AS Tekan Greenland Putus Hubungan dengan Denmark, Picu Ketegangan Diplomatik

Wakil Presiden AS, JD Vance, mendorong Greenland untuk mengakhiri hubungan historisnya dengan Denmark dan menjalin kemitraan yang lebih erat dengan Washington. Dalam kunjungan singkat ke Pangkalan Luar Angkasa Pituffik di Greenland Utara pada Jumat (28/3), Vance menuduh Kopenhagen gagal berinvestasi dalam pembangunan Greenland dan mengklaim bahwa AS adalah satu-satunya negara yang dapat menjamin kedaulatan serta keamanan rakyat di wilayah tersebut. Pernyataannya menuai reaksi keras, terutama dari pemerintah Denmark dan Greenland.

Vance didampingi oleh Penasihat Keamanan Nasional AS, Mike Waltz, serta Menteri Energi, Chris Wright. Ia menyatakan bahwa AS tidak berencana meningkatkan kehadiran militernya di Greenland dalam waktu dekat, tetapi akan menambah sumber daya, termasuk kapal angkatan laut serta kapal pemecah es. Namun, kunjungannya berlangsung singkat, hanya beberapa jam, akibat suhu ekstrem yang mencapai minus 19 derajat Celsius serta laporan bahwa ia akan menghadapi aksi protes jika berkunjung ke tempat umum lainnya.

Perdana Menteri Greenland, Jens-Frederik Nielsen, mengecam kunjungan ini sebagai tindakan yang tidak menghormati rakyat Greenland. Sementara itu, Perdana Menteri Denmark, Mette Frederiksen, menolak tuduhan Vance dan menegaskan bahwa negaranya telah meningkatkan anggaran pertahanan di Arktik dengan sistem pengawasan baru, drone jarak jauh, dan kapal patroli. Frederiksen juga menilai cara AS menggambarkan Denmark tidak sesuai dengan kenyataan.

Greenland telah mengelola urusan domestiknya sejak 2009, meskipun kebijakan luar negeri dan pertahanannya masih berada di bawah kendali Kopenhagen. Jajak pendapat menunjukkan mayoritas warga Greenland menolak kemungkinan bergabung dengan AS. Banyak warga juga mengungkapkan kekhawatiran mereka, seperti seorang perempuan lokal bernama Nina yang mengaku tidak nyaman dengan ketertarikan Washington terhadap pulau tersebut.

Di sisi lain, Presiden AS, Donald Trump, menegaskan bahwa menguasai Greenland sangat penting bagi keamanan global, dengan alasan meningkatnya kehadiran kapal-kapal China dan Rusia di perairan sekitar pulau itu. Sementara itu, politisi Greenland, Qupanuk Olsen, menyatakan bahwa masyarakatnya takut mengalami penjajahan kembali di bawah kekuatan asing yang baru.

Serangan Drone Besar-Besaran Rusia Hantam Infrastruktur Ukraina

Pasukan Rusia melancarkan serangan udara besar-besaran dengan 117 drone ke berbagai wilayah Ukraina dalam satu malam, menyebabkan kerusakan serius pada infrastruktur sipil. Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, menyatakan bahwa sebagian besar drone yang digunakan adalah Shahed, pesawat nirawak buatan Iran. Ia menegaskan bahwa serangan ini menjadi bukti nyata bagaimana Rusia terus memperpanjang konflik tanpa menunjukkan tanda-tanda keinginan untuk berdamai. Serangan ini kembali menambah daftar panjang aksi militer Rusia yang menargetkan berbagai kota di Ukraina, menciptakan situasi yang semakin genting bagi warga sipil.

Meskipun angkatan udara Ukraina berhasil mencegat sebagian besar drone yang menyerang, dampak serangan tetap terasa di berbagai wilayah. Kota-kota seperti Dnipro, Sumy, Cherkasy, Donetsk, Kharkiv, dan Zaporizhzhia menjadi target utama. Di Kryvyi Rih, serangan drone menghancurkan sejumlah fasilitas bisnis serta pemukiman warga, sementara di Okhtyrka, wilayah Sumy, beberapa rumah dan pertokoan hancur akibat serangan langsung. Laporan dari otoritas setempat menyebutkan bahwa jumlah korban luka akibat serangan ini terus bertambah, meskipun angka pasti masih dalam proses pendataan.

Zelenskyy kembali mendesak komunitas internasional untuk mengambil langkah konkret dalam menghadapi agresi Rusia. Ia menekankan bahwa tekanan politik dan sanksi tambahan dari Amerika Serikat serta negara-negara sekutu sangat dibutuhkan untuk menghentikan serangan ini. Selain itu, ia juga menyoroti bahwa aksi militer terbaru Rusia semakin membuktikan ketidakseriusan mereka dalam mencari solusi damai, meskipun ada usulan gencatan senjata yang didukung oleh AS pada 11 Maret. Menurutnya, hampir setiap malam, Rusia terus menolak upaya perdamaian dengan melancarkan serangan yang semakin intensif terhadap Ukraina. Sementara itu, Ukraina tetap bersiap untuk mempertahankan wilayahnya dan terus meminta dukungan dari sekutu internasional guna memperkuat pertahanan di tengah ancaman yang terus berlanjut.

China Ingatkan Filipina Terkait Kerja Sama Pertahanan dengan Negara Asing

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Guo Jiakun, menegaskan bahwa setiap bentuk kerja sama pertahanan atau keamanan yang dijalin Filipina dengan negara lain tidak boleh menargetkan pihak ketiga atau merugikan kepentingannya. Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi pers harian pada Selasa (25/3), sebagai respons atas pertanyaan mengenai hubungan militer Filipina dan Amerika Serikat (AS).

Guo menekankan bahwa China telah berulang kali menyampaikan posisinya terkait aliansi militer Filipina dengan AS. Ia menyoroti pentingnya menjaga stabilitas kawasan serta menghindari tindakan yang dapat memperburuk ketegangan atau mengancam perdamaian regional. Menurutnya, sejarah telah membuktikan bahwa mengundang pihak luar dengan niat tertentu tidak akan memberikan keuntungan jangka panjang. Sebaliknya, mereka yang secara sukarela memainkan peran sebagai “pion” dalam strategi geopolitik negara lain pada akhirnya hanya akan ditinggalkan begitu saja.

Selain itu, Guo mengingatkan bahwa langkah-langkah yang diambil oleh Filipina dalam mempererat hubungan militernya dengan AS dapat menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan bagi keamanan nasional dan hubungan bilateral dengan negara-negara tetangga. China melihat kerja sama semacam itu sebagai bentuk campur tangan asing yang dapat memperkeruh situasi di kawasan, terutama di Laut China Selatan, yang sudah lama menjadi sumber ketegangan antara berbagai negara.

Guo juga menyampaikan pesan tegas kepada beberapa pihak di Filipina, meminta mereka untuk berhenti menjadi alat propaganda negara lain serta menghindari tindakan yang hanya menguntungkan kepentingan politik pribadi. Ia menegaskan bahwa Filipina seharusnya lebih berfokus pada kebijakan yang mendukung kedaulatan dan stabilitas kawasan, bukan justru memperburuk ketegangan dengan mengakomodasi kepentingan asing yang berpotensi merugikan negara mereka sendiri. Dalam pandangan China, pendekatan diplomatik yang lebih mandiri dan seimbang akan lebih menguntungkan Filipina dalam jangka panjang, daripada hanya bergantung pada kekuatan asing yang bisa sewaktu-waktu mengabaikan kepentingan negara tersebut.

Duta Besar Afrika Selatan Pulang Tanpa Penyesalan Setelah Didepak AS

Ebrahim Rasool, Duta Besar Afrika Selatan untuk Amerika Serikat yang diusir, mengungkapkan bahwa ia kembali ke tanah airnya tanpa rasa penyesalan. Setelah menempuh perjalanan panjang selama 32 jam dari AS melalui Qatar ke Cape Town, Rasool menegaskan bahwa dirinya lebih memilih kembali dalam kondisi adanya kesepakatan dengan AS. Namun, menurutnya, Afrika Selatan tidak dapat membiarkan pihak lain menentukan siapa yang boleh menjadi sekutunya dan siapa yang harus dijadikan lawan. Ia juga menyoroti bahwa negaranya belum berhasil membantah narasi yang menyebut adanya “genosida kulit putih” di Afrika Selatan.

Rasool menekankan bahwa Afrika Selatan tidak bisa mendapatkan kembali manfaat dari Undang-Undang Pertumbuhan dan Peluang Afrika (AGOA) dengan menarik gugatan genosida terhadap Israel di Mahkamah Internasional (ICJ). Ia menegaskan bahwa jika negaranya tidak membawa kasus ini ke ICJ, maka tindakan Israel tidak akan terungkap dan perjuangan Palestina akan kehilangan harapan. Meski demikian, Rasool menampik anggapan bahwa Afrika Selatan bersikap anti-Amerika. Ia tetap menilai hubungan dengan AS perlu diperbaiki dan disusun ulang meskipun ia telah dinyatakan sebagai persona non grata.

Keputusan pengusiran Rasool diumumkan oleh Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, setelah komentarnya dalam sebuah webinar yang diselenggarakan oleh Institut Mapungubwe Afrika Selatan. Dalam kesempatan itu, ia menuding Donald Trump menjalankan kebijakan yang mencerminkan supremasi kulit putih dalam menanggapi perubahan demografi di AS. Situasi ini terjadi di tengah meningkatnya ketegangan antara Washington dan Pretoria, terutama setelah Trump memutuskan untuk menghentikan bantuan finansial ke Afrika Selatan dengan alasan kebijakan perampasan tanah, kasus genosida terhadap Israel, serta hubungan yang semakin erat antara Afrika Selatan dan Iran.

Kesepakatan Gencatan Senjata Rusia-Ukraina Makin Dekat, AS Optimistis

Utusan Khusus Amerika Serikat, Steve Witkoff, menyatakan bahwa gencatan senjata penuh antara Rusia dan Ukraina bisa tercapai dalam beberapa pekan ke depan. Ia menegaskan bahwa perundingan antara kedua negara telah menunjukkan kemajuan signifikan. Witkoff juga mengungkapkan bahwa setelah kesepakatan gencatan senjata tercapai, sanksi ekonomi yang diberlakukan AS terhadap Rusia akan mulai dilonggarkan.

Untuk mempercepat proses ini, pertemuan lanjutan akan digelar di Arab Saudi pada awal pekan depan. Witkoff menjelaskan bahwa komunikasi antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin telah berlangsung produktif dan berorientasi pada penyelesaian konflik. Kedua pemimpin bahkan dikabarkan telah membahas kemungkinan pertemuan langsung di masa mendatang guna memperkuat kesepakatan.

Pada hari Selasa, Trump dan Putin melakukan percakapan selama lebih dari dua jam melalui saluran telepon. Mereka membicarakan hubungan bilateral, solusi damai untuk konflik Ukraina, serta situasi geopolitik di Timur Tengah. Trump menggambarkan diskusi tersebut sebagai dialog yang positif dan membangun.

Sementara itu, terkait serangan Rusia ke Ukraina yang terjadi pada hari yang sama, Witkoff menyatakan bahwa dalam waktu 10 menit setelah pembicaraan dimulai, Putin langsung menginstruksikan militer Rusia untuk tidak lagi menyerang infrastruktur energi Ukraina. Ia menegaskan bahwa serangan yang terjadi sebelumnya berlangsung sebelum perintah tersebut diberikan.

Dalam konteks hubungan AS-Rusia, Witkoff menekankan bahwa hubungan kedua negara memegang peran krusial bagi stabilitas global, terutama dalam isu yang melibatkan China, Iran, dan Timur Tengah.

AS Pertimbangkan Pembatasan Ketat bagi Pengunjung dari 43 Negara

Pemerintah Amerika Serikat dikabarkan tengah mempertimbangkan kebijakan baru yang membatasi kunjungan warga asing dari 43 negara, termasuk Rusia. Laporan dari New York Times (NYT) mengungkapkan bahwa langkah ini mencakup larangan perjalanan yang lebih luas dibandingkan kebijakan sebelumnya yang diterapkan oleh Presiden Donald Trump pada periode pertamanya. Rencana tersebut mencakup tiga kategori pembatasan, dengan 11 negara masuk dalam “daftar merah,” yang berarti pelancong dari negara-negara tersebut akan dilarang sepenuhnya memasuki AS. Negara-negara dalam kategori ini termasuk Afghanistan, Iran, Korea Utara, Sudan, Suriah, Yaman, dan lainnya.

Selain itu, 10 negara lainnya, termasuk Rusia, Pakistan, Myanmar, dan Belarus, akan dimasukkan dalam “daftar jingga.” Warga dari negara-negara ini masih diperbolehkan masuk ke AS, tetapi hanya untuk tujuan bisnis dengan persyaratan visa yang lebih ketat. Mereka tidak dapat mengajukan visa imigrasi atau wisata, serta diwajibkan mengikuti wawancara langsung dalam proses pengajuan visa. Sementara itu, 22 negara lain, termasuk Kamboja dan beberapa negara Afrika, dimasukkan dalam “daftar kuning,” yang berarti mereka diberikan waktu 60 hari untuk memperbaiki sistem keamanan dan berbagi informasi dengan AS terkait pelancong mereka.

Meskipun alasan spesifik di balik kebijakan ini belum sepenuhnya jelas, pemerintah AS dikabarkan menargetkan negara-negara yang dianggap tidak kooperatif dalam hal keamanan perjalanan. Saat ini, daftar pembatasan tersebut masih dalam tahap evaluasi oleh Departemen Luar Negeri dan instansi terkait sebelum diserahkan ke Gedung Putih untuk disesuaikan. Sebelumnya, Trump menerapkan kebijakan larangan perjalanan serupa pada 2017, yang kemudian dicabut oleh Joe Biden pada 2021.

Mahasiswa Universitas Columbia Tinggalkan AS Setelah Visa Dicabut Gara-gara Demo Pro-Palestina

Seorang mahasiswa asal India yang terdaftar di Universitas Columbia, Ranjani Srinivasan, baru-baru ini memilih untuk meninggalkan Amerika Serikat secara sukarela setelah visanya dicabut terkait keterlibatannya dalam protes pro-Palestina. Keputusan ini datang setelah Departemen Keamanan Dalam Negeri AS (DHS) mencabut visa Srinivasan pada tanggal 5 Maret 2025 karena diduga mendukung kekerasan dan terorisme yang berkaitan dengan demonstrasi tersebut.

Sebagai langkah untuk menghindari deportasi paksa menggunakan pesawat militer, yang beberapa waktu lalu dialami oleh individu lain, Srinivasan memutuskan untuk self-deport dan meninggalkan negara tersebut dengan pesawat komersial. Keputusan ini menambah panjang daftar mahasiswa internasional yang menghadapi tindakan tegas terkait keterlibatan mereka dalam aksi protes, khususnya yang berkaitan dengan konflik Israel-Hamas yang tengah berlangsung.

Reaksi Menteri Keamanan Dalam Negeri AS

Menanggapi peristiwa ini, Menteri Keamanan Dalam Negeri AS, Kristi Noem, mengunggah sebuah video yang menunjukkan momen Srinivasan di bandara, di mana ia mengungkapkan pendapatnya terkait keputusan tersebut. Dalam video tersebut, Noem menegaskan bahwa Amerika Serikat tidak akan memberikan tempat bagi siapa pun yang mendukung kekerasan dan terorisme.

“Mendapatkan visa untuk tinggal dan belajar di AS adalah hak istimewa. Ketika seseorang mendukung kekerasan dan terorisme, hak itu harus dicabut. Anda tidak pantas berada di negara ini,” kata Noem melalui unggahannya di platform X, sebagaimana dilaporkan oleh BBC pada Sabtu (15/3/2025).

Menteri Noem juga menyatakan rasa senangnya dengan langkah yang diambil Srinivasan, yang memilih untuk self-deport menggunakan aplikasi CBP Home daripada menghadapi deportasi paksa.

Tindakan Otoritas AS terhadap Mahasiswa Pro-Palestina

Kasus Srinivasan menyoroti kebijakan yang semakin ketat terhadap demonstran pro-Palestina di Amerika Serikat, terutama mereka yang memiliki visa sementara. Sebelumnya, di Universitas Columbia, tempat Srinivasan belajar, terjadi berbagai aksi protes yang mendukung Palestina di tengah ketegangan yang terus berkembang antara Israel dan Hamas.

Beberapa kasus lain pun muncul terkait mahasiswa yang diduga terlibat dalam demonstrasi serupa. Salah satunya adalah Mahmoud Khalil, mantan mahasiswa Universitas Columbia keturunan Palestina, yang baru-baru ini ditangkap oleh otoritas AS dan kehilangan status green card-nya. Selain itu, Leqaa Kordia, seorang mahasiswa lain, juga ditangkap setelah masa berlaku visanya habis dan dia diketahui turut serta dalam aksi-aksi yang menentang kebijakan tersebut.

Tindakan tegas dari pemerintah AS terhadap para demonstran ini menjadi sinyal bahwa pemerintah semakin memperketat kebijakan imigrasi bagi mereka yang terlibat dalam kegiatan politik, khususnya yang berkaitan dengan konflik internasional. Penegakan hukum yang lebih keras terhadap para mahasiswa internasional yang mendukung Palestina menciptakan peringatan bahwa kebijakan terkait visa di AS akan semakin ketat, terutama terhadap mereka yang terlibat dalam protes-protes yang dianggap mendukung tindakan kekerasan.

Dengan adanya langkah ini, banyak yang memperkirakan bahwa aksi protes serupa akan lebih dibatasi, dan mahasiswa internasional yang terlibat dalam aksi-aksi semacam itu kemungkinan akan menghadapi risiko yang lebih besar terhadap status visa mereka.

Diduga Kerja Paksa, 4 Nelayan Indonesia Lawan Perusahaan Tuna AS

Empat nelayan asal Indonesia mengajukan gugatan terhadap perusahaan makanan laut ternama asal Amerika Serikat, Bumble Bee Seafoods, atas dugaan eksploitasi dan kerja paksa di kapal penangkap ikan. Gugatan ini diajukan pada Rabu, 13 Maret 2025, dan disebut sebagai kasus pertama yang membawa isu kerja paksa di industri perikanan ke ranah hukum Amerika.

Menurut perwakilan hukum para nelayan, perusahaan yang berbasis di San Diego, California, ini dituduh melanggar Undang-Undang Perlindungan Korban Perdagangan Manusia. Aturan tersebut memungkinkan korban yang bukan warga negara AS untuk menggugat perusahaan yang diduga memperoleh keuntungan dari praktik kerja paksa.

Meskipun gugatan telah diajukan, pihak Bumble Bee Seafoods memilih untuk tidak memberikan tanggapan lebih lanjut terkait proses hukum yang masih berlangsung.

Kisah Para Nelayan: Kekerasan dan Kondisi Kerja yang Tidak Manusiawi

Para nelayan yang menjadi korban berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka bekerja di kapal-kapal milik perusahaan China yang menjadi bagian dari rantai pasok Bumble Bee. Berdasarkan keterangan yang diberikan, mereka mengalami kekerasan fisik, jam kerja yang tidak manusiawi, serta kondisi kehidupan yang memprihatinkan.

Salah satu korban, Akhmad, mengaku sering mendapat pukulan dari kapten kapal menggunakan kait logam, bahkan ketika dirinya sedang terluka akibat pekerjaan. Sementara itu, nelayan lain bernama Muhammad Syafi’i mengatakan bahwa dirinya tidak mendapatkan perawatan medis meskipun mengalami luka bakar parah akibat terkena minyak panas. Bahkan, ia tetap dipaksa bekerja agar bisa membayar biaya makan di kapal.

Syafi’i juga mengungkapkan bahwa selama beberapa bulan, ia harus menyerahkan hampir setengah dari gajinya yang hanya sebesar 320 dolar AS (sekitar Rp 5,2 juta) untuk melunasi tagihan makanan serta berbagai biaya lainnya. Para nelayan ini juga mengaku sempat berusaha mogok kerja dan meminta dipulangkan, namun ancaman denda dan utang membuat mereka tidak memiliki pilihan lain selain tetap bekerja di kapal yang melaut selama berbulan-bulan.

Gugatan Menuntut Ganti Rugi dan Reformasi Sistem

Dalam gugatan yang diajukan, empat nelayan tersebut—Syafi’i, Akhmad, Angga, dan Muhammad Sahrudin—menuntut ganti rugi finansial atas upah yang belum dibayarkan serta penderitaan fisik dan mental yang mereka alami. Namun, lebih dari sekadar kompensasi, mereka juga mendesak adanya perubahan sistemik dalam industri perikanan global.

Menurut perwakilan hukum mereka, Agnieszka Fryszman, praktik eksploitasi seperti ini sudah menjadi rahasia umum di industri perikanan. Bahkan, sejak tahun 2020, laporan mengenai kerja paksa dan kondisi kerja yang tidak manusiawi dalam rantai pasokan ikan tuna telah beredar luas. Salah satu tuntutan utama dalam gugatan ini adalah agar perusahaan seperti Bumble Bee Seafoods memastikan kapal-kapal dalam jaringan pemasok mereka memiliki standar kesejahteraan pekerja yang layak, termasuk ketersediaan perawatan medis dan akses komunikasi bagi kru kapal.

“Saya hanya ingin keadilan, baik untuk diri saya sendiri maupun teman-teman saya yang masih terjebak di luar sana,” ungkap Muhammad Syafi’i dalam wawancara dari Yogyakarta.

Industri Perikanan dan Masalah Ketenagakerjaan

Kasus eksploitasi tenaga kerja di industri perikanan global bukanlah hal baru. Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), pada tahun 2021 diperkirakan ada lebih dari 128.000 pekerja yang terjebak dalam sistem kerja paksa di sektor perikanan. Namun, angka ini kemungkinan jauh lebih besar mengingat minimnya pengawasan serta lemahnya penegakan hukum di berbagai negara, termasuk di Indonesia.

Di Indonesia sendiri, banyak nelayan yang berasal dari latar belakang ekonomi lemah direkrut oleh perantara dengan janji penghasilan tinggi. Namun, kenyataannya, mereka justru menghadapi eksploitasi dan kondisi kerja yang keras.

Pada tahun 2016, Kongres AS telah mengesahkan undang-undang yang memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menindak tegas produk hasil kerja paksa. Namun, kasus yang terus bermunculan menunjukkan bahwa praktik ini masih sulit diberantas sepenuhnya.

Masih Trauma dan Menolak Kembali ke Laut

Hingga kini, Syafi’i masih merasakan trauma akibat pengalaman buruknya di kapal berbendera China, Lu Rong Yuan Yu 211. Setelah kembali ke Indonesia pada Juli 2022, ia harus menjalani serangkaian operasi medis untuk mengobati luka bakarnya. Namun, kondisinya masih jauh dari pulih. Ia mengaku tidak bisa mengangkat beban berat dan masih merasakan sakit akibat luka yang belum sepenuhnya sembuh.

Meskipun telah menerima kompensasi sebesar 6.000 dolar AS (sekitar Rp 98 juta) dari perusahaan perantara yang menempatkannya di pekerjaan tersebut, Syafi’i mengatakan bahwa ia tidak akan pernah kembali bekerja di kapal.

“Saya tidak akan pernah lagi bekerja di kapal, tidak peduli berapa pun jumlah uang yang ditawarkan,” tegasnya.

Kini, ia ingin membagikan pengalamannya kepada nelayan lain agar mereka tidak mengalami nasib yang sama. Menurutnya, banyak pekerja yang tidak mengetahui kondisi sebenarnya di kapal-kapal tersebut karena minimnya informasi yang tersedia sebelum mereka berangkat bekerja.

Kesimpulan

Gugatan hukum yang diajukan oleh para nelayan Indonesia ini menjadi sorotan baru dalam perjuangan melawan kerja paksa di industri perikanan global. Kasus ini juga menegaskan pentingnya peran perusahaan besar dalam memastikan rantai pasokan mereka bebas dari eksploitasi pekerja.

Dengan semakin meningkatnya kesadaran global mengenai isu ketenagakerjaan di sektor perikanan, diharapkan akan ada langkah konkret dari berbagai pihak, termasuk pemerintah dan perusahaan, untuk melindungi hak-hak para pekerja di industri ini.

Kebakaran Pesawat American Airlines Gegerkan Bandara Denver

Pada Kamis, 13 Maret 2025, sebuah pesawat American Airlines dengan nomor penerbangan 1006 mengalami kebakaran setelah melakukan pendaratan darurat di Bandara Internasional Denver, Amerika Serikat. Kejadian ini menarik perhatian banyak pihak, terutama karena sejumlah penumpang terlihat keluar melalui sayap pesawat dan menggunakan perosotan darurat untuk menghindari bahaya.

Pesawat yang awalnya lepas landas dari Colorado Springs menuju Bandara Internasional Dallas Fort Worth, terpaksa dialihkan ke Bandara Denver setelah masalah pada mesin. Menurut informasi yang dirilis oleh Badan Penerbangan Federal (FAA), pesawat tersebut mengalami getaran pada salah satu mesinnya, yang membuat pilot memutuskan untuk mendarat lebih awal di Denver demi keselamatan penumpang dan kru.

Setelah pesawat mendarat dengan selamat dan meluncur menuju gerbang, salah satu mesin pesawat mulai terbakar. Kejadian tersebut memaksa pihak maskapai dan petugas bandara untuk segera melakukan evakuasi darurat. Dalam video yang beredar, terlihat para penumpang keluar dengan cepat melalui perosotan darurat yang dipasang di sayap pesawat, menuju landasan pacu yang aman.

Meskipun situasi cukup menegangkan, pihak berwenang melaporkan bahwa tidak ada korban jiwa dalam insiden tersebut. Semua penumpang dan kru pesawat berhasil dievakuasi dengan selamat. Begitu evakuasi dimulai, petugas darurat dengan cepat bergerak untuk memadamkan api yang membakar mesin pesawat, sehingga api dapat dikendalikan sebelum menyebabkan kerusakan lebih parah.

Penyebab pasti kebakaran masih dalam penyelidikan lebih lanjut oleh otoritas terkait, dan pihak FAA mengungkapkan bahwa mereka akan melakukan audit terhadap kondisi pesawat serta investigasi menyeluruh untuk mengetahui faktor-faktor yang memicu insiden ini.

Kejadian ini menjadi pengingat akan pentingnya protokol keselamatan penerbangan yang ketat dan pelatihan evakuasi yang siap sedia menghadapi situasi darurat. Meskipun insiden ini tergolong langka, ketanggapan cepat dan kesiapsiagaan dari kru serta petugas bandara berhasil menghindarkan korban jiwa, memberikan rasa aman bagi semua yang terlibat.

G7 Bahas Ukraina, China, dan Stabilitas Global di Kanada

Para menteri luar negeri dari kelompok G7 berkumpul di La Malbaie, Quebec, Kanada, pada Rabu, 12 Maret, untuk membahas isu-isu global yang mendesak, termasuk konflik Ukraina dan dinamika kekuatan China di Indo-Pasifik. Pertemuan ini melibatkan diplomat dari Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, serta Uni Eropa. Pembicaraan resmi dijadwalkan dimulai pada Kamis, hanya beberapa hari setelah Washington sepakat untuk melanjutkan bantuan militer dan intelijen kepada Ukraina. Kesepakatan ini membawa harapan baru bagi proses perdamaian yang sebelumnya mengalami kebuntuan akibat ketegangan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.

Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, yang baru saja kembali dari Arab Saudi, mengungkapkan bahwa pejabat senior Ukraina telah menyatakan kesiapan mereka untuk menerima usulan gencatan senjata selama 30 hari. Namun, kesepakatan ini masih memerlukan persetujuan dari Rusia, dengan Trump menekankan bahwa keputusan akhir ada di tangan Kremlin. Rusia kini diharapkan memberikan respons positif terhadap upaya penghentian konflik yang telah berlangsung sejak Februari 2022. Sementara itu, pertemuan G7 akan membahas berbagai isu strategis lainnya, termasuk keamanan maritim, stabilitas di Timur Tengah, serta peran kelompok ini dalam menjaga tatanan internasional.

Sebelum berangkat ke Kanada, Menteri Luar Negeri Jepang, Takeshi Iwaya, menekankan pentingnya menjaga kesatuan dan kerja sama G7 di tengah perubahan geopolitik yang dinamis. Jepang, sebagai satu-satunya anggota G7 dari Asia, juga berkomitmen untuk membawa perspektif Indo-Pasifik dalam pembahasan. Pada hari terakhir pertemuan, para menteri akan bertukar pandangan mengenai tantangan dari negara-negara seperti China, Iran, dan Korea Utara, serta membahas kerja sama untuk perdamaian di Afrika. Mereka berencana mengeluarkan pernyataan bersama yang menegaskan dukungan terhadap upaya perdamaian di Ukraina dan komitmen mereka terhadap kawasan Indo-Pasifik yang stabil dan bebas dari intervensi sepihak.