PBB: Gaza Butuh Bantuan Miliaran Dolar untuk Bangkit dari Puing Perang

Berikut adalah versi yang telah diubah agar tidak plagiat:


Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa wilayah Gaza membutuhkan dana miliaran dolar untuk membangun kembali infrastruktur yang hancur akibat perang panjang antara Israel dan Hamas. Pernyataan tersebut disampaikan setelah gencatan senjata mulai berlaku pada 19 Januari 2025, mengakhiri konflik selama 15 bulan yang menyebabkan kerusakan besar-besaran di kawasan itu.

Perang yang berlangsung sejak 7 Oktober 2023 telah menelan korban jiwa lebih dari 46.000 orang dan menghancurkan infrastruktur penting di Gaza. Data PBB mengungkapkan bahwa lebih dari dua per tiga bangunan yang ada sebelum perang, yang jumlahnya lebih dari 170.000, mengalami kerusakan atau hancur total. Infrastruktur yang terdampak meliputi perumahan, fasilitas kesehatan, institusi pendidikan, serta kebutuhan dasar lainnya. Hal ini menggambarkan dampak perang yang tidak hanya bersifat material tetapi juga memengaruhi kondisi sosial dan ekonomi penduduk Gaza.

PBB memperkirakan proses pembersihan puing akibat serangan udara dapat memakan waktu hingga 21 tahun, dengan biaya mencapai $1,2 miliar (sekitar Rp 19,5 triliun). Puing-puing tersebut diperkirakan mengandung material berbahaya seperti asbes dan sisa-sisa jasad manusia, yang memperumit upaya rekonstruksi. Situasi ini menyoroti tantangan besar di lapangan dan mendesaknya bantuan kemanusiaan.

Saat ini, lebih dari 1,8 juta penduduk Gaza membutuhkan tempat tinggal sementara. Selain itu, kerusakan pada lahan pertanian juga signifikan, dengan lebih dari separuh lahan pertanian tidak dapat digunakan, mengancam ketahanan pangan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa upaya pemulihan harus mencakup pemulihan infrastruktur sekaligus aspek kehidupan warga.

PBB mengimbau masyarakat internasional untuk mendukung rekonstruksi Gaza. Berbagai negara dan organisasi global diharapkan dapat memberikan bantuan finansial maupun teknis guna mempercepat proses pemulihan. Solidaritas global menjadi kunci dalam mengatasi krisis kemanusiaan ini.

Rekonstruksi Gaza menjadi kebutuhan mendesak, dan semua pihak berharap komunitas internasional bersatu untuk memberikan bantuan yang diperlukan. Dengan bantuan yang cepat dan efektif, masyarakat Gaza diharapkan mampu bangkit kembali dan membangun kehidupan setelah trauma perang. Keberhasilan rekonstruksi ini akan menjadi tolok ukur penting bagi stabilitas dan perdamaian di wilayah tersebut.


PBB: Gaza Memerlukan Miliaran Dolar Untuk Rekonstruksi Pasca-Perang

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan pernyataan bahwa Gaza membutuhkan dana miliaran dolar untuk melakukan rekonstruksi setelah perang yang berkepanjangan antara Israel dan Hamas. Pernyataan ini muncul setelah gencatan senjata yang mulai berlaku pada 19 Januari 2025, menghentikan konflik yang telah berlangsung selama 15 bulan dan menyebabkan kerusakan masif di wilayah tersebut.

Perang yang dimulai pada 7 Oktober 2023 telah mengakibatkan lebih dari 46.000 kematian dan menghancurkan infrastruktur vital di Gaza. Menurut laporan PBB, dua pertiga dari bangunan praperang di Gaza, yang berjumlah lebih dari 170.000, telah rusak atau hancur. Kerusakan ini mencakup rumah tinggal, fasilitas kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur dasar lainnya. Ini menunjukkan bahwa dampak perang tidak hanya bersifat fisik tetapi juga sosial dan ekonomi bagi penduduk Gaza.

PBB memperkirakan bahwa pembersihan puing-puing akibat pengeboman dapat memakan waktu hingga 21 tahun dan menelan biaya sekitar $1,2 miliar (sekitar Rp 19,5 triliun). Puing-puing ini berpotensi mengandung bahan berbahaya seperti asbes dan sisa-sisa jasad manusia, yang menambah tantangan dalam proses rekonstruksi. Ini mencerminkan kompleksitas situasi di lapangan dan kebutuhan mendesak untuk intervensi kemanusiaan.

Saat ini, lebih dari 1,8 juta orang di Gaza membutuhkan tempat tinggal darurat. Kerusakan pada lahan pertanian juga sangat signifikan, dengan lebih dari separuh lahan pertanian rusak, yang berdampak pada ketahanan pangan penduduk. Hal ini menunjukkan bahwa pemulihan tidak hanya harus fokus pada infrastruktur tetapi juga pada aspek kehidupan sehari-hari masyarakat.

PBB menyerukan dukungan internasional untuk membantu rekonstruksi Gaza. Banyak negara dan organisasi internasional diharapkan dapat berkontribusi dalam bentuk bantuan keuangan maupun teknis untuk mempercepat proses pemulihan. Ini menunjukkan pentingnya solidaritas global dalam menghadapi krisis kemanusiaan.

Dengan kebutuhan mendesak untuk rekonstruksi di Gaza, semua pihak berharap agar komunitas internasional dapat bersatu untuk memberikan bantuan yang diperlukan. Diharapkan bahwa proses pemulihan akan berjalan cepat dan efektif, sehingga masyarakat Gaza dapat kembali membangun kehidupan mereka setelah mengalami trauma akibat perang. Keberhasilan dalam rekonstruksi ini akan menjadi indikator penting bagi masa depan stabilitas dan perdamaian di kawasan tersebut.

Tentara Israel Menolak Melanjutkan Perang Di Gaza: Suara Penolakan Dari Dalam

Sejumlah tentara Israel telah mengungkapkan penolakan mereka untuk melanjutkan pertempuran di Gaza, dengan mengklaim bahwa mereka diperintahkan untuk menghancurkan rumah-rumah warga Palestina. Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh Associated Press, tujuh tentara tersebut menjelaskan bagaimana tindakan mereka berkontribusi pada kematian warga sipil yang tidak bersalah dan menimbulkan trauma yang mendalam bagi mereka. Mereka menyatakan bahwa perintah tersebut bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang mereka anut sebagai prajurit.

Penolakan ini muncul di tengah situasi perang yang semakin memanas, di mana serangan udara Israel terus berlangsung dan menyebabkan banyak korban jiwa di pihak Palestina. Dalam serangan terbaru, dilaporkan bahwa lebih dari 40 warga Palestina tewas dalam serangan yang diluncurkan pada tanggal 14 dan 15 Januari 2025. Para tentara ini merasa bahwa melanjutkan perang hanya akan memperburuk keadaan dan menambah penderitaan bagi masyarakat sipil.

Sementara itu, upaya untuk mencapai gencatan senjata terus dilakukan. Beberapa sumber menyebutkan bahwa pembicaraan mengenai kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas telah memasuki tahap akhir. Namun, ketegangan tetap tinggi, dengan banyak warga Israel yang menolak kesepakatan gencatan senjata tanpa kemenangan militer yang jelas atas Hamas. Protes besar-besaran terjadi di Yerusalem, di mana para pengunjuk rasa menyerukan agar pemerintah tidak menyerah kepada Hamas.

Dalam konteks ini, suara tentara yang menolak perintah untuk melanjutkan perang bisa menjadi titik balik penting dalam dinamika konflik ini. Mereka mewakili pandangan yang semakin banyak muncul di kalangan tentara dan masyarakat sipil Israel yang menginginkan solusi damai daripada kekerasan berkelanjutan. Dengan situasi yang semakin mendesak, harapan untuk mencapai perdamaian di Gaza mungkin bergantung pada keberanian individu-individu ini untuk berbicara dan menuntut perubahan.

Postingan Pemerintah Israel Terkait Kebakaran Hutan Los Angeles Memicu Reaksi Keras Di Tengah Perang Gaza

Kebakaran hutan yang melanda Los Angeles telah menarik perhatian internasional, terutama setelah sebuah postingan dari akun resmi Israel di media sosial yang mengaitkan bencana tersebut dengan situasi di Gaza. Reaksi keras muncul dari berbagai kalangan, termasuk aktivis dan netizen yang merasa bahwa pernyataan tersebut tidak sensitif mengingat penderitaan yang dialami oleh warga Palestina.

Kebakaran yang terjadi sejak awal Januari ini telah menghanguskan lebih dari 29.000 hektar lahan dan menyebabkan lebih dari 180.000 orang terpaksa mengungsi dari rumah mereka. Kebakaran Palisades, salah satu yang paling parah, tercatat sebagai yang terburuk dalam sejarah Los Angeles, menewaskan setidaknya lima orang dan menghancurkan ribuan bangunan. Ini menunjukkan betapa seriusnya dampak bencana alam ini terhadap masyarakat dan lingkungan.

Postingan yang dibuat oleh akun resmi Israel menyebutkan bahwa kebakaran di Los Angeles adalah contoh dari “keadilan alam” yang terjadi akibat konflik di Gaza. Pernyataan ini langsung menuai kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk aktivis hak asasi manusia dan pengguna media sosial yang menilai bahwa pernyataan tersebut sangat tidak peka terhadap situasi kemanusiaan yang sedang berlangsung di Gaza. Ini mencerminkan bagaimana komunikasi di era digital dapat memicu reaksi emosional dan kontroversi.

Banyak aktivis, termasuk kelompok anti-Zionis, menggunakan kesempatan ini untuk menyoroti apa yang mereka sebut sebagai standar ganda dalam respons terhadap bencana. Mereka mencatat bahwa sementara kebakaran di LA mendapatkan perhatian besar dan empati, penderitaan warga Gaza sering kali diabaikan. Ini menunjukkan adanya kesenjangan dalam perhatian media dan masyarakat terhadap isu-isu kemanusiaan yang berbeda.

Kebakaran hutan ini diperkirakan menyebabkan kerugian ekonomi hingga USD 57 miliar, dengan dampak jangka panjang bagi komunitas lokal. Masyarakat setempat mulai merasakan dampak sosial dari bencana ini, dengan banyak yang kehilangan tempat tinggal dan sumber penghidupan mereka. Ini mencerminkan betapa bencana alam dapat berdampak luas pada kehidupan manusia dan ekonomi.

Beberapa aktivis menyerukan perlunya kesadaran global tentang kondisi di Gaza, mengaitkan kebakaran hutan dengan dampak perubahan iklim dan konflik bersenjata. Mereka menekankan bahwa tindakan militer yang dilakukan di Gaza memiliki konsekuensi jauh lebih besar daripada sekadar kerugian fisik, termasuk dampak lingkungan yang akan dirasakan secara global. Ini menunjukkan pentingnya pendekatan holistik dalam memahami isu-isu kemanusiaan.

Dengan kebakaran hutan yang terus meluas dan reaksi keras terhadap postingan Israel, semua pihak kini diajak untuk merenungkan kembali bagaimana kita merespons bencana dan konflik. Keberhasilan dalam menciptakan solidaritas global akan sangat bergantung pada kemampuan kita untuk mendengarkan suara-suara yang terpinggirkan dan memahami kompleksitas situasi kemanusiaan di seluruh dunia. Ini menjadi momen penting bagi masyarakat internasional untuk bersatu dalam menghadapi tantangan global bersama-sama.

Jasad Korban Konflik Perang Gaza Dimakan Kucing

Di tengah kekacauan yang terjadi akibat perang yang berkepanjangan di Gaza, sebuah insiden yang mengerikan baru saja dilaporkan. Para warga setempat menemukan jasad korban perang yang sudah tak bernyawa lagi, namun ada hal yang mengejutkan dari kondisi jenazah tersebut. Dalam kejadian ini, jasad korban ditemukan dimakan oleh segerombolan kucing liar yang berkeliaran di sekitar area tersebut. Insiden ini menjadi simbol dari semakin buruknya kondisi kemanusiaan di Gaza.

Jasad yang ditemukan di sebuah sudut kota Gaza ini diperkirakan sudah beberapa hari tergeletak tanpa ada yang memperhatikannya. Dalam keadaan yang mengenaskan, tubuh korban yang tergeletak begitu lama itu mulai menarik perhatian hewan-hewan liar. Kucing-kucing yang biasa berkeliaran di sekitaran kota, diduga kelaparan akibat terkendala pasokan makanan. Tanpa rasa takut, mereka mendekati tubuh yang sudah tak bernyawa dan mulai memakannya.

