ICJ Gelar Sidang Terbuka Bahas Kewajiban Israel atas Wilayah Palestina

Mahkamah Internasional (ICJ) mengumumkan akan menggelar sidang terbuka guna membahas kewajiban Israel terhadap Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), organisasi internasional, serta pihak ketiga terkait wilayah Palestina yang diduduki. Sidang ini dijadwalkan berlangsung pada Senin, 28 April 2025, di Istana Perdamaian, Den Haag. Proses ini berawal dari permintaan pendapat konsultatif yang menarik perhatian luas dari berbagai negara serta organisasi internasional.

Sebanyak 45 negara telah mengajukan pernyataan resmi dalam tenggat waktu yang ditentukan oleh Presiden ICJ pada 23 Desember lalu. Sebagai pengecualian, Uni Afrika diberikan tambahan waktu untuk menyerahkan pernyataannya. Negara-negara yang turut serta dalam pengajuan pernyataan ini berasal dari berbagai kawasan, termasuk Chile, Malaysia, Rusia, Turki, Pakistan, Qatar, Spanyol, Afrika Selatan, Irlandia, Arab Saudi, China, Belanda, Brasil, Mesir, Israel, Prancis, Amerika Serikat, dan Palestina.

Selain itu, sejumlah organisasi internasional utama seperti PBB, Organisasi Kerja Sama Islam, dan Liga Arab juga turut memberikan perspektif mereka dalam kasus ini. Sesuai dengan Pasal 106 aturan ICJ, dokumen pernyataan tertulis dapat dipublikasikan setelah tahap persidangan lisan dimulai.

Di sisi lain, Israel juga menghadapi gugatan genosida di ICJ akibat serangannya di Jalur Gaza sejak Oktober 2023, yang telah menyebabkan lebih dari 50.000 warga Palestina tewas serta menghancurkan sebagian besar infrastruktur di wilayah tersebut. Kasus ini menjadi perhatian dunia dan diharapkan membawa kejelasan atas kewajiban hukum Israel di hadapan masyarakat internasional.

Rencana Kontroversial Trump: Kuasai Gaza dan Relokasi Warganya

Mantan Presiden AS, Donald Trump, kembali membuat pernyataan kontroversial dengan mengusulkan agar Amerika Serikat mengambil alih Jalur Gaza setelah perang berkepanjangan antara Israel dan Hamas. Ia mengusulkan agar seluruh penduduk Gaza direlokasi sementara, dengan rencana mengubah wilayah itu menjadi pusat ekonomi yang berkembang pesat, menyerupai Riviera di Timur Tengah.

Menurut laporan The New York Times pada Rabu (5/2/2025), Timur Tengah merupakan wilayah yang sangat penting bagi jaringan bisnis keluarga Trump, termasuk di Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Israel. Faktor ini menimbulkan spekulasi mengenai kepentingan ekonomi di balik usulan tersebut.

Trump, yang berlatar belakang sebagai pengembang properti, membandingkan proyek relokasi warga Palestina dengan pembangunan real estat di New York. Ia berpendapat bahwa jika Gaza dikuasai dan dikembangkan secara ekonomi, maka lapangan pekerjaan akan tercipta, membawa perubahan signifikan bagi kawasan tersebut.

Namun, pernyataan Trump menuai kritik tajam dari berbagai pihak. Mesir, Rusia, China, serta sekutu-sekutu AS di Eropa mengecam rencana itu, menganggapnya berpotensi memicu konflik lebih luas dan melanggar hukum internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa serta organisasi hak asasi manusia bahkan memperingatkan bahwa usulan ini bisa dikategorikan sebagai pembersihan etnis.

Di tengah kritik yang mengemuka, tim Trump berusaha mengklarifikasi pernyataannya. Sekretaris pers Gedung Putih, Karoline Leavitt, menegaskan bahwa presiden tidak berniat melancarkan operasi militer di Gaza dan relokasi yang disebutkan bersifat sementara, bukan permanen.

Meski begitu, kontroversi mengenai jaringan bisnis keluarga Trump di Timur Tengah tetap menjadi sorotan, dengan pertanyaan yang muncul mengenai kepentingan di balik usulan dramatis ini.