah-ubah.

Kapal Perang AS Menembak Jatuh Jet Tempur FA-18 Di Laut Merah

Pada tanggal 22 Desember 2024, sebuah insiden yang tidak terduga terjadi di perairan Laut Merah, ketika sebuah kapal perang Amerika Serikat secara tidak sengaja menembak jatuh pesawat tempur FA-18 Hornet milik Angkatan Laut AS. Insiden ini memicu kekhawatiran mengenai keselamatan personel militer AS di wilayah tersebut. Kejadian ini terjadi ketika pesawat tersebut melakukan latihan rutin bersama beberapa armada tempur di kawasan tersebut.

Menurut laporan yang diterima, insiden ini terjadi akibat kesalahan sistem senjata pada kapal perang tersebut. Sumber militer yang anonim menyatakan bahwa sistem radar kapal mendeteksi pesawat FA-18 sebagai ancaman, meskipun pesawat tersebut sedang dalam misi latihan rutin. Proses komunikasi yang kurang lancar dan respons yang terburu-buru dari awak kapal menyebabkan peluncuran misil yang menargetkan pesawat tempur tersebut. Misil tersebut berhasil menghancurkan pesawat dalam hitungan detik setelah peluncuran.

Setelah insiden ini, Angkatan Laut AS segera meluncurkan penyelidikan untuk mengungkap penyebab pasti kecelakaan tersebut. Para pejabat militer AS berjanji akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap prosedur operasional dan sistem senjata yang ada pada kapal perang tersebut. Sementara itu, identitas pilot yang terlibat dalam insiden ini belum diumumkan, namun dilaporkan bahwa ia berhasil eject dan dalam kondisi aman.

Kejadian ini menambah ketegangan di kawasan Timur Tengah, di mana AS sudah terlibat dalam berbagai operasi militer. Insiden ini menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas pengendalian senjata otomatis di kapal perang modern dan dampaknya terhadap operasi militer di wilayah sensitif. Sebagai respons, beberapa pihak mengkhawatirkan potensi terjadinya insiden serupa yang bisa meningkatkan risiko konflik di Laut Merah.

Serangan Rudal Tewaskan Tiga Orang, Putin Tawarkan Dialog dengan Trump di Hari ke-1.030 Perang

Perang antara Rusia dan Ukraina memasuki fase yang semakin memanas, dengan tanggal 19 Desember 2024 menandai hari ke-1.030 dari konflik yang tak kunjung reda. Pada hari itu, dua peristiwa besar terjadi: serangan rudal Rusia yang menewaskan tiga warga sipil di wilayah Kharkiv, dan pernyataan Presiden Rusia Vladimir Putin yang menyatakan siap untuk berunding kapan saja dengan Presiden terpilih AS, Donald Trump.

Putin Siap Berunding dengan Trump

Dalam konferensi pers pada Kamis (19/12), Putin menyampaikan kesiapan Rusia untuk berdialog dengan Presiden terpilih AS, Donald Trump, mengenai situasi Ukraina. Putin mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki jadwal pasti mengenai pertemuan dengan Trump, namun ia akan menyambut baik kesempatan untuk berbicara. “Saya siap kapan saja,” ujar Putin, menanggapi potensi pertemuan dengan Trump yang direncanakan pada Januari 2025, ketika Trump kembali menjabat di Gedung Putih.

Donald Trump, yang sebelumnya telah berjanji akan segera menemukan solusi damai untuk Ukraina, menjadi sorotan. Namun, kepulangannya ke kekuasaan memunculkan kekhawatiran di Kyiv, karena Trump diyakini bisa menekan Ukraina untuk menerima perdamaian dengan syarat yang menguntungkan Rusia. Sementara itu, Putin juga mengungkapkan rasa optimisnya bahwa jika dialog dengan Trump berlangsung, banyak hal yang dapat dibicarakan, dengan Rusia siap untuk melakukan negosiasi dan kompromi.

Serangan Rudal Rusia Tewaskan Tiga Orang di Kharkiv

Di sisi lain, meski ada pernyataan optimis mengenai kemungkinan dialog, situasi di lapangan masih jauh dari damai. Pada hari yang sama, serangan rudal Rusia mengguncang desa Shevchenkove di wilayah Kharkiv timur. Serangan ini menewaskan tiga orang dan melukai beberapa lainnya. Polisi setempat melaporkan bahwa dua wanita tewas akibat serangan rudal Iskander yang diluncurkan pada pukul 13.00 GMT. Selain itu, seorang pria juga terluka parah.

Desa Shevchenkove merupakan salah satu daerah yang menjadi fokus pasukan Rusia, yang terus berusaha merebut kembali kota Kupiansk—wilayah yang sempat dikuasai pasukan Ukraina pada tahun 2022. Meskipun pasukan Ukraina berhasil merebut kembali wilayah tersebut melalui serangan kilat, pasukan Rusia kini kembali berusaha merebutnya dengan kekuatan yang lebih besar.

Dengan pasukan Ukraina yang jumlahnya terbatas dan perlengkapan yang tidak sebanding dengan kekuatan Rusia, kondisi di wilayah Kharkiv dan Donetsk semakin terdesak. Banyak analis yang memperkirakan bahwa pasukan Rusia akan terus mendominasi wilayah ini, berusaha memperluas kontrol mereka di sepanjang garis depan yang semakin menipis.

Masa Depan yang Tidak Pasti

Konflik ini masih menunjukkan tanda-tanda ketegangan yang tinggi, dengan sedikit harapan untuk kesepakatan damai dalam waktu dekat. Perang yang telah berlangsung lebih dari dua tahun ini tidak hanya menyebabkan kehancuran fisik, tetapi juga menguji ketahanan mental masyarakat Ukraina dan Rusia. Sementara dunia menunggu perkembangan lebih lanjut, kemajuan diplomasi dan serangan-serangan militer tetap menjadi bagian dari kenyataan yang tak terelakkan.

Apakah pertemuan antara Putin dan Trump akan membawa perubahan, ataukah serangan-serangan seperti yang terjadi di Kharkiv akan semakin memperburuk keadaan? Semua ini masih menjadi pertanyaan besar yang harus dijawab dalam hari-hari mendatang.

Serikat Pekerja Starbucks Mogok, Ganggu Layanan di Musim Liburan AS

Pada Jumat pagi, 20 Desember 2024, serikat pekerja yang mewakili lebih dari 10.000 karyawan Starbucks di Amerika Serikat melancarkan aksi mogok di Los Angeles, Chicago, dan Seattle. Aksi ini dilakukan di tengah musim liburan yang padat, dengan potensi menyebar ke ratusan toko lainnya menjelang Malam Natal. Workers United, serikat pekerja yang mewakili karyawan dari 525 toko Starbucks di seluruh negeri, menyatakan bahwa mogok ini merupakan bentuk protes terhadap lambannya proses negosiasi perjanjian perundingan bersama (CBA).

Dalam sebuah pernyataan, serikat pekerja mengkritik Starbucks karena gagal memberikan proposal ekonomi yang layak, meskipun perusahaan sebelumnya berkomitmen untuk menyelesaikan kontrak pada akhir tahun 2024. Pada Februari lalu, kedua belah pihak telah sepakat untuk memulai perundingan guna menyelesaikan sengketa hukum yang tertunda. Proses negosiasi dimulai pada April dengan tujuan mencapai kesepakatan. Namun, hingga Desember, serikat pekerja menilai perusahaan tidak menunjukkan kemajuan yang berarti dalam pembicaraan.

“Starbucks berulang kali menjanjikan akan mencapai kesepakatan, tetapi hingga kini tidak ada tawaran serius yang diberikan. Ini adalah bentuk pengabaian terhadap hak-hak pekerja,” ujar Workers United dalam pernyataan mereka yang dirilis pada Kamis, 19 Desember 2024.

Aksi mogok ini berpotensi mengganggu layanan Starbucks, terutama di kota-kota besar, yang biasa ramai dengan pelanggan selama musim liburan. Serikat pekerja berharap mogok ini akan memberi tekanan pada perusahaan untuk segera mencapai kesepakatan. Walau begitu, Starbucks belum memberikan tanggapan resmi terkait aksi mogok ini.

Di sisi lain, Starbucks, yang baru saja mengangkat Brian Niccol sebagai CEO, sedang menjalani perombakan besar-besaran untuk mengembalikan “budaya kedai kopi” yang lebih nyaman bagi pelanggan, dengan meningkatkan kenyamanan, mengurangi waktu tunggu, dan menyederhanakan menu. Namun, meskipun perombakan ini sedang berlangsung, serikat pekerja menegaskan bahwa tuntutan mereka sangat jelas: sebuah kontrak yang adil bagi para karyawan.

Jika kesepakatan tidak tercapai, aksi mogok ini diperkirakan akan meluas ke lebih banyak lokasi hingga puncak musim liburan, yang tentunya dapat mempengaruhi operasional Starbucks secara signifikan. Sementara itu, para pekerja tetap bertahan pada prinsip mereka untuk memperjuangkan hak yang lebih baik dan mendapatkan kontrak yang sesuai dengan nilai dan kontribusi yang mereka berikan.

Aksi mogok ini mencerminkan ketegangan antara perusahaan besar dan pekerjanya, dengan harapan akan tercapai kesepakatan yang saling menguntungkan sebelum musim liburan mencapai puncaknya.

Pria China Ditangkap Karena Terbangkan Drone Di Atas Pangkalan Militer Negara AS

Jakarta — Seorang pria asal China baru-baru ini ditangkap oleh pihak berwenang Amerika Serikat setelah terdeteksi menerbangkan drone di atas sebuah pangkalan militer AS. Insiden ini semakin memperburuk ketegangan yang sudah ada antara kedua negara, yang tengah terlibat dalam persaingan global di berbagai bidang, termasuk teknologi dan keamanan.

Pria yang teridentifikasi sebagai warga negara China itu dilaporkan terbangkan drone di atas Pangkalan Militer Wright-Patterson, salah satu fasilitas militer penting yang terletak di Ohio, AS. Aktivitas ini dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan nasional karena drone tersebut dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi sensitif atau bahkan melakukan kegiatan spionase. Pihak berwenang AS segera mengambil tindakan tegas dengan menangkap pria tersebut dan menyita drone yang digunakan.

Insiden ini menambah ketegangan antara AS dan China, yang sudah lama saling curiga terkait isu spionase dan pencurian teknologi. Pemerintah AS telah beberapa kali menuduh China terlibat dalam berbagai upaya untuk mengakses data dan teknologi militer AS, baik secara langsung maupun melalui metode tidak sah seperti penggunaan drone. Kasus ini menambah daftar panjang insiden yang melibatkan kedua negara dalam beberapa tahun terakhir, yang kerap berfokus pada keamanan dan pengawasan teknologi.

Pria tersebut kini sedang menjalani proses hukum di AS, dengan berbagai kemungkinan tuntutan yang dapat dikenakan, termasuk pelanggaran terhadap undang-undang keamanan nasional. Pihak berwenang AS masih melakukan investigasi untuk mengetahui tujuan dan latar belakang aktivitas drone tersebut. Pihak kedutaan China di Washington DC juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap penangkapan ini, meskipun mereka menegaskan bahwa mereka akan menghormati proses hukum yang berlaku.

Kasus ini diprediksi akan semakin memperburuk hubungan antara AS dan China, yang sudah mengalami ketegangan dalam beberapa tahun terakhir. Kejadian semacam ini bisa menjadi katalis bagi kebijakan yang lebih ketat terhadap penggunaan teknologi drone dan pengawasan militer di kedua negara. Kedua pihak diharapkan akan meningkatkan komunikasi untuk mencegah terjadinya insiden serupa di masa depan yang dapat memicu konflik lebih besar.

Penyelidikan lebih lanjut terhadap insiden ini diharapkan dapat memberikan gambaran lebih jelas mengenai niat pria tersebut dan dampaknya terhadap keamanan nasional kedua negara.

Rusia Buka Peluang Hentikan Perang Dengan Ukraina Jika Trump Memulai Inisiasi Politik

Pada 15 November 2024, pemerintah Rusia menyatakan kesediaannya untuk menghentikan konflik dengan Ukraina jika Presiden Tepilih Amerika Serikat 2024, Donald Trump, memulai inisiatif politik yang dapat mengarah pada penyelesaian damai. Pernyataan ini disampaikan oleh juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, yang mengungkapkan bahwa Rusia siap untuk berdialog dengan pihak Ukraina jika ada pendekatan yang lebih konstruktif dari AS, yang dipimpin oleh Trump, untuk meredakan ketegangan. Peskov menambahkan bahwa Rusia menganggap Trump sebagai figur yang lebih mungkin membuka jalan menuju penyelesaian diplomatik.

Rusia menilai bahwa pendekatan politik yang lebih tegas dari Trump dapat mempercepat proses diplomasi yang telah terhambat oleh kebijakan keras pemerintahan Joe Biden. Selama masa kepresidenannya, Trump sering kali dikenal dengan pendekatannya yang lebih pragmatis dalam hubungan internasional, termasuk dengan Rusia. Oleh karena itu, Kremlin percaya bahwa Trump, jika terpilih kembali, bisa memainkan peran kunci dalam memulai proses perundingan yang dapat mengakhiri perang yang telah berlangsung selama lebih dari dua tahun.

Pernyataan Rusia ini juga menyoroti pentingnya peran Amerika Serikat dalam konflik Ukraina. Meskipun Trump tidak lagi menjabat sebagai presiden, pengaruh politik AS tetap signifikan dalam memediasi konflik ini. Rusia berharap bahwa inisiasi dari Trump dapat mengurangi ketegangan antara kedua negara dan membuka peluang bagi kedua belah pihak untuk duduk bersama di meja perundingan.

Meskipun pernyataan ini memberikan secercah harapan untuk perdamaian, beberapa analis internasional berpendapat bahwa ini lebih merupakan strategi politik dari Rusia untuk mempengaruhi pemilu AS 2024. Dengan menciptakan ketegangan baru dan menawarkan solusi yang tampaknya mudah, Rusia bisa saja berharap untuk mendapatkan keuntungan diplomatik. Namun, apakah Trump akan mengambil langkah ini tetap menjadi pertanyaan besar yang masih harus dijawab dalam beberapa bulan mendatang.

Donald Trump Telepon Putin Wanti-wanti Soal Perang Di Ukraina

Pada tanggal 10 November 2024, Presiden Terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, melakukan panggilan telepon dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin, dalam sebuah upaya untuk memberi peringatan terkait eskalasi konflik di Ukraina. Pembicaraan tersebut berlangsung di tengah ketegangan yang semakin meningkat antara kedua negara, seiring dengan berlanjutnya perang yang sudah memasuki tahun ketiga. Trump, yang saat ini sedang mempersiapkan pencalonan untuk pemilu presiden AS 2024, dikabarkan memberikan pesan tegas kepada Putin agar menghindari tindakan yang dapat memperburuk situasi.

Meskipun Trump dikenal dengan sikapnya yang lebih bersahabat terhadap Rusia selama masa jabatannya, ia juga berusaha menunjukkan kepada masyarakat internasional bahwa ia siap mengambil langkah keras jika diperlukan. Dalam percakapan itu, Trump mengingatkan Putin bahwa Amerika Serikat, di bawah kepemimpinannya, akan mengambil tindakan tegas terhadap setiap langkah agresif lebih lanjut dari Rusia. Peringatan ini juga disampaikan dalam konteks proyeksi kekuatan AS yang masih sangat dominan dalam urusan geopolitik global.

Langkah Trump ini bisa jadi merubah dinamika hubungan diplomatik antara Rusia dan AS, terutama jika ia kembali terpilih menjadi presiden. Selain itu, reaksi dari negara-negara sekutu Amerika Serikat dan negara-negara lain yang terlibat dalam krisis Ukraina sangat ditunggu. Banyak pihak berharap bahwa komunikasi langsung antara dua pemimpin besar ini dapat mengurangi potensi ketegangan lebih lanjut dan membuka peluang bagi dialog damai yang lebih konstruktif.

FBI Ungkap Fakta di Balik Ancaman Bom dalam Pilpres AS 2024

Pada Pemilihan Presiden AS 2024 yang digelar Selasa (5/11/2024), FBI mengeluarkan peringatan terkait adanya ancaman bom di sejumlah tempat pemungutan suara di beberapa negara bagian. Menurut FBI, ancaman tersebut ternyata tidak nyata dan sebagian besar diduga berasal dari Rusia.

Pernyataan dari FBI muncul setelah otoritas di Negara Bagian Georgia melaporkan gangguan proses pemungutan suara akibat ancaman bom palsu yang beredar pada hari pemilihan. Demi mengantisipasi insiden serupa, AS telah memperketat keamanan di seluruh TPS untuk menghindari potensi kerusuhan sipil, kecurangan, serta ancaman terhadap petugas.

“FBI menyadari adanya ancaman bom terhadap TPS di sejumlah negara bagian, sebagian besar dari domain email Rusia,” jelas Savannah Syms, juru bicara FBI, sebagaimana dikutip dari AFP. Ia menegaskan, belum ada bukti ancaman yang terkonfirmasi kredibel, namun publik diimbau tetap waspada.

Gangguan di Georgia dan Pengamanan Maksimal

Brad Raffensperger, Menteri Luar Negeri Georgia, mengonfirmasi bahwa pihaknya telah melacak sumber ancaman bom yang mengganggu proses pemungutan suara di wilayah tersebut dan mengidentifikasi asal ancaman yang diduga dari Rusia. Dalam pernyataannya, ia tidak memberikan rincian lebih lanjut mengenai pelaku.

Di Fulton County, Wali Kota Fulton Selatan, Kobi, mengungkapkan bahwa sedikitnya tujuh TPS di wilayah tersebut sempat terdampak ancaman, meskipun tidak ada TPS yang ditutup lebih dari 30 menit. “Kami tidak akan membiarkan ancaman bom menghalangi hak warga Fulton Selatan untuk memilih,” tegas Kobi.

Langkah Keamanan Tambahan untuk Pilpres AS 2024

AS tidak hanya berkomitmen menjaga integritas pemilihan, namun juga memastikan keamanan fisik proses pemilu. Petugas di berbagai TPS dibekali tombol panik, sementara tim khusus bersenjata ditempatkan di atap gedung-gedung penting. Ratusan personel Garda Nasional juga siap siaga untuk menghadapi ancaman potensial.

FBI mendirikan pos komando nasional di Washington untuk memantau ancaman selama 24 jam sehari sepanjang minggu pemilu. Polisi Capitol bahkan menangkap seorang pria pada hari pemilihan yang membawa bahan peledak dan berbau bahan bakar di dekat kompleks Capitol, tempat kerusuhan yang terjadi pada 6 Januari 2021.

Menurut Kepala Polisi J. Thomas Manger, pria tersebut membawa dokumen yang ingin ia sampaikan kepada Kongres, meskipun tidak ada indikasi bahwa aksinya terkait langsung dengan pemilihan.

Rusia dan Tuduhan Campur Tangan Pemilu

Pemerintah AS sebelumnya telah mengaitkan Rusia dengan berbagai ancaman terkait pemilu, termasuk disinformasi. Beberapa jam sebelum pemungutan suara dibuka, pejabat memperingatkan operasi disinformasi yang mengklaim ada upaya curang di negara-negara bagian penting untuk memengaruhi hasil pemilihan. Tuduhan ini menambah panjang daftar intervensi yang diduga berasal dari Rusia dalam proses pemilu AS.