Kondisi di Gaza semakin hari semakin mengerikan, dengan perang yang berlangsung tanpa henti. Warga Gaza terjebak dalam ketiadaan makanan dan perlindungan, sementara korban perang bertambah jumlahnya setiap harinya. Ketidakmampuan akses ke rumah sakit, layanan dasar, dan bantuan kemanusiaan, menyebabkan semakin banyak orang yang kehilangan nyawa dan tubuh mereka tidak mendapatkan penghormatan yang layak.

Peristiwa ini bukan hanya menggambarkan kekejaman perang, tetapi juga menunjukkan betapa rapuhnya kondisi kemanusiaan di Gaza. Warga yang harus bertahan hidup dalam ketidakpastian dan rasa takut yang terus menghantui mereka, kini harus berhadapan dengan kenyataan bahwa bahkan tubuh mereka pun tidak terjamin akan mendapatkan perawatan atau penghormatan setelah meninggal. Insiden ini memicu keprihatinan internasional terhadap perlunya intervensi lebih lanjut untuk menghentikan penderitaan yang berlarut-larut di Gaza.

Human Rights Watch Sebut Perang Israel Di Gaza Sebuah Genosida

Jakarta – Laporan terbaru dari organisasi hak asasi manusia internasional, Human Rights Watch (HRW), menyebutkan bahwa perang yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok militan Hamas di Gaza telah memenuhi unsur-unsur genosida. Laporan ini merujuk pada serangan militer Israel yang dinilai telah menargetkan warga sipil secara sistematis, serta infrastruktur sipil di wilayah Gaza, yang dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap hukum internasional.

Alasan Human Rights Watch Menyebutnya Sebagai Genosida
Dalam laporan yang diterbitkan hari ini, HRW mengungkapkan bahwa serangan Israel terhadap wilayah sipil di Gaza, termasuk rumah, sekolah, rumah sakit, dan pasar, tidak hanya merusak infrastruktur tetapi juga menyebabkan kematian massal yang tidak sebanding dengan tujuan militer yang sah. Organisasi ini mengutip bukti-bukti dari lokasi serangan dan wawancara dengan saksi mata yang menunjukkan bahwa serangan tersebut dilakukan secara terkoordinasi dan tidak membedakan antara sasaran militer dan sipil. HRW menilai tindakan ini sebagai upaya untuk menghilangkan sebagian besar populasi Palestina di Gaza.

Pernyataan Pemerintah Israel dan Respons Internasional
Pemerintah Israel melalui juru bicaranya membantah tuduhan genosida tersebut, menyatakan bahwa operasi militer mereka di Gaza adalah bagian dari upaya untuk melawan terorisme yang dilakukan oleh Hamas, yang dianggapnya sebagai organisasi teroris. Israel juga menegaskan bahwa mereka telah berusaha menghindari korban sipil sebanyak mungkin dengan mengeluarkan peringatan sebelum serangan. Namun, berbagai negara dan organisasi internasional lainnya mulai mendesak adanya penyelidikan independen terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia ini.

Dampak Bagi Penduduk Gaza dan Upaya Penyelesaian Konflik
Sejak awal konflik, ribuan warga Gaza telah kehilangan nyawa, dan ratusan ribu lainnya terpaksa mengungsi akibat serangan udara dan darat. HRW menekankan bahwa krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung di Gaza semakin memburuk, dengan kebutuhan dasar seperti makanan, air, dan perawatan medis yang semakin sulit didapatkan. Upaya internasional untuk menengahi gencatan senjata terus dilakukan, namun jalan menuju perdamaian yang adil dan berkelanjutan masih terjalin sangat sulit.

Menhan Yoav Katz Sebutkan Israel Akan Tetap Pegang Kendali Atas Gaza Usai Perang

Menteri Pertahanan Israel, Yoav Katz, menyatakan bahwa Israel akan tetap memegang kendali atas Gaza setelah berakhirnya perang yang sedang berlangsung. Pernyataan ini disampaikan dalam sebuah konferensi pers, yang menimbulkan berbagai reaksi dan kekhawatiran dari banyak pihak, terutama negara-negara Arab dan masyarakat internasional.

Menhan Katz mengungkapkan bahwa meskipun konflik saat ini tengah berlangsung sengit, pihaknya berencana untuk memastikan keamanan dan stabilitas di wilayah Gaza dalam jangka panjang. Israel akan terus menjaga kontrol atas kawasan tersebut untuk mencegah adanya ancaman dari kelompok militan Hamas yang beroperasi di sana. Menurut Katz, meskipun peperangan bisa berakhir, tantangan besar tetap ada dalam menciptakan perdamaian yang langgeng di wilayah tersebut.

Pernyataan ini mendapat banyak kecaman dari berbagai pihak di timur tengah dan negara-negara Barat yang menganggapnya sebagai langkah yang dapat memperburuk ketegangan antara Israel dan Palestina. Beberapa pihak khawatir bahwa pendudukan jangka panjang atas Gaza akan semakin memperburuk kondisi kemanusiaan di wilayah yang sudah dilanda perang dan krisis tersebut. Negara-negara seperti Mesir dan Turki mengkritik keras keputusan tersebut dan menyerukan dialog untuk mencapai penyelesaian damai.

Pertanyaan besar kini muncul mengenai masa depan Gaza dan apakah Israel akan berhasil mewujudkan stabilitas jangka panjang. Meskipun Israel mengklaim bahwa langkah ini diperlukan untuk mencegah ancaman dari militan, para analis menilai bahwa kehadiran militer yang terus-menerus di Gaza berpotensi menambah ketegangan dan memperpanjang konflik yang sudah berlangsung selama puluhan tahun.

Keputusan Israel untuk tetap mengendalikan Gaza usai perang menimbulkan kekhawatiran akan escalasi konflik yang lebih besar. Dalam menghadapi tantangan besar ini, komunitas internasional diharapkan dapat berperan dalam meredakan ketegangan dan mendorong langkah-langkah yang dapat membawa perdamaian bagi wilayah tersebut.

Presiden Afrika Selatan Sebut Perang Biadab Penjajah Israel Terhadap Rakyat Gaza Harus Diakhiri Segera

Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa, kembali menegaskan bahwa agresi militer Israel terhadap Palestina, khususnya Gaza, merupakan tindakan biadab yang harus segera dihentikan. Pernyataan tersebut disampaikan dalam pidato resmi pada konferensi internasional yang digelar di Johannesburg, Afrika Selatan, pada Senin (09/12).

Ramaphosa mengecam keras serangan Israel yang terus menggempur wilayah Gaza sejak Oktober 2024, yang telah menewaskan ribuan warga sipil dan melukai puluhan ribu lainnya. “Kekerasan ini tidak bisa dibiarkan terus berlangsung. Dunia harus bersatu dan mendesak Israel untuk menghentikan agresinya yang tidak berperikemanusiaan terhadap rakyat Palestina,” kata Ramaphosa.

Afrika Selatan, yang dikenal sebagai negara dengan sejarah perjuangan melawan apartheid, telah lama mendukung hak-hak Palestina dan mengutuk kebijakan Israel yang dianggap sebagai bentuk penjajahan. Ramaphosa menambahkan bahwa negara-negara di dunia, terutama di Afrika, harus lebih aktif dalam mengadvokasi perdamaian di Timur Tengah.

Pernyataan ini juga sejalan dengan langkah Afrika Selatan yang terus mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Gaza serta menyerukan sanksi internasional terhadap Israel. “Keberpihakan pada Palestina adalah keberpihakan terhadap keadilan dan hak asasi manusia,” tambahnya.

Dalam pidatonya, Ramaphosa juga menyerukan masyarakat internasional untuk menekan Israel agar segera duduk dalam meja perundingan dengan Palestina demi tercapainya perdamaian yang adil dan langgeng.

Sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa, masih terpecah dalam menanggapi konflik ini, sementara aksi solidaritas untuk Gaza terus bergulir di berbagai belahan dunia.

Hamas Tak Mau Tukar Sandera Dengan Israel Kalau Perang Di Gaza Belum Berhenti

Pada tanggal 21 November 2024, Hamas mengeluarkan pernyataan tegas mengenai kebijakan mereka terhadap sandera Israel. Dalam konferensi pers, juru bicara Hamas menyatakan bahwa kelompok tersebut tidak akan melakukan pertukaran sandera jika konflik bersenjata di Gaza masih berlangsung. Pernyataan ini menyoroti ketegangan yang terus memanas antara kedua belah pihak.

Konflik di Gaza telah berlangsung selama beberapa minggu terakhir, dengan serangan udara Israel dan respons dari militan Hamas. Situasi kemanusiaan di kawasan itu semakin memburuk, membuat banyak warga sipil terjebak dalam kekacauan. Hamas menganggap bahwa selama perang terus berlanjut, pertukaran sandera bukanlah opsi yang dapat dipertimbangkan.

Pernyataan Hamas ini telah menarik perhatian komunitas internasional. Banyak negara dan organisasi kemanusiaan mendesak kedua belah pihak untuk mencari jalan damai dan mengakhiri kekerasan. Namun, dengan adanya penolakan dari Hamas, harapan untuk mendapatkan kesepakatan pertukaran sandera tampaknya semakin redup.

Ketegangan yang berlanjut ini menunjukkan bahwa situasi di Gaza masih sangat tidak stabil. Pengamat politik memperkirakan bahwa tanpa upaya mediasi yang efektif, konflik ini akan terus berlanjut, berdampak pada keamanan regional dan stabilitas kawasan. Keputusan Hamas dapat mempengaruhi langkah-langkah diplomatik di masa mendatang.

Donald Trump Dekati Pemilih Muslim Dengan Isu Perang Gaza

Pada tanggal 27 Oktober 2024, mantan Presiden Donald Trump mengambil langkah strategis untuk mendekati pemilih Muslim menjelang pemilihan umum mendatang. Dalam sebuah acara yang diadakan di Michigan, Trump mengangkat isu Perang Gaza yang sedang berlangsung sebagai bagian dari upaya untuk menjangkau komunitas Muslim Amerika. Langkah ini dianggap sebagai taktik untuk memperluas basis dukungannya di tengah kritik terhadap kebijakannya selama masa jabatannya.

Paragraf 2: Pernyataan Trump
Dalam pidatonya, Trump menekankan pentingnya mendengarkan suara komunitas Muslim dan menunjukkan kepeduliannya terhadap situasi yang dialami oleh warga Palestina. Ia menyebutkan bahwa perang tersebut telah menyebabkan banyak penderitaan dan mengajak pemilih Muslim untuk bersatu dalam mencari solusi damai. Pernyataan ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa ia memahami isu yang menjadi perhatian utama komunitas Muslim.

Paragraf 3: Reaksi Pemilih Muslim
Reaksi terhadap pendekatan ini bervariasi. Beberapa anggota komunitas Muslim mengapresiasi bahwa Trump akhirnya mengakui isu yang penting bagi mereka, sementara yang lain skeptis terhadap niatnya. Mereka mengingatkan bahwa selama masa jabatannya, Trump sering kali diidentikkan dengan kebijakan yang dianggap merugikan komunitas Muslim, seperti larangan perjalanan dari negara-negara mayoritas Muslim.

Paragraf 4: Strategi Kampanye
Pendekatan ini juga dianggap sebagai bagian dari strategi kampanye Trump yang lebih luas untuk menarik pemilih independen dan minoritas. Para analis politik berpendapat bahwa dengan mengangkat isu Gaza, Trump berharap dapat membangun jembatan dengan pemilih yang sebelumnya merasa diabaikan. Meski masih jauh dari pemilihan, langkah ini menunjukkan bagaimana isu internasional dapat memengaruhi dinamika politik dalam negeri.

Paragraf 5: Dampak Jangka Panjang
Dampak jangka panjang dari pendekatan ini masih belum jelas, namun upaya Trump untuk menjangkau pemilih Muslim menunjukkan kesadaran akan pentingnya komunitas ini dalam pemilihan mendatang. Dengan meningkatnya ketegangan global, isu-isu luar negeri dapat menjadi faktor penentu bagi pemilih yang lebih memilih kandidat dengan kebijakan luar negeri yang responsif dan peka terhadap isu kemanusiaan.