Serangan Militer AS di Yaman: Respons Houthi dan Konflik dengan Zionis

Presiden Amerika Donald Trump telah mengarahkan serangan militer penuh terhadap gerakan Houthi di Yaman, yang dianggap sebagai ancaman terhadap kepentingan Israel. Serangan ini menyusul keputusan Houthi untuk melarang kapal yang terafiliasi dengan Israel untuk melintas di perairan Yaman. Larangan ini dikeluarkan sebagai bentuk solidaritas terhadap Palestina, yang hingga saat ini terus menghadapi penjajahan Israel. Tindakan ini mendapat kecaman keras dari Mohammed al-Bukhaiti, seorang pemimpin Houthi, yang menilai agresi AS ini sebagai bentuk dukungan langsung terhadap Israel dalam upayanya menganiaya warga Palestina. Al-Bukhaiti menegaskan bahwa Yaman tidak akan pernah mundur dalam mendukung perjuangan Palestina, bahkan jika harus menanggung konsekuensi besar akibat serangan-serangan tersebut.

Dalam reaksi terhadap agresi ini, Dewan Politik Tertinggi Yaman mengeluarkan pernyataan keras yang mengutuk tindakan AS dan Inggris. Mereka menegaskan bahwa serangan udara yang dilakukan oleh pasukan AS-Inggris di beberapa wilayah Yaman hanya menunjukkan ketidakmampuan Amerika untuk menghentikan perlawanan yang semakin kuat dan meluas. Serangan-serangan udara yang menghantam beberapa provinsi Yaman telah mengakibatkan sejumlah korban jiwa, dan Angkatan Bersenjata Yaman tengah mempersiapkan balasan yang lebih luas untuk merespons serangan ini. Pada saat yang sama, Yaman kembali menegaskan larangan kapal Israel untuk melintas di Laut Merah dan Teluk Aden, sebagai bagian dari strategi mereka untuk mendukung perjuangan Palestina.

Sementara itu, Hamas, kelompok perlawanan Palestina, menyambut positif pernyataan Presiden Trump yang menegaskan tidak akan ada pemindahan massal warga Palestina dari Gaza. Trump mengatakan bahwa tidak akan ada pengusiran warga Palestina dari Gaza, meskipun rencana tersebut sempat beredar sebelumnya. Menanggapi pernyataan ini, juru bicara Hamas, Hazem Qassem, mengatakan bahwa langkah ini sangat positif, namun ia mengingatkan bahwa tindakan nyata harus dilakukan untuk mendukung Palestina dan memastikan hak-hak mereka terlindungi. Hamas juga mendesak agar dunia internasional mendesak Israel untuk menghentikan kebijakan agresifnya di Gaza dan memperkuat gencatan senjata yang telah disepakati. Gerakan ini berpendapat bahwa perdamaian yang sejati hanya dapat terwujud jika Israel memenuhi tuntutan internasional dan mengakhiri pendudukan atas wilayah Palestina.

Dengan meningkatnya ketegangan di kawasan ini, Yaman dan Hamas menunjukkan komitmennya untuk terus mendukung Palestina, meskipun menghadapi agresi dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Israel. Kedua pihak ini semakin menunjukkan bahwa mereka tidak akan mundur dalam memperjuangkan hak-hak rakyat Palestina. Meskipun serangan dan agresi terus berlanjut, baik dari Israel maupun Amerika, semangat perjuangan dan solidaritas internasional terhadap Palestina terus bergelora, menciptakan ketegangan yang tidak kunjung reda di kawasan Timur Tengah.

Jurnalis Palestina Alaa Hashim Meninggal Akibat Serangan Israel, Menambah Jumlah Korban di Gaza

Forum Jurnalis Palestina mengonfirmasi kematian Alaa Hashim pada Jumat, 14 Maret 2025, akibat luka-luka yang ia terima dari serangan Israel di Kota Gaza, Palestina. Serangan ini merupakan bagian dari kampanye genosida yang terus dilakukan oleh Israel terhadap Palestina, terutama di Jalur Gaza. Kepergian Hashim menambah daftar panjang jurnalis Palestina yang menjadi korban, yang kini berjumlah 206 orang sejak serangan besar-besaran dimulai pada 7 Oktober 2023. Forum Jurnalis Palestina turut berduka cita atas kehilangan ini dan mengecam keras ketidakpedulian dunia internasional terhadap keselamatan jurnalis Palestina. Mereka juga menuntut agar para jurnalis dapat menjalankan tugas mereka secara bebas dan aman, sesuai dengan hukum internasional dan konvensi kemanusiaan.

Meskipun gencatan senjata sempat diberlakukan pada Januari 2025, yang menghentikan serangan besar-besaran Israel, pelanggaran terhadap perjanjian tersebut dilaporkan terjadi hampir setiap hari. Sejak awal serangan, lebih dari 48.500 warga Palestina, termasuk perempuan dan anak-anak, telah terbunuh, dengan ribuan lainnya terluka. Sebagian besar korban tewas ditemukan di bawah reruntuhan bangunan. Mahkamah Pidana Internasional juga telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap sejumlah pejabat tinggi Israel, termasuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, terkait dengan tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Sampai saat ini, jumlah korban yang tewas di Gaza terus bertambah, dengan ribuan orang Palestina dilaporkan hilang.

Hamas Sambut Sikap Trump yang Tolak Pemindahan Paksa Warga Gaza

Kelompok perlawanan Palestina, Hamas, menyambut baik pernyataan Presiden AS Donald Trump yang menolak rencana pemindahan massal warga Palestina dari Jalur Gaza, wilayah yang telah luluh lantak akibat perang. Pada Rabu, 12 Maret, Trump menegaskan bahwa dirinya tidak akan mendukung pengusiran warga Palestina dari Gaza. Pernyataan tersebut disampaikannya dalam konferensi pers usai bertemu dengan Perdana Menteri Irlandia, Micheal Martin. Menanggapi pernyataan itu, juru bicara Hamas, Hazem Qassem, menyatakan bahwa jika benar Trump menolak segala bentuk relokasi paksa bagi warga Gaza, maka sikap tersebut patut diapresiasi. Hamas juga menyerukan agar posisi ini diperkuat dengan menekan Israel untuk mematuhi ketentuan perjanjian gencatan senjata yang telah disepakati.

Qassem juga mendesak Trump agar tidak berpihak pada kepentingan kelompok Zionis sayap kanan ekstrem yang ingin mengusir warga Palestina dari tanah mereka. Pernyataan Trump muncul setelah pejabat keuangan Israel, Bezalel Smotrich, mengumumkan rencana pembentukan Otoritas Emigrasi di bawah otoritas pertahanan Israel guna mengatur pemindahan paksa warga Palestina dari Gaza. Sementara itu, negara-negara Arab telah menyetujui rencana rekonstruksi Gaza dalam pertemuan Organisasi Kerja Sama Islam pada awal Maret. Proyek pembangunan kembali ini diperkirakan memakan waktu lima tahun dengan total anggaran mencapai 53 miliar dolar AS.

Sebelumnya, Trump pernah mengusulkan untuk mengambil alih Gaza dan merelokasi penduduknya ke tempat lain dengan tujuan menjadikan wilayah tersebut sebagai destinasi wisata. Namun, gagasan itu ditolak oleh negara-negara Arab serta komunitas internasional karena dinilai sebagai bentuk pembersihan etnis. Hingga kini, lebih dari 48.500 warga Palestina telah menjadi korban serangan Israel sejak Oktober 2023. Sementara itu, Mahkamah Pidana Internasional telah mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, serta mantan pejabat pertahanan, Yoav Gallant, atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Israel juga tengah menghadapi gugatan kasus genosida di Mahkamah Internasional akibat agresinya di wilayah Palestina.

Gaza di Ambang Kehancuran: Krisis Air Memperburuk Derita Warga

Krisis air di Jalur Gaza telah mencapai titik kritis, dengan 90 persen penduduknya kini tidak memiliki akses terhadap air minum yang layak. UNICEF memperingatkan bahwa kondisi ini mengancam keselamatan jutaan warga, terutama anak-anak yang paling rentan terhadap dampaknya. Rosalia Poulin, pejabat UNICEF di Gaza, menyebutkan bahwa pada November 2024, sekitar 600.000 orang sempat mendapatkan kembali akses air bersih, namun situasi tersebut tidak bertahan lama. Saat ini, mayoritas penduduk kembali menghadapi kesulitan mendapatkan sumber air yang aman dan layak konsumsi.

Badan-badan PBB melaporkan bahwa sekitar 1,8 juta warga Gaza—lebih dari separuhnya adalah anak-anak—membutuhkan bantuan darurat, termasuk pasokan air bersih, sanitasi yang memadai, serta layanan kesehatan. Situasi ini semakin memburuk setelah Israel memutus aliran listrik ke Gaza, menyebabkan fasilitas desalinasi air laut berhenti beroperasi. Tanpa proses penyaringan, pasokan air yang tersedia menjadi sangat terbatas dan berisiko tinggi terkontaminasi. Kondisi ini memperbesar kemungkinan merebaknya penyakit akibat konsumsi air yang tidak layak, seperti diare akut dan infeksi lainnya.

UNICEF menegaskan bahwa tanpa intervensi segera, dampak krisis ini akan semakin meluas, mengancam kesehatan dan kehidupan warga Gaza. Kurangnya air bersih tidak hanya meningkatkan risiko penyakit tetapi juga memperburuk situasi kemanusiaan di wilayah tersebut. Saat ini, penduduk Gaza menghadapi ancaman berlapis, dari konflik berkepanjangan hingga kelangkaan sumber daya esensial yang semakin parah.

Dukungan Eropa untuk Rekonstruksi Gaza, Israel dan AS Menolak

Menteri luar negeri dari Prancis, Jerman, Italia, dan Inggris pada Sabtu (8/3) menyatakan dukungan mereka terhadap inisiatif negara-negara Arab untuk membangun kembali Jalur Gaza yang hancur akibat serangan Israel. Rencana rekonstruksi yang diprakarsai oleh Mesir dan disetujui oleh para pemimpin Arab pada Selasa sebelumnya diperkirakan akan menelan biaya sebesar 53 miliar dolar AS atau sekitar Rp865 triliun. Langkah ini bertujuan untuk mencegah pengusiran warga Palestina dari wilayah tersebut.

Dalam pernyataan bersama, para menteri luar negeri Eropa menilai bahwa rencana tersebut menawarkan solusi realistis yang dapat mempercepat proses pemulihan Gaza dengan cara yang berkelanjutan. Namun, rencana ini mendapat penolakan dari Israel dan Presiden AS, Donald Trump, yang sebelumnya justru mengusulkan pemindahan warga Palestina dari Gaza, suatu gagasan yang memicu kecaman luas dari berbagai pihak.

Rencana rekonstruksi tersebut mencakup pembentukan sebuah komite administratif yang akan diawaki oleh teknokrat Palestina yang bersifat independen dan profesional. Komite ini akan bertanggung jawab untuk mengawasi distribusi bantuan kemanusiaan serta menangani berbagai urusan di Gaza di bawah pengawasan Otoritas Palestina (PA).

Dukungan dari negara-negara Eropa diharapkan dapat memperkuat posisi negara-negara Arab dalam mewujudkan rencana tersebut. Sementara itu, ketegangan politik semakin meningkat akibat penolakan Israel dan AS terhadap upaya ini, yang menandakan perbedaan sikap yang tajam dalam menangani krisis kemanusiaan di Gaza.

Houthi Beri Israel Tenggat Waktu, Ancam Lanjutkan Serangan di Laut Merah

Pemimpin kelompok Houthi, Abdul Malik al-Houthi, memberikan Israel tenggat waktu empat hari untuk mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza. Jika tuntutan ini tidak dipenuhi, Houthi mengancam akan kembali melancarkan operasi militer di perairan Laut Merah. Peringatan ini disampaikan dalam pidatonya yang disiarkan oleh TV Al-Masirah, yang berafiliasi dengan kelompok tersebut.

Al-Houthi menuduh Israel melanggar kesepakatan gencatan senjata yang telah disepakati, serta menggunakan strategi kelaparan sebagai senjata perang terhadap warga Gaza. Ia menegaskan bahwa tindakan semacam ini tidak bisa dibiarkan. “Kami memberikan waktu empat hari kepada para mediator,” ujarnya. “Jika dalam periode itu bantuan tetap dicegah masuk ke Gaza dan penyeberangan masih ditutup, kami akan kembali menyerang kapal-kapal yang berafiliasi dengan Israel.”

Sejak November 2023, kelompok Houthi telah melakukan serangan rudal dan drone ke arah target Israel serta kapal-kapal dagang di Laut Merah sebagai bentuk solidaritas terhadap Gaza. Serangan-serangan tersebut meningkatkan ketegangan di kawasan dan memicu respons dari negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat dan Inggris.

Sementara itu, pada Minggu, Israel memblokir masuknya bantuan ke Gaza setelah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menolak memulai tahap kedua negosiasi gencatan senjata dengan Hamas. Sejak serangan Israel dimulai pada Oktober 2023, lebih dari 48.400 warga Palestina dilaporkan tewas dan lebih dari 111.800 lainnya mengalami luka-luka. Gencatan senjata yang sempat berlaku sejak 19 Januari telah memungkinkan pertukaran tahanan, namun belum menghasilkan solusi jangka panjang bagi krisis kemanusiaan yang terjadi.

Arab Saudi dan Mesir Kecam Israel atas Penghentian Bantuan ke Gaza

Arab Saudi mengutuk keras keputusan Israel yang menangguhkan bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza meskipun telah ada kesepakatan sebelumnya. Pernyataan ini disampaikan oleh Kementerian Luar Negeri Arab Saudi pada Minggu, menegaskan bahwa tindakan Israel merupakan bentuk hukuman kolektif yang bertentangan dengan hukum internasional. Langkah ini diumumkan setelah Hamas menolak usulan Steve Witkoff, utusan AS untuk Timur Tengah, terkait perpanjangan fase pertama gencatan senjata.

Arab Saudi mendesak komunitas internasional untuk bertindak tegas terhadap Israel serta memastikan kelangsungan distribusi bantuan kemanusiaan bagi rakyat Gaza. Menurut Riyadh, penggunaan bantuan sebagai alat tekanan politik sangat tidak dapat diterima, terutama saat kondisi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk.

Mesir juga mengecam keputusan Israel dengan menyatakan bahwa kebijakan tersebut menunjukkan upaya mencapai tujuan politik dengan mengorbankan nyawa warga sipil. Kementerian Luar Negeri Mesir menegaskan bahwa tindakan ini menjadi semakin tidak dapat dibenarkan karena dilakukan saat Bulan Suci Ramadan, momen yang seharusnya mengedepankan solidaritas dan perdamaian.

Sementara itu, rencana gencatan senjata yang diajukan Steve Witkoff mencakup penghentian konflik selama Ramadan hingga Paskah, yang berlangsung sekitar satu setengah bulan. Usulan ini juga mencakup pembebasan separuh sandera Israel di Gaza pada hari pertama gencatan senjata, dengan pembebasan penuh jika kesepakatan permanen tercapai. Ramadan tahun ini berlangsung dari 28 Februari hingga 29 Maret, sementara Paskah Yahudi akan dirayakan pada 12 hingga 19 April.

Ramadhan di Gaza: Rakyat Palestina Bertahan di Tengah Reruntuhan

Di tengah kondisi yang masih diliputi ketidakpastian, warga Khan Younis, Gaza, tetap berusaha menyambut bulan suci Ramadhan meski hanya dengan dekorasi sederhana di antara puing-puing bangunan yang hancur. Suasana Ramadhan kali ini terasa berbeda, jauh dari perayaan yang biasa mereka lakukan, karena konflik yang belum sepenuhnya berakhir.

Seorang warga Gaza, Abu Salah Madi (77 tahun), mengungkapkan kesedihannya atas kondisi yang dihadapi masyarakat Palestina saat ini.

“Kami kehilangan rumah, tidak memiliki uang, dan kehabisan cara untuk bertahan hidup,” ucapnya, dikutip dari Reuters, Jumat (28/2/2025).

Ia berharap Ramadhan tahun ini dapat berlangsung tanpa adanya serangan udara yang terus membayangi kehidupan mereka. Selain itu, Abu Salah juga berharap adanya bantuan berupa tenda atau karavan bagi mereka yang kini tak lagi memiliki tempat tinggal.

Pasar Al-Baher Masih Beroperasi, Harga Pangan Lebih Stabil

Di tengah keterbatasan, beberapa pasar di Khan Younis, seperti Pasar Al-Baher, masih beroperasi. Para pedagang merasa sedikit lega karena warga masih bisa membeli daging, sayuran, dan minuman untuk kebutuhan sehari-hari.

Meskipun kondisi belum sepenuhnya pulih, harga bahan makanan kali ini lebih stabil dibandingkan saat pertempuran masih berlangsung. Hal ini memberikan sedikit harapan bagi masyarakat Gaza yang tengah bersiap menjalani bulan penuh ibadah.

Upaya Gencatan Senjata dan Masa Depan Palestina

Sementara itu, upaya untuk memperpanjang fase pertama gencatan senjata masih terus dilakukan. Israel dikabarkan akan mengirim delegasi ke Kairo, Mesir, pada Kamis (27/2/2025), guna membahas kemungkinan perpanjangan gencatan senjata dengan tujuan membebaskan lebih banyak sandera.

Sejak gencatan senjata mulai berlaku pada 19 Januari 2025, Hamas telah menyerahkan empat jenazah sandera. Kesepakatan gencatan senjata yang dirancang dalam tiga tahap ini diharapkan dapat memungkinkan pembebasan 33 sandera Israel di Gaza serta sekitar 2.000 tahanan Palestina yang ditahan di penjara Israel.

Namun, hingga kini masa depan Palestina masih penuh ketidakpastian.

Harapan di Bulan Suci

Di tengah penderitaan dan kehilangan yang begitu besar, warga Gaza hanya bisa berharap Ramadhan tahun ini membawa kedamaian. Mereka juga menantikan lebih banyak bantuan kemanusiaan agar dapat menjalani bulan suci ini dengan sedikit lebih baik.

Meskipun harapan akan perdamaian belum sepenuhnya nyata, semangat warga Gaza untuk tetap bertahan dan menyambut Ramadhan dengan penuh doa menjadi bukti keteguhan mereka dalam menghadapi ujian hidup.

Misteri Sandera di Gaza: Harapan Pembebasan di Tengah Gencatan Senjata

Sejak konflik Israel-Hamas pecah pada 7 Oktober 2023, kelompok Hamas tidak hanya menewaskan warga sipil tetapi juga menyandera sejumlah orang Israel. Saat ini, dengan adanya gencatan senjata yang sedang berlangsung di Gaza, negosiasi terus dilakukan untuk membahas kemungkinan pembebasan para tawanan yang masih tersisa. Dikutip dari AFP pada Jumat (28/2/2025), fase kedua dari kesepakatan gencatan senjata Israel-Hamas berpotensi membawa perdamaian permanen dan membebaskan sisa sandera yang masih ditawan.

Fase pertama gencatan senjata yang dimulai pada 19 Januari 2025 dan berakhir pada 1 Maret 2025 telah membebaskan 25 sandera Israel serta delapan jenazah, sebagai imbalan atas ratusan tahanan Palestina. Selain itu, lima warga Thailand juga dibebaskan di luar perjanjian gencatan senjata. Pihak berwenang Israel memperkirakan bahwa dari 58 sandera yang masih berada di Gaza, 24 di antaranya diyakini masih hidup. Namun, sebagian besar tidak memiliki bukti kehidupan yang jelas. Bahkan, tiga dari empat jenazah sandera yang dipulangkan minggu ini awalnya diduga masih hidup sebelum akhirnya ditemukan telah tewas.

Dalam video yang dirilis Hamas, beberapa sandera terlihat, termasuk Evyatar David (24) dan Guy Gilboa-Dalal (23), yang menyaksikan serah terima tawanan lainnya. Sandera lain seperti Edan Alexander (21) dan Matan Zangauker (25) juga muncul dalam rekaman antara akhir November hingga awal Desember 2024. Informasi dari para sandera yang telah dibebaskan menyebutkan bahwa lebih dari selusin tawanan masih hidup. Seluruh sandera yang tersisa adalah laki-laki, mayoritas berusia di bawah 30 tahun, dengan 22 di antaranya berkewarganegaraan Israel dan 10 memiliki kewarganegaraan ganda.

Selain itu, terdapat dua warga asing yang masih disandera, yakni Bipin Joshi (24) dari Nepal dan Natthapong Pinta (35) dari Thailand. Di antara para sandera, lima orang adalah tentara Israel, termasuk Tamir Nimrodi dan Nimrod Cohen yang masih berusia 20 tahun, menjadikan mereka sandera termuda yang masih berada di Gaza. Sementara itu, Omri Miran (47) dari Hongaria adalah sandera tertua. Dari total 24 sandera yang diyakini masih hidup, 11 di antaranya ditangkap saat menghadiri festival musik yang diserang pada 7 Oktober 2023.

Dari 251 orang yang diculik Hamas sejak awal perang, sedikitnya 41 orang telah tewas saat dibawa ke Gaza. Kelompok Hamas dan Jihad Islam masih menahan jenazah 34 sandera, termasuk mereka yang tewas selama serangan 2023 serta yang meninggal di masa penahanan. Sebanyak 145 sandera telah dibebaskan dalam keadaan hidup, sementara 48 jenazah telah dipulangkan.

Hamas Peringatkan Trump: Hanya Gencatan Senjata yang Bisa Kembalikan Sandera Israel

Pejabat senior Hamas, Sami Abu Zuhri, memperingatkan Presiden AS Donald Trump bahwa satu-satunya cara untuk membebaskan para sandera Israel adalah dengan menghormati perjanjian gencatan senjata antara Israel dan Hamas. Dalam pernyataannya kepada Reuters pada Selasa (11/2/2025), Zuhri menegaskan bahwa kedua belah pihak harus menaati kesepakatan yang telah dibuat. “Trump harus mengingat bahwa ada perjanjian yang harus dihormati oleh kedua pihak, dan ini adalah satu-satunya cara untuk membebaskan para sandera. Ancaman tidak akan menyelesaikan masalah, justru semakin memperumit keadaan,” katanya.

Sebelumnya, Trump menyatakan pada Senin bahwa ia mempertimbangkan untuk membatalkan gencatan senjata dan membiarkan situasi semakin memburuk jika semua sandera Israel yang ditahan Hamas tidak dibebaskan sebelum Sabtu mendatang. Hamas sendiri telah menunda pembebasan sandera hingga ada pemberitahuan lebih lanjut, dengan alasan Israel melanggar perjanjian gencatan senjata karena masih melanjutkan serangan di Jalur Gaza.

Selain itu, Trump juga menimbulkan kemarahan dunia Arab setelah mengusulkan agar Amerika Serikat mengambil alih Gaza, memindahkan lebih dari dua juta penduduknya, dan mengubah kawasan tersebut menjadi “Riviera di Timur Tengah.” Rencana kontroversial ini menjadi salah satu agenda dalam pertemuan antara Trump dan Raja Yordania, Abdullah, pada Selasa waktu AS. Pertemuan tersebut diperkirakan berlangsung tegang karena Trump juga mengancam akan memotong bantuan ke Yordania jika negara itu menolak menerima warga Palestina yang dipindahkan dari Gaza.

Pemindahan paksa penduduk di bawah pendudukan militer merupakan pelanggaran hukum internasional dan dikategorikan sebagai kejahatan perang berdasarkan Konvensi Jenewa 1949. Perang di Gaza, yang dipicu serangan Hamas ke wilayah Israel pada 7 Oktober 2023, telah dihentikan sejak pertengahan Januari melalui perjanjian gencatan senjata yang dimediasi oleh Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat.