Kesepakatan Gencatan Senjata Rusia-Ukraina Makin Dekat, AS Optimistis

Utusan Khusus Amerika Serikat, Steve Witkoff, menyatakan bahwa gencatan senjata penuh antara Rusia dan Ukraina bisa tercapai dalam beberapa pekan ke depan. Ia menegaskan bahwa perundingan antara kedua negara telah menunjukkan kemajuan signifikan. Witkoff juga mengungkapkan bahwa setelah kesepakatan gencatan senjata tercapai, sanksi ekonomi yang diberlakukan AS terhadap Rusia akan mulai dilonggarkan.

Untuk mempercepat proses ini, pertemuan lanjutan akan digelar di Arab Saudi pada awal pekan depan. Witkoff menjelaskan bahwa komunikasi antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin telah berlangsung produktif dan berorientasi pada penyelesaian konflik. Kedua pemimpin bahkan dikabarkan telah membahas kemungkinan pertemuan langsung di masa mendatang guna memperkuat kesepakatan.

Pada hari Selasa, Trump dan Putin melakukan percakapan selama lebih dari dua jam melalui saluran telepon. Mereka membicarakan hubungan bilateral, solusi damai untuk konflik Ukraina, serta situasi geopolitik di Timur Tengah. Trump menggambarkan diskusi tersebut sebagai dialog yang positif dan membangun.

Sementara itu, terkait serangan Rusia ke Ukraina yang terjadi pada hari yang sama, Witkoff menyatakan bahwa dalam waktu 10 menit setelah pembicaraan dimulai, Putin langsung menginstruksikan militer Rusia untuk tidak lagi menyerang infrastruktur energi Ukraina. Ia menegaskan bahwa serangan yang terjadi sebelumnya berlangsung sebelum perintah tersebut diberikan.

Dalam konteks hubungan AS-Rusia, Witkoff menekankan bahwa hubungan kedua negara memegang peran krusial bagi stabilitas global, terutama dalam isu yang melibatkan China, Iran, dan Timur Tengah.

Trump Ancam Hancurkan Houthi, Desak Iran Hentikan Dukungan

Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Rabu (19/3) menegaskan bahwa Iran harus segera menghentikan segala bentuk dukungan yang diduga diberikan kepada kelompok Houthi di Yaman. Ia memperingatkan bahwa jika Teheran terus memasok bantuan, kelompok pemberontak tersebut akan dihancurkan sepenuhnya. Trump mengklaim bahwa Iran telah mengurangi keterlibatannya, tetapi masih mengirimkan pasokan dalam jumlah besar. Meski demikian, tidak jelas apakah pernyataannya itu berdasarkan laporan intelijen resmi atau hanya informasi dari media.

Dalam unggahan di media sosial, Trump menegaskan bahwa Iran harus menghentikan pengiriman pasokan tersebut segera, agar Houthi berjuang sendiri. Ia menyatakan bahwa kelompok itu sudah berada di ambang kekalahan dan serangan yang mereka terima akan semakin parah. Menurutnya, pertempuran ini tidak akan pernah adil bagi Houthi, yang pada akhirnya akan musnah sepenuhnya.

Di hari yang sama, media lokal melaporkan serangan udara baru yang dilancarkan AS terhadap wilayah utara dan barat Yaman. Sementara itu, juru bicara militer Houthi, Yahya Saree, dalam siaran televisi mengklaim pihaknya telah menargetkan kapal induk USS Harry Truman di Laut Merah menggunakan rudal dan pesawat nirawak. Serangan itu disebut sebagai yang keempat dalam kurun 72 jam.

Pada Selasa malam, kelompok Houthi mengumumkan kematian 10 perwira militernya akibat serangan AS. Anadolu melaporkan bahwa sejak Sabtu, lebih dari 60 serangan udara telah dilancarkan AS di Yaman, menewaskan lebih dari 50 orang dan melukai puluhan lainnya. Serangan Houthi terhadap kapal-kapal yang terkait dengan Israel di Laut Merah, Laut Arab, Selat Bab al-Mandab, dan Teluk Aden semakin mengganggu perdagangan global. Mereka mengklaim tindakan ini sebagai bentuk solidaritas terhadap Gaza. Serangan sempat dihentikan saat gencatan senjata antara Israel dan Hamas diumumkan pada Januari, namun kembali berlanjut setelah Israel memblokir bantuan kemanusiaan ke Gaza pada 2 Maret.

Serangan Militer AS di Yaman: Respons Houthi dan Konflik dengan Zionis

Presiden Amerika Donald Trump telah mengarahkan serangan militer penuh terhadap gerakan Houthi di Yaman, yang dianggap sebagai ancaman terhadap kepentingan Israel. Serangan ini menyusul keputusan Houthi untuk melarang kapal yang terafiliasi dengan Israel untuk melintas di perairan Yaman. Larangan ini dikeluarkan sebagai bentuk solidaritas terhadap Palestina, yang hingga saat ini terus menghadapi penjajahan Israel. Tindakan ini mendapat kecaman keras dari Mohammed al-Bukhaiti, seorang pemimpin Houthi, yang menilai agresi AS ini sebagai bentuk dukungan langsung terhadap Israel dalam upayanya menganiaya warga Palestina. Al-Bukhaiti menegaskan bahwa Yaman tidak akan pernah mundur dalam mendukung perjuangan Palestina, bahkan jika harus menanggung konsekuensi besar akibat serangan-serangan tersebut.

Dalam reaksi terhadap agresi ini, Dewan Politik Tertinggi Yaman mengeluarkan pernyataan keras yang mengutuk tindakan AS dan Inggris. Mereka menegaskan bahwa serangan udara yang dilakukan oleh pasukan AS-Inggris di beberapa wilayah Yaman hanya menunjukkan ketidakmampuan Amerika untuk menghentikan perlawanan yang semakin kuat dan meluas. Serangan-serangan udara yang menghantam beberapa provinsi Yaman telah mengakibatkan sejumlah korban jiwa, dan Angkatan Bersenjata Yaman tengah mempersiapkan balasan yang lebih luas untuk merespons serangan ini. Pada saat yang sama, Yaman kembali menegaskan larangan kapal Israel untuk melintas di Laut Merah dan Teluk Aden, sebagai bagian dari strategi mereka untuk mendukung perjuangan Palestina.

Sementara itu, Hamas, kelompok perlawanan Palestina, menyambut positif pernyataan Presiden Trump yang menegaskan tidak akan ada pemindahan massal warga Palestina dari Gaza. Trump mengatakan bahwa tidak akan ada pengusiran warga Palestina dari Gaza, meskipun rencana tersebut sempat beredar sebelumnya. Menanggapi pernyataan ini, juru bicara Hamas, Hazem Qassem, mengatakan bahwa langkah ini sangat positif, namun ia mengingatkan bahwa tindakan nyata harus dilakukan untuk mendukung Palestina dan memastikan hak-hak mereka terlindungi. Hamas juga mendesak agar dunia internasional mendesak Israel untuk menghentikan kebijakan agresifnya di Gaza dan memperkuat gencatan senjata yang telah disepakati. Gerakan ini berpendapat bahwa perdamaian yang sejati hanya dapat terwujud jika Israel memenuhi tuntutan internasional dan mengakhiri pendudukan atas wilayah Palestina.

Dengan meningkatnya ketegangan di kawasan ini, Yaman dan Hamas menunjukkan komitmennya untuk terus mendukung Palestina, meskipun menghadapi agresi dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Israel. Kedua pihak ini semakin menunjukkan bahwa mereka tidak akan mundur dalam memperjuangkan hak-hak rakyat Palestina. Meskipun serangan dan agresi terus berlanjut, baik dari Israel maupun Amerika, semangat perjuangan dan solidaritas internasional terhadap Palestina terus bergelora, menciptakan ketegangan yang tidak kunjung reda di kawasan Timur Tengah.

AS Pertimbangkan Pembatasan Ketat bagi Pengunjung dari 43 Negara

Pemerintah Amerika Serikat dikabarkan tengah mempertimbangkan kebijakan baru yang membatasi kunjungan warga asing dari 43 negara, termasuk Rusia. Laporan dari New York Times (NYT) mengungkapkan bahwa langkah ini mencakup larangan perjalanan yang lebih luas dibandingkan kebijakan sebelumnya yang diterapkan oleh Presiden Donald Trump pada periode pertamanya. Rencana tersebut mencakup tiga kategori pembatasan, dengan 11 negara masuk dalam “daftar merah,” yang berarti pelancong dari negara-negara tersebut akan dilarang sepenuhnya memasuki AS. Negara-negara dalam kategori ini termasuk Afghanistan, Iran, Korea Utara, Sudan, Suriah, Yaman, dan lainnya.

Selain itu, 10 negara lainnya, termasuk Rusia, Pakistan, Myanmar, dan Belarus, akan dimasukkan dalam “daftar jingga.” Warga dari negara-negara ini masih diperbolehkan masuk ke AS, tetapi hanya untuk tujuan bisnis dengan persyaratan visa yang lebih ketat. Mereka tidak dapat mengajukan visa imigrasi atau wisata, serta diwajibkan mengikuti wawancara langsung dalam proses pengajuan visa. Sementara itu, 22 negara lain, termasuk Kamboja dan beberapa negara Afrika, dimasukkan dalam “daftar kuning,” yang berarti mereka diberikan waktu 60 hari untuk memperbaiki sistem keamanan dan berbagi informasi dengan AS terkait pelancong mereka.

Meskipun alasan spesifik di balik kebijakan ini belum sepenuhnya jelas, pemerintah AS dikabarkan menargetkan negara-negara yang dianggap tidak kooperatif dalam hal keamanan perjalanan. Saat ini, daftar pembatasan tersebut masih dalam tahap evaluasi oleh Departemen Luar Negeri dan instansi terkait sebelum diserahkan ke Gedung Putih untuk disesuaikan. Sebelumnya, Trump menerapkan kebijakan larangan perjalanan serupa pada 2017, yang kemudian dicabut oleh Joe Biden pada 2021.

Ketegangan Meningkat: AS Peringatkan Rusia Terkait Serangan Houthi

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Marco Rubio, menghubungi Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, untuk menyampaikan informasi terkait operasi militer yang dilakukan AS terhadap kelompok Houthi di Yaman. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Tammy Bruce, menegaskan bahwa serangan yang dilakukan kelompok Houthi terhadap kapal militer dan komersial AS di Laut Merah tidak akan dibiarkan dan akan mendapatkan balasan yang tegas.

Selain membahas serangan terhadap Houthi, Rubio dan Lavrov juga mendiskusikan langkah-langkah lanjutan setelah pertemuan mereka di Arab Saudi. Keduanya sepakat untuk terus berupaya memperbaiki komunikasi antara Washington dan Moskow guna menjaga stabilitas global. Sementara itu, militer AS telah melancarkan serangan udara ke wilayah Yaman yang menargetkan kelompok Houthi dan menyebabkan sedikitnya 19 korban jiwa. Presiden AS, Donald Trump, menegaskan bahwa serangan lebih lanjut akan dilakukan jika kelompok tersebut terus mengancam kapal dagang di Laut Merah.

Sejak akhir 2023, kelompok Houthi telah melancarkan berbagai serangan menggunakan rudal dan drone terhadap kapal-kapal yang memiliki hubungan dengan Israel. Mereka mengklaim bahwa serangan ini merupakan bentuk dukungan terhadap rakyat Palestina di Gaza. Namun, ketika Israel dan Hamas menyepakati gencatan senjata, Houthi menghentikan serangan mereka. Ketegangan kembali meningkat ketika Israel memblokir bantuan kemanusiaan ke Gaza pada 2 Maret, yang kemudian memicu ancaman baru dari Houthi untuk melanjutkan serangan terhadap kapal-kapal yang melintasi perairan Laut Merah.

G7 Bahas Ukraina, China, dan Stabilitas Global di Kanada

Para menteri luar negeri dari kelompok G7 berkumpul di La Malbaie, Quebec, Kanada, pada Rabu, 12 Maret, untuk membahas isu-isu global yang mendesak, termasuk konflik Ukraina dan dinamika kekuatan China di Indo-Pasifik. Pertemuan ini melibatkan diplomat dari Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, serta Uni Eropa. Pembicaraan resmi dijadwalkan dimulai pada Kamis, hanya beberapa hari setelah Washington sepakat untuk melanjutkan bantuan militer dan intelijen kepada Ukraina. Kesepakatan ini membawa harapan baru bagi proses perdamaian yang sebelumnya mengalami kebuntuan akibat ketegangan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.

Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, yang baru saja kembali dari Arab Saudi, mengungkapkan bahwa pejabat senior Ukraina telah menyatakan kesiapan mereka untuk menerima usulan gencatan senjata selama 30 hari. Namun, kesepakatan ini masih memerlukan persetujuan dari Rusia, dengan Trump menekankan bahwa keputusan akhir ada di tangan Kremlin. Rusia kini diharapkan memberikan respons positif terhadap upaya penghentian konflik yang telah berlangsung sejak Februari 2022. Sementara itu, pertemuan G7 akan membahas berbagai isu strategis lainnya, termasuk keamanan maritim, stabilitas di Timur Tengah, serta peran kelompok ini dalam menjaga tatanan internasional.

Sebelum berangkat ke Kanada, Menteri Luar Negeri Jepang, Takeshi Iwaya, menekankan pentingnya menjaga kesatuan dan kerja sama G7 di tengah perubahan geopolitik yang dinamis. Jepang, sebagai satu-satunya anggota G7 dari Asia, juga berkomitmen untuk membawa perspektif Indo-Pasifik dalam pembahasan. Pada hari terakhir pertemuan, para menteri akan bertukar pandangan mengenai tantangan dari negara-negara seperti China, Iran, dan Korea Utara, serta membahas kerja sama untuk perdamaian di Afrika. Mereka berencana mengeluarkan pernyataan bersama yang menegaskan dukungan terhadap upaya perdamaian di Ukraina dan komitmen mereka terhadap kawasan Indo-Pasifik yang stabil dan bebas dari intervensi sepihak.

Hamas Sambut Sikap Trump yang Tolak Pemindahan Paksa Warga Gaza

Kelompok perlawanan Palestina, Hamas, menyambut baik pernyataan Presiden AS Donald Trump yang menolak rencana pemindahan massal warga Palestina dari Jalur Gaza, wilayah yang telah luluh lantak akibat perang. Pada Rabu, 12 Maret, Trump menegaskan bahwa dirinya tidak akan mendukung pengusiran warga Palestina dari Gaza. Pernyataan tersebut disampaikannya dalam konferensi pers usai bertemu dengan Perdana Menteri Irlandia, Micheal Martin. Menanggapi pernyataan itu, juru bicara Hamas, Hazem Qassem, menyatakan bahwa jika benar Trump menolak segala bentuk relokasi paksa bagi warga Gaza, maka sikap tersebut patut diapresiasi. Hamas juga menyerukan agar posisi ini diperkuat dengan menekan Israel untuk mematuhi ketentuan perjanjian gencatan senjata yang telah disepakati.

Qassem juga mendesak Trump agar tidak berpihak pada kepentingan kelompok Zionis sayap kanan ekstrem yang ingin mengusir warga Palestina dari tanah mereka. Pernyataan Trump muncul setelah pejabat keuangan Israel, Bezalel Smotrich, mengumumkan rencana pembentukan Otoritas Emigrasi di bawah otoritas pertahanan Israel guna mengatur pemindahan paksa warga Palestina dari Gaza. Sementara itu, negara-negara Arab telah menyetujui rencana rekonstruksi Gaza dalam pertemuan Organisasi Kerja Sama Islam pada awal Maret. Proyek pembangunan kembali ini diperkirakan memakan waktu lima tahun dengan total anggaran mencapai 53 miliar dolar AS.

Sebelumnya, Trump pernah mengusulkan untuk mengambil alih Gaza dan merelokasi penduduknya ke tempat lain dengan tujuan menjadikan wilayah tersebut sebagai destinasi wisata. Namun, gagasan itu ditolak oleh negara-negara Arab serta komunitas internasional karena dinilai sebagai bentuk pembersihan etnis. Hingga kini, lebih dari 48.500 warga Palestina telah menjadi korban serangan Israel sejak Oktober 2023. Sementara itu, Mahkamah Pidana Internasional telah mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, serta mantan pejabat pertahanan, Yoav Gallant, atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Israel juga tengah menghadapi gugatan kasus genosida di Mahkamah Internasional akibat agresinya di wilayah Palestina.

Pezeshkian: Iran Tak Akan Berunding dengan AS, Trump Dapat Tantangan

Pemerintah Iran kembali menunjukkan sikap tegas terhadap tekanan yang datang dari Amerika Serikat. Presiden Iran, Masoud Pezeshkian, mengeluarkan pernyataan yang sangat berani pada 11 Maret 2025, menegaskan bahwa negara tersebut tidak akan pernah membuka kesempatan untuk berdialog dengan Washington selama ancaman dan tekanan terus menghantui Iran. Pernyataan ini menunjukkan tekad kuat Iran untuk mempertahankan kedaulatannya tanpa kompromi.

Dalam keterangan resminya, Pezeshkian dengan tegas mengatakan, “Kami tidak akan menerima tekanan atau ancaman yang memaksa kami untuk berunding. Jika tekanan berlanjut, maka tak akan ada ruang untuk dialog. Tindakan yang diambil Amerika Serikat tidak akan mengubah sikap kami.” Pernyataan ini sekaligus menjadi tantangan langsung kepada Presiden AS, Donald Trump, yang sebelumnya mengusulkan dialog untuk merundingkan kesepakatan nuklir baru.

Tindakan Pezeshkian ini juga sejalan dengan sikap Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, yang beberapa hari sebelumnya, pada 8 Maret 2025, menekankan bahwa Iran tidak akan tunduk pada tekanan Barat. Khamenei menyatakan bahwa segala bentuk intervensi yang bertujuan memaksa Iran kembali ke meja perundingan hanya akan menambah kerumitan dan tidak membawa solusi konstruktif. Pernyataan ini muncul sebagai respon terhadap surat resmi dari Presiden Trump yang mengundang Iran untuk membuka kembali pembicaraan mengenai kesepakatan nuklir.

Kebijakan “Tekanan Maksimum” Amerika Serikat

Meski Presiden Trump sebelumnya menunjukkan keterbukaan terhadap diplomasi, ia tetap mempertahankan kebijakan “tekanan maksimum” terhadap Iran. Kebijakan ini melibatkan sanksi ekonomi yang sangat keras dan isolasi internasional yang bertujuan menekan Iran, termasuk pembatasan ketat terhadap ekspor minyak, yang merupakan sumber utama pendapatan negara tersebut. Dalam sebuah wawancara dengan Fox Business, Trump menegaskan kembali pendekatannya, menyatakan, “Ada dua cara untuk mengatasi masalah dengan Iran – melalui aksi militer atau dengan merundingkan kesepakatan yang saling menguntungkan.” Hal ini menggambarkan pendekatan keras Amerika Serikat dalam menghadapi tantangan global, terutama yang terkait dengan kebijakan luar negeri dan isu-isu keamanan internasional.

Isu Nuklir Iran dan Kekhawatiran Dunia

Di tengah ketegangan yang semakin meningkat, Iran terus mempercepat program nuklirnya, dengan pengayaan uranium yang kini telah mencapai tingkat 60 persen. Hal ini semakin mendekati ambang batas untuk pengembangan senjata nuklir. Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) telah mengeluarkan peringatan keras terkait langkah Iran yang dianggap dapat memperburuk situasi global dan meningkatkan ketegangan di kawasan Timur Tengah.

Meskipun Iran tetap bersikukuh bahwa program nuklir mereka hanya bertujuan untuk kebutuhan energi dan riset, percepatan pengayaan uranium ini tetap menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan komunitas internasional. Ketegangan ini semakin meningkat sejak 2019, ketika Amerika Serikat menarik diri dari Perjanjian Nuklir 2015 dan memberlakukan sanksi ekonomi yang sangat memberatkan bagi Iran.

Harapan akan Diplomasi di Tengah Ketegangan Global

Di tengah ketegangan yang semakin memanas ini, banyak pihak internasional berharap masih ada ruang untuk diplomasi. Meskipun retorika keras dan kebijakan tekanan menjadi dominan, ada harapan bahwa kedua negara dapat mencari jalan tengah yang dapat mengurangi ketegangan. Diplomasi tetap dianggap sebagai cara terbaik untuk meredakan konflik dan mencegah potensi eskalasi lebih lanjut. Para pengamat berharap, meski jalan menuju kompromi tampak penuh tantangan, sebuah solusi damai masih mungkin tercapai.

Perkembangan ini menunjukkan betapa kompleksnya dinamika geopolitik saat ini, di mana kepentingan nasional, keamanan internasional, dan kebijakan luar negeri saling berinteraksi. Dunia saat ini menantikan langkah-langkah selanjutnya dari kedua negara, berharap bahwa suatu saat titik temu dapat ditemukan yang akan membawa perdamaian dan stabilitas, baik di Timur Tengah maupun dalam tatanan global yang lebih luas.

Ketegangan Oval Office: Zelenskyy Kirim Surat Permintaan Maaf ke Trump

Utusan khusus Presiden Donald Trump, Steve Witkoff, mengungkapkan bahwa Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy telah mengirim surat kepada Trump sebagai bentuk permintaan maaf atas insiden yang terjadi di ruang Oval. Peristiwa tersebut menyebabkan batalnya perjanjian penting antara Washington dan Kiev terkait mineral strategis. Trump sebelumnya telah menyebut surat tersebut dalam pidatonya di hadapan Kongres AS pekan lalu.

Witkoff menegaskan bahwa surat tersebut menunjukkan sikap Zelenskyy dalam meredakan ketegangan. Ia juga menyebut bahwa berbagai diskusi telah dilakukan antara tim Amerika Serikat, Ukraina, serta pemangku kepentingan dari Eropa yang terlibat dalam negosiasi. Witkoff menilai hal ini sebagai langkah positif menuju kesepakatan. Dalam wawancara dengan Fox News, ia mengungkapkan harapannya agar perundingan bisa kembali dilanjutkan. Pernyataannya itu disampaikan sesaat sebelum ia bertolak ke Arab Saudi untuk bertemu dengan perwakilan Ukraina.

Ketegangan dalam pertemuan pada 28 Februari lalu memuncak saat Zelenskyy mempertanyakan apakah Presiden Rusia Vladimir Putin dapat dipercaya dalam negosiasi perdamaian. Ia merujuk pada berbagai perjanjian sebelumnya yang kerap dilanggar oleh Moskow sebelum melakukan invasi skala penuh ke Ukraina. Trump, di sisi lain, telah menyatakan penolakannya terhadap keanggotaan Ukraina di NATO, aliansi pertahanan transatlantik yang memerlukan persetujuan bulat dari seluruh anggotanya untuk menerima anggota baru.

Selain itu, Trump secara keliru menuding Ukraina sebagai pihak yang memulai konflik dengan Rusia. Perselisihan ini berujung pada keputusan mendadak Zelenskyy untuk meninggalkan Gedung Putih, sehingga perjanjian mineral strategis batal ditandatangani dan konferensi pers bersama dengan Trump pun dibatalkan.

Dukungan Eropa untuk Rekonstruksi Gaza, Israel dan AS Menolak

Menteri luar negeri dari Prancis, Jerman, Italia, dan Inggris pada Sabtu (8/3) menyatakan dukungan mereka terhadap inisiatif negara-negara Arab untuk membangun kembali Jalur Gaza yang hancur akibat serangan Israel. Rencana rekonstruksi yang diprakarsai oleh Mesir dan disetujui oleh para pemimpin Arab pada Selasa sebelumnya diperkirakan akan menelan biaya sebesar 53 miliar dolar AS atau sekitar Rp865 triliun. Langkah ini bertujuan untuk mencegah pengusiran warga Palestina dari wilayah tersebut.

Dalam pernyataan bersama, para menteri luar negeri Eropa menilai bahwa rencana tersebut menawarkan solusi realistis yang dapat mempercepat proses pemulihan Gaza dengan cara yang berkelanjutan. Namun, rencana ini mendapat penolakan dari Israel dan Presiden AS, Donald Trump, yang sebelumnya justru mengusulkan pemindahan warga Palestina dari Gaza, suatu gagasan yang memicu kecaman luas dari berbagai pihak.

Rencana rekonstruksi tersebut mencakup pembentukan sebuah komite administratif yang akan diawaki oleh teknokrat Palestina yang bersifat independen dan profesional. Komite ini akan bertanggung jawab untuk mengawasi distribusi bantuan kemanusiaan serta menangani berbagai urusan di Gaza di bawah pengawasan Otoritas Palestina (PA).

Dukungan dari negara-negara Eropa diharapkan dapat memperkuat posisi negara-negara Arab dalam mewujudkan rencana tersebut. Sementara itu, ketegangan politik semakin meningkat akibat penolakan Israel dan AS terhadap upaya ini, yang menandakan perbedaan sikap yang tajam dalam menangani krisis kemanusiaan di Gaza.