China Desak Penerapan Gencatan Senjata yang Efektif di Gaza

China terus mengamati perkembangan konflik antara Palestina dan Israel dengan penuh perhatian. Pemerintah China berharap semua pihak dapat bekerja sama guna memastikan penerapan gencatan senjata yang berkelanjutan dan efektif. Pernyataan ini disampaikan oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, dalam konferensi pers hari Selasa. Pernyataan tersebut merupakan respons atas eskalasi serangan besar-besaran yang dilakukan Israel di Jalur Gaza pada pagi hari yang sama, yang dinilai telah melanggar kesepakatan gencatan senjata yang sebelumnya disepakati.

Serangan militer tersebut telah menyebabkan lebih dari 300 korban jiwa, yang sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak. Jumlah korban sipil terus bertambah seiring berlanjutnya operasi militer. Mao menekankan pentingnya kerja sama dari semua pihak agar perjanjian gencatan senjata dapat dilaksanakan secara efektif, sehingga dapat mencegah eskalasi lebih lanjut dan memperburuk situasi kemanusiaan yang sudah genting.

China juga mendesak semua pihak untuk menahan diri dari tindakan yang dapat memperburuk ketegangan dan meningkatkan risiko konflik berkepanjangan. Menurut Mao, menjaga stabilitas kawasan adalah prioritas utama, dan diperlukan upaya bersama untuk mencegah bencana kemanusiaan yang semakin parah. Beijing berharap komunitas internasional dapat berperan aktif dalam mencari solusi damai guna mengakhiri penderitaan rakyat sipil di Gaza.

Selain itu, China menegaskan kembali dukungannya terhadap solusi dua negara sebagai cara terbaik untuk mencapai perdamaian yang adil dan berkelanjutan di kawasan tersebut. Beijing mendesak agar perundingan antara Palestina dan Israel dapat kembali dilakukan dengan melibatkan komunitas internasional guna mencari titik temu yang adil bagi kedua belah pihak.

Dalam beberapa tahun terakhir, China telah menunjukkan peran aktif dalam mediasi konflik internasional, termasuk di Timur Tengah. Pemerintah China menilai bahwa ketegangan yang berkelanjutan di Gaza tidak hanya mengancam kehidupan rakyat sipil, tetapi juga dapat berdampak pada kestabilan global, termasuk sektor ekonomi dan keamanan internasional. Oleh karena itu, China menyerukan agar Dewan Keamanan PBB segera mengambil langkah tegas untuk menghentikan kekerasan dan memastikan bantuan kemanusiaan dapat tersalurkan tanpa hambatan kepada warga sipil yang terdampak.

Sementara itu, berbagai negara juga telah menyuarakan keprihatinan terhadap meningkatnya eskalasi konflik di Gaza. Organisasi kemanusiaan internasional terus melaporkan kondisi yang semakin memburuk di wilayah tersebut, dengan fasilitas kesehatan yang kewalahan menangani korban dan persediaan obat-obatan serta pangan yang semakin menipis. China menegaskan bahwa bantuan kemanusiaan harus menjadi prioritas utama, dan segala bentuk blokade terhadap jalur distribusi bantuan harus segera dihentikan.

Beijing menutup pernyataannya dengan mengajak negara-negara besar untuk mengutamakan dialog dan diplomasi dalam menyelesaikan konflik ini. China percaya bahwa dengan adanya komitmen bersama dari komunitas internasional, harapan akan perdamaian di Palestina dan Israel dapat terwujud.

G7 Bahas Ukraina, China, dan Stabilitas Global di Kanada

Para menteri luar negeri dari kelompok G7 berkumpul di La Malbaie, Quebec, Kanada, pada Rabu, 12 Maret, untuk membahas isu-isu global yang mendesak, termasuk konflik Ukraina dan dinamika kekuatan China di Indo-Pasifik. Pertemuan ini melibatkan diplomat dari Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, serta Uni Eropa. Pembicaraan resmi dijadwalkan dimulai pada Kamis, hanya beberapa hari setelah Washington sepakat untuk melanjutkan bantuan militer dan intelijen kepada Ukraina. Kesepakatan ini membawa harapan baru bagi proses perdamaian yang sebelumnya mengalami kebuntuan akibat ketegangan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.

Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, yang baru saja kembali dari Arab Saudi, mengungkapkan bahwa pejabat senior Ukraina telah menyatakan kesiapan mereka untuk menerima usulan gencatan senjata selama 30 hari. Namun, kesepakatan ini masih memerlukan persetujuan dari Rusia, dengan Trump menekankan bahwa keputusan akhir ada di tangan Kremlin. Rusia kini diharapkan memberikan respons positif terhadap upaya penghentian konflik yang telah berlangsung sejak Februari 2022. Sementara itu, pertemuan G7 akan membahas berbagai isu strategis lainnya, termasuk keamanan maritim, stabilitas di Timur Tengah, serta peran kelompok ini dalam menjaga tatanan internasional.

Sebelum berangkat ke Kanada, Menteri Luar Negeri Jepang, Takeshi Iwaya, menekankan pentingnya menjaga kesatuan dan kerja sama G7 di tengah perubahan geopolitik yang dinamis. Jepang, sebagai satu-satunya anggota G7 dari Asia, juga berkomitmen untuk membawa perspektif Indo-Pasifik dalam pembahasan. Pada hari terakhir pertemuan, para menteri akan bertukar pandangan mengenai tantangan dari negara-negara seperti China, Iran, dan Korea Utara, serta membahas kerja sama untuk perdamaian di Afrika. Mereka berencana mengeluarkan pernyataan bersama yang menegaskan dukungan terhadap upaya perdamaian di Ukraina dan komitmen mereka terhadap kawasan Indo-Pasifik yang stabil dan bebas dari intervensi sepihak.

Pemulangan 40 Etnis Uighur ke China Picu Kecaman Internasional

Pemerintah China menegaskan bahwa hak-hak 40 orang etnis Uighur yang baru saja dipulangkan dari Thailand telah dilindungi secara hukum. Kementerian Luar Negeri China menyatakan bahwa mereka yang sebelumnya ditahan di luar negeri kini telah kembali ke kehidupan normal sesuai dengan hukum yang berlaku. Pernyataan ini disampaikan oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, dalam konferensi pers pada Senin (3/3).

Ke-40 orang Uighur tersebut dipulangkan dari Thailand pada Kamis (27/2) setelah bertahun-tahun ditahan di pusat penahanan Bangkok sejak 2014 akibat melintasi perbatasan secara ilegal. Namun, pemulangan ini menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Volker Türk, yang menilai bahwa deportasi tersebut berisiko membuat mereka mengalami penyiksaan dan penganiayaan di China.

Lin Jian menegaskan bahwa China berkomitmen melindungi hak-hak warga negaranya dan meminta para pakar HAM PBB untuk bersikap adil serta tidak mencampuri urusan hukum negara lain. Ia juga menambahkan bahwa pemulangan tersebut dilakukan berdasarkan hukum domestik China, Thailand, serta hukum internasional.

Meski demikian, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengecam langkah ini, menganggapnya sebagai ancaman serius terhadap hak asasi manusia karena para tahanan tidak mendapatkan proses hukum yang adil. Inggris dan Uni Eropa juga mengkritik keputusan tersebut, mendesak Thailand untuk meninjau kembali kebijakan penanganan pencari suaka Uighur.

Menurut laporan, kelompok ini merupakan bagian dari sekitar 350 etnis Uighur yang ditahan di Thailand sejak 2014. Selama 11 tahun terakhir, lima tahanan Uighur, termasuk dua anak kecil, dilaporkan meninggal akibat kondisi penahanan yang buruk.

Pakistan Cetak Sejarah, Astronotnya Akan Bertugas di Stasiun Luar Angkasa Tiongkok

China dan Pakistan telah mencapai kesepakatan penting dalam kerja sama eksplorasi luar angkasa, yang memungkinkan seorang astronot Pakistan menjadi warga negara asing pertama yang menjalankan misi di stasiun luar angkasa Tiongkok. Perjanjian ini ditandatangani oleh Badan Rekayasa Antariksa Berawak China (CMSEO) dan Komisi Penelitian Luar Angkasa dan Atmosfer Atas Pakistan (SUPARCO) pada 28 Februari 2025, menandai era baru dalam hubungan antariksa kedua negara.

Dalam perjanjian tersebut, China berkomitmen untuk memilih serta melatih seorang astronot Pakistan melalui program luar angkasa mereka. Proses seleksi akan berlangsung selama sekitar satu tahun, dengan para kandidat harus menjalani serangkaian pelatihan ketat di fasilitas luar angkasa China guna mempersiapkan diri untuk misi mereka. Astronot yang terpilih nantinya akan mengikuti penerbangan ke stasiun luar angkasa Tiangong dalam misi berdurasi singkat bersama para astronot China.

Stasiun luar angkasa Tiangong sendiri merupakan proyek besar China yang terdiri dari tiga modul utama dan telah diselesaikan antara tahun 2021 hingga 2022. Fasilitas ini berfungsi sebagai pusat penelitian luar angkasa yang menjadi kebanggaan China dalam upaya mereka mengejar dominasi di bidang eksplorasi antariksa.

Kesepakatan ini tidak hanya memperkuat hubungan bilateral China dan Pakistan, tetapi juga membuka peluang bagi negara-negara lain untuk terlibat dalam program luar angkasa China di masa mendatang. Dengan adanya kerja sama ini, Pakistan semakin menunjukkan komitmennya dalam pengembangan teknologi luar angkasa sekaligus menorehkan sejarah baru dalam bidang eksplorasi antariksa global.

Pria China Ditangkap Karena Terbangkan Drone Di Atas Pangkalan Militer Negara AS

Jakarta — Seorang pria asal China baru-baru ini ditangkap oleh pihak berwenang Amerika Serikat setelah terdeteksi menerbangkan drone di atas sebuah pangkalan militer AS. Insiden ini semakin memperburuk ketegangan yang sudah ada antara kedua negara, yang tengah terlibat dalam persaingan global di berbagai bidang, termasuk teknologi dan keamanan.

Pria yang teridentifikasi sebagai warga negara China itu dilaporkan terbangkan drone di atas Pangkalan Militer Wright-Patterson, salah satu fasilitas militer penting yang terletak di Ohio, AS. Aktivitas ini dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan nasional karena drone tersebut dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi sensitif atau bahkan melakukan kegiatan spionase. Pihak berwenang AS segera mengambil tindakan tegas dengan menangkap pria tersebut dan menyita drone yang digunakan.

Insiden ini menambah ketegangan antara AS dan China, yang sudah lama saling curiga terkait isu spionase dan pencurian teknologi. Pemerintah AS telah beberapa kali menuduh China terlibat dalam berbagai upaya untuk mengakses data dan teknologi militer AS, baik secara langsung maupun melalui metode tidak sah seperti penggunaan drone. Kasus ini menambah daftar panjang insiden yang melibatkan kedua negara dalam beberapa tahun terakhir, yang kerap berfokus pada keamanan dan pengawasan teknologi.

Pria tersebut kini sedang menjalani proses hukum di AS, dengan berbagai kemungkinan tuntutan yang dapat dikenakan, termasuk pelanggaran terhadap undang-undang keamanan nasional. Pihak berwenang AS masih melakukan investigasi untuk mengetahui tujuan dan latar belakang aktivitas drone tersebut. Pihak kedutaan China di Washington DC juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap penangkapan ini, meskipun mereka menegaskan bahwa mereka akan menghormati proses hukum yang berlaku.

Kasus ini diprediksi akan semakin memperburuk hubungan antara AS dan China, yang sudah mengalami ketegangan dalam beberapa tahun terakhir. Kejadian semacam ini bisa menjadi katalis bagi kebijakan yang lebih ketat terhadap penggunaan teknologi drone dan pengawasan militer di kedua negara. Kedua pihak diharapkan akan meningkatkan komunikasi untuk mencegah terjadinya insiden serupa di masa depan yang dapat memicu konflik lebih besar.

Penyelidikan lebih lanjut terhadap insiden ini diharapkan dapat memberikan gambaran lebih jelas mengenai niat pria tersebut dan dampaknya terhadap keamanan nasional kedua negara.

16 Kapal Perang China Terdeteksi Di Perairan Negara Taiwan

Taipei – Ketegangan di perairan Taiwan semakin meningkat setelah 16 kapal perang China terdeteksi beroperasi di sekitar perairan wilayah Taiwan. Peningkatan aktivitas militer ini memicu kekhawatiran global, mengingat ketegangan yang terus berkembang antara China dan Taiwan serta potensi konfrontasi dengan negara-negara Barat yang mendukung Taiwan.

Berdasarkan laporan dari Kementerian Pertahanan Taiwan, kapal-kapal perang China terlihat bergerak di sekitar Selat Taiwan pada pagi hari ini. Sebagian besar kapal tersebut adalah jenis fregat, kapal selam, dan kapal perusak yang memiliki kemampuan tempur canggih. Meskipun belum ada pelanggaran langsung terhadap wilayah perairan teritorial Taiwan, kehadiran kapal-kapal tersebut menambah ketegangan di kawasan yang sudah diliputi ketidakpastian geopolitik.

Keberadaan kapal perang ini datang setelah Beijing mengumumkan bahwa mereka sedang melakukan latihan militer skala besar di Laut China Timur dan Laut China Selatan. Latihan-latihan semacam ini, yang melibatkan pengerahan pasukan laut dan udara, sering kali dianggap sebagai tindakan provokatif oleh Taiwan dan negara-negara yang mendukung kebebasan navigasi di wilayah tersebut. Meskipun China menyatakan latihan ini sebagai bagian dari latihan rutin, banyak pihak yang menganggapnya sebagai ancaman langsung terhadap Taiwan.

Pemerintah Taiwan segera meningkatkan kesiapsiagaan militernya dan mengeluarkan peringatan kepada warga tentang potensi ancaman yang datang dari aktivitas militer China. Selain itu, Taiwan meminta dukungan dari negara-negara sekutunya, termasuk Amerika Serikat dan Jepang, untuk mengirimkan pasukan dan memperkuat posisi strategis di kawasan. Sejumlah diplomat internasional juga mengutuk tindakan China yang dianggap mengancam stabilitas kawasan Asia-Pasifik.

Situasi ini memunculkan kekhawatiran akan kemungkinan eskalasi ketegangan, yang bisa memicu konflik terbuka di kawasan tersebut. Ketegangan antara China dan Taiwan telah berlangsung lama, dengan Beijing menganggap Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya yang sah, sementara Taiwan bertekad untuk mempertahankan kemerdekaannya. Konflik ini berpotensi memiliki dampak global, mengingat peran strategis Taiwan dalam rantai pasokan teknologi dan perdagangan internasional.

Presiden Xi Jinping Minta BRICS Susun Strategi Untuk Atasi Masalah Global

Beijing – Dalam pernyataan terbaru, Presiden China, Xi Jinping, mendesak negara-negara anggota BRICS untuk bekerja sama dalam merumuskan strategi efektif dalam menghadapi tantangan global yang semakin kompleks. Seruan ini disampaikan menjelang pertemuan puncak BRICS yang akan diadakan bulan depan.

Xi menyoroti sejumlah masalah mendesak, termasuk perubahan iklim, ketidakstabilan ekonomi, dan ancaman terhadap keamanan global. Ia menekankan perlunya kolaborasi di antara negara-negara anggota BRICS, yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan, untuk menemukan solusi yang dapat diterapkan secara bersama-sama.

Dalam konteks ini, Xi menyerukan pembentukan mekanisme kerja sama yang lebih kuat di bidang energi, kesehatan, dan teknologi. Ia percaya bahwa dengan berbagi sumber daya dan pengetahuan, negara-negara BRICS dapat meningkatkan ketahanan masing-masing terhadap krisis global.

Presiden Xi juga mengajak negara-negara BRICS untuk meningkatkan investasi di sektor-sektor inovatif. Menurutnya, kolaborasi dalam penelitian dan pengembangan teknologi dapat menjadi kunci untuk menghadapi tantangan yang ada, termasuk kebutuhan akan energi bersih dan pengembangan vaksin.

Xi menegaskan bahwa BRICS memiliki peran penting dalam membentuk tatanan dunia yang lebih adil dan seimbang. Dengan bersatu, ia yakin negara-negara ini dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap perdamaian dan stabilitas global.

Pernyataan Xi Jinping ini menunjukkan komitmen Tiongkok untuk memperkuat kemitraan dalam BRICS dan mengatasi isu-isu krusial yang dihadapi dunia saat ini. Pertemuan mendatang diharapkan dapat menghasilkan kesepakatan konkret dalam menghadapi tantangan global bersama.