Langkah Diam-Diam Mesir dan Israel: Misi Gencatan Senjata di Tengah Krisis Gaza

Kepala Intelijen Mesir, Hassan Rashad, melakukan pertemuan penting dengan delegasi Israel yang dipimpin oleh Menteri Urusan Strategis Ron Dermer di Kairo, dalam upaya meredakan konflik berkepanjangan di Jalur Gaza. Pertemuan ini dilaporkan berlangsung setelah delegasi Hamas meninggalkan ibu kota Mesir pada Sabtu lalu. Diskusi antara Mesir dan Israel difokuskan pada gencatan senjata, yang menjadi bagian dari negosiasi tidak langsung dengan kelompok perlawanan Palestina tersebut.

Brigadir Jenderal Tarek Al-Akari, pakar urusan strategis Mesir, menilai bahwa dialog ini menunjukkan meningkatnya keseriusan Mesir dalam menghentikan agresi yang terus berlangsung di Gaza. Ia menggambarkan pembicaraan tersebut sebagai upaya yang serius, walau belum ada informasi detail yang diungkap ke publik. Di sisi lain, Hamas mengonfirmasi bahwa kunjungan mereka ke Kairo telah berakhir pada 26 April setelah melewati serangkaian diskusi panjang bersama pejabat Mesir.

Pada akhir 2023, Hamas sempat menyetujui inisiatif Mesir untuk membentuk “Komite Dukungan Masyarakat” guna mengelola wilayah Gaza. Namun, juru bicara Hamas, Hazem Qassem, menegaskan bahwa pihaknya tidak berniat terlibat dalam pengaturan administratif apapun di sana. Hingga kini, baik otoritas Mesir maupun Israel belum mengeluarkan pernyataan resmi mengenai hasil pertemuan terbaru ini.

Sementara itu, situasi di Gaza terus memburuk. Israel kembali menggempur wilayah tersebut sejak 18 Maret lalu, menggagalkan kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan yang sempat dicapai pada Januari. Sejak serangan dimulai pada Oktober 2023, lebih dari 52.300 warga Palestina, mayoritas perempuan dan anak-anak, telah menjadi korban jiwa akibat serangan brutal Israel.

Delegasi Hamas ke Mesir Bahas Upaya Mengakhiri Perang Gaza dan Pertukaran Tahanan

Kelompok perlawanan Palestina, Hamas, telah mengirim delegasi untuk bertemu dengan pejabat Mesir di Kairo guna membahas langkah-langkah yang mungkin untuk mengakhiri perang di Jalur Gaza serta kemungkinan pertukaran tahanan dengan Israel. Dalam pernyataan yang dikeluarkan pada Sabtu, Hamas mengungkapkan niatnya untuk mencapai sebuah kesepakatan komprehensif yang mencakup penarikan penuh pasukan militer Israel dari Gaza dan membantu pembangunan kembali wilayah tersebut. Hamas juga menegaskan bahwa upaya ini penting untuk memulihkan keamanan dan kestabilan di Gaza serta memperbaiki kehidupan warga yang telah lama terperangkap dalam konflik berkepanjangan.

Hamas juga menyoroti dampak dari kebijakan Israel yang menyebabkan krisis kelaparan di Gaza dan menekankan pentingnya bantuan kemanusiaan, termasuk makanan dan obat-obatan, yang harus segera diterima oleh warga Gaza. Delegasi Hamas tersebut akan memfokuskan pembicaraan pada upaya membentuk Komite Dukungan Komunitas untuk membantu dalam pengelolaan Jalur Gaza, serta membahas isu-isu terkait perkembangan internal yang terjadi di Palestina, seperti pemulihan ekonomi dan penyediaan fasilitas dasar yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Selain itu, mereka akan membahas pentingnya penyelesaian masalah pengungsi dan peran negara-negara regional dalam mendorong perdamaian yang lebih inklusif.

Sejak Oktober 2023, lebih dari 51.500 warga Palestina, mayoritasnya wanita dan anak-anak, telah meninggal akibat serangan militer Israel. Kehilangan besar ini menambah beban kemanusiaan yang sudah cukup berat di Gaza, dan banyak warga yang kini hidup dalam ketidakpastian dan penderitaan. Atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan perang yang terjadi di Jalur Gaza, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap pemimpin Israel, Benjamin Netanyahu, dan Menteri Pertahanan, Yoav Gallant pada November 2024. Selain itu, Israel juga tengah menghadapi gugatan di Mahkamah Internasional terkait dugaan tindak genosida yang terjadi di Gaza. Proses hukum ini diharapkan dapat membawa keadilan bagi korban yang telah kehilangan nyawa dan harta benda mereka dalam serangan militer tersebut.

Ketegangan Meningkat: AS Peringatkan Rusia Terkait Serangan Houthi

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Marco Rubio, menghubungi Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, untuk menyampaikan informasi terkait operasi militer yang dilakukan AS terhadap kelompok Houthi di Yaman. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Tammy Bruce, menegaskan bahwa serangan yang dilakukan kelompok Houthi terhadap kapal militer dan komersial AS di Laut Merah tidak akan dibiarkan dan akan mendapatkan balasan yang tegas.

Selain membahas serangan terhadap Houthi, Rubio dan Lavrov juga mendiskusikan langkah-langkah lanjutan setelah pertemuan mereka di Arab Saudi. Keduanya sepakat untuk terus berupaya memperbaiki komunikasi antara Washington dan Moskow guna menjaga stabilitas global. Sementara itu, militer AS telah melancarkan serangan udara ke wilayah Yaman yang menargetkan kelompok Houthi dan menyebabkan sedikitnya 19 korban jiwa. Presiden AS, Donald Trump, menegaskan bahwa serangan lebih lanjut akan dilakukan jika kelompok tersebut terus mengancam kapal dagang di Laut Merah.

Sejak akhir 2023, kelompok Houthi telah melancarkan berbagai serangan menggunakan rudal dan drone terhadap kapal-kapal yang memiliki hubungan dengan Israel. Mereka mengklaim bahwa serangan ini merupakan bentuk dukungan terhadap rakyat Palestina di Gaza. Namun, ketika Israel dan Hamas menyepakati gencatan senjata, Houthi menghentikan serangan mereka. Ketegangan kembali meningkat ketika Israel memblokir bantuan kemanusiaan ke Gaza pada 2 Maret, yang kemudian memicu ancaman baru dari Houthi untuk melanjutkan serangan terhadap kapal-kapal yang melintasi perairan Laut Merah.

Hamas Sambut Sikap Trump yang Tolak Pemindahan Paksa Warga Gaza

Kelompok perlawanan Palestina, Hamas, menyambut baik pernyataan Presiden AS Donald Trump yang menolak rencana pemindahan massal warga Palestina dari Jalur Gaza, wilayah yang telah luluh lantak akibat perang. Pada Rabu, 12 Maret, Trump menegaskan bahwa dirinya tidak akan mendukung pengusiran warga Palestina dari Gaza. Pernyataan tersebut disampaikannya dalam konferensi pers usai bertemu dengan Perdana Menteri Irlandia, Micheal Martin. Menanggapi pernyataan itu, juru bicara Hamas, Hazem Qassem, menyatakan bahwa jika benar Trump menolak segala bentuk relokasi paksa bagi warga Gaza, maka sikap tersebut patut diapresiasi. Hamas juga menyerukan agar posisi ini diperkuat dengan menekan Israel untuk mematuhi ketentuan perjanjian gencatan senjata yang telah disepakati.

Qassem juga mendesak Trump agar tidak berpihak pada kepentingan kelompok Zionis sayap kanan ekstrem yang ingin mengusir warga Palestina dari tanah mereka. Pernyataan Trump muncul setelah pejabat keuangan Israel, Bezalel Smotrich, mengumumkan rencana pembentukan Otoritas Emigrasi di bawah otoritas pertahanan Israel guna mengatur pemindahan paksa warga Palestina dari Gaza. Sementara itu, negara-negara Arab telah menyetujui rencana rekonstruksi Gaza dalam pertemuan Organisasi Kerja Sama Islam pada awal Maret. Proyek pembangunan kembali ini diperkirakan memakan waktu lima tahun dengan total anggaran mencapai 53 miliar dolar AS.

Sebelumnya, Trump pernah mengusulkan untuk mengambil alih Gaza dan merelokasi penduduknya ke tempat lain dengan tujuan menjadikan wilayah tersebut sebagai destinasi wisata. Namun, gagasan itu ditolak oleh negara-negara Arab serta komunitas internasional karena dinilai sebagai bentuk pembersihan etnis. Hingga kini, lebih dari 48.500 warga Palestina telah menjadi korban serangan Israel sejak Oktober 2023. Sementara itu, Mahkamah Pidana Internasional telah mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, serta mantan pejabat pertahanan, Yoav Gallant, atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Israel juga tengah menghadapi gugatan kasus genosida di Mahkamah Internasional akibat agresinya di wilayah Palestina.

Houthi Beri Israel Tenggat Waktu, Ancam Lanjutkan Serangan di Laut Merah

Pemimpin kelompok Houthi, Abdul Malik al-Houthi, memberikan Israel tenggat waktu empat hari untuk mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza. Jika tuntutan ini tidak dipenuhi, Houthi mengancam akan kembali melancarkan operasi militer di perairan Laut Merah. Peringatan ini disampaikan dalam pidatonya yang disiarkan oleh TV Al-Masirah, yang berafiliasi dengan kelompok tersebut.

Al-Houthi menuduh Israel melanggar kesepakatan gencatan senjata yang telah disepakati, serta menggunakan strategi kelaparan sebagai senjata perang terhadap warga Gaza. Ia menegaskan bahwa tindakan semacam ini tidak bisa dibiarkan. “Kami memberikan waktu empat hari kepada para mediator,” ujarnya. “Jika dalam periode itu bantuan tetap dicegah masuk ke Gaza dan penyeberangan masih ditutup, kami akan kembali menyerang kapal-kapal yang berafiliasi dengan Israel.”

Sejak November 2023, kelompok Houthi telah melakukan serangan rudal dan drone ke arah target Israel serta kapal-kapal dagang di Laut Merah sebagai bentuk solidaritas terhadap Gaza. Serangan-serangan tersebut meningkatkan ketegangan di kawasan dan memicu respons dari negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat dan Inggris.

Sementara itu, pada Minggu, Israel memblokir masuknya bantuan ke Gaza setelah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menolak memulai tahap kedua negosiasi gencatan senjata dengan Hamas. Sejak serangan Israel dimulai pada Oktober 2023, lebih dari 48.400 warga Palestina dilaporkan tewas dan lebih dari 111.800 lainnya mengalami luka-luka. Gencatan senjata yang sempat berlaku sejak 19 Januari telah memungkinkan pertukaran tahanan, namun belum menghasilkan solusi jangka panjang bagi krisis kemanusiaan yang terjadi.

AS Lakukan Dialog Rahasia dengan Hamas, Apa yang Dibahas?

Pemerintah Amerika Serikat secara resmi mengakui tengah menjalin komunikasi langsung dengan kelompok perlawanan Palestina, Hamas. Juru bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, menegaskan bahwa dialog tersebut dilakukan demi kepentingan AS dan tetap berkoordinasi dengan Israel. Kendati demikian, ia menolak membeberkan rincian pembicaraan, termasuk apakah diskusi tersebut mencakup usulan Presiden Donald Trump terkait kemungkinan AS mengambil alih Jalur Gaza atau hanya membahas upaya pembebasan sandera Israel.

Laporan dari Axios mengungkapkan bahwa dalam beberapa pekan terakhir, pembicaraan rahasia berlangsung di Qatar dengan Adam Boehler, utusan presiden AS untuk urusan sandera, sebagai pemimpin delegasi AS. Leavitt pun mengonfirmasi kebenaran laporan tersebut. Sementara itu, kesepakatan gencatan senjata tahap pertama yang diberlakukan sejak 19 Januari kini tidak lagi berlaku setelah Israel menolak negosiasi tahap kedua dan justru meminta perpanjangan tahap pertama. Di sisi lain, Hamas menuntut agar kesepakatan baru mencakup penarikan penuh pasukan Israel dari Jalur Gaza serta penghentian agresi militer.

Ketegangan ini semakin meningkat setelah Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada November lalu mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, serta mantan Menteri Pertahanan, Yoav Gallant. Keduanya didakwa atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan terkait serangan di Gaza. Selain itu, Israel juga menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) akibat serangannya yang menimbulkan korban sipil dalam jumlah besar di wilayah tersebut.

Hamas Tegaskan Tak Akan Ikut Kelola Gaza Pascaperang Tanpa Konsensus Nasional

Kelompok Palestina, Hamas, menegaskan bahwa mereka tidak akan ambil bagian dalam pengelolaan administrasi Jalur Gaza pascaperang kecuali jika ada kesepakatan nasional. Pernyataan ini disampaikan oleh juru bicara Hamas, Hazem Qassem, pada Selasa (4/3), menegaskan bahwa semua pengaturan untuk masa depan Gaza harus berdasarkan konsensus internal tanpa campur tangan pihak eksternal. Menurutnya, Hamas tidak tertarik untuk terlibat dalam struktur administratif Gaza setelah agresi Israel, namun akan memfasilitasi setiap kesepakatan yang dicapai bersama.

Qassem juga menekankan pentingnya pengaturan ini dilakukan demi rekonstruksi Gaza yang nyata dan berkelanjutan untuk menyelamatkan warga dari kehancuran akibat perang. Hamas, katanya, tidak akan menjadi penghalang dalam proses ini selama konsensus nasional tetap dijunjung tinggi. Pada Desember lalu, Hamas menerima proposal dari Mesir yang mengusulkan pembentukan komite komunitas untuk mengelola Gaza pascaperang, menunjukkan kesiapan mereka untuk mendukung solusi berbasis dialog internal.

Sementara itu, Mesir dijadwalkan menjadi tuan rumah KTT darurat negara-negara Arab untuk membahas sikap bersama terkait Palestina dan menanggapi rencana Amerika Serikat yang diduga ingin merelokasi penduduk Gaza. Presiden AS Donald Trump sebelumnya menyarankan pemindahan warga Gaza demi pengembangan wilayah tersebut sebagai destinasi wisata, tetapi rencana ini mendapat kecaman luas dari dunia Arab dan komunitas internasional yang menyebutnya sebagai upaya pembersihan etnis.

Sejak Oktober 2023, perang antara Israel dan Hamas telah menewaskan hampir 48.400 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak, serta melukai lebih dari 111.000 orang lainnya. Meskipun gencatan senjata sempat diberlakukan pada Januari 2025, Israel kembali menghentikan masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza setelah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menolak melanjutkan negosiasi tahap kedua perjanjian tersebut.

Arab Saudi dan Mesir Kecam Israel atas Penghentian Bantuan ke Gaza

Arab Saudi mengutuk keras keputusan Israel yang menangguhkan bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza meskipun telah ada kesepakatan sebelumnya. Pernyataan ini disampaikan oleh Kementerian Luar Negeri Arab Saudi pada Minggu, menegaskan bahwa tindakan Israel merupakan bentuk hukuman kolektif yang bertentangan dengan hukum internasional. Langkah ini diumumkan setelah Hamas menolak usulan Steve Witkoff, utusan AS untuk Timur Tengah, terkait perpanjangan fase pertama gencatan senjata.

Arab Saudi mendesak komunitas internasional untuk bertindak tegas terhadap Israel serta memastikan kelangsungan distribusi bantuan kemanusiaan bagi rakyat Gaza. Menurut Riyadh, penggunaan bantuan sebagai alat tekanan politik sangat tidak dapat diterima, terutama saat kondisi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk.

Mesir juga mengecam keputusan Israel dengan menyatakan bahwa kebijakan tersebut menunjukkan upaya mencapai tujuan politik dengan mengorbankan nyawa warga sipil. Kementerian Luar Negeri Mesir menegaskan bahwa tindakan ini menjadi semakin tidak dapat dibenarkan karena dilakukan saat Bulan Suci Ramadan, momen yang seharusnya mengedepankan solidaritas dan perdamaian.

Sementara itu, rencana gencatan senjata yang diajukan Steve Witkoff mencakup penghentian konflik selama Ramadan hingga Paskah, yang berlangsung sekitar satu setengah bulan. Usulan ini juga mencakup pembebasan separuh sandera Israel di Gaza pada hari pertama gencatan senjata, dengan pembebasan penuh jika kesepakatan permanen tercapai. Ramadan tahun ini berlangsung dari 28 Februari hingga 29 Maret, sementara Paskah Yahudi akan dirayakan pada 12 hingga 19 April.

Misteri Sandera di Gaza: Harapan Pembebasan di Tengah Gencatan Senjata

Sejak konflik Israel-Hamas pecah pada 7 Oktober 2023, kelompok Hamas tidak hanya menewaskan warga sipil tetapi juga menyandera sejumlah orang Israel. Saat ini, dengan adanya gencatan senjata yang sedang berlangsung di Gaza, negosiasi terus dilakukan untuk membahas kemungkinan pembebasan para tawanan yang masih tersisa. Dikutip dari AFP pada Jumat (28/2/2025), fase kedua dari kesepakatan gencatan senjata Israel-Hamas berpotensi membawa perdamaian permanen dan membebaskan sisa sandera yang masih ditawan.

Fase pertama gencatan senjata yang dimulai pada 19 Januari 2025 dan berakhir pada 1 Maret 2025 telah membebaskan 25 sandera Israel serta delapan jenazah, sebagai imbalan atas ratusan tahanan Palestina. Selain itu, lima warga Thailand juga dibebaskan di luar perjanjian gencatan senjata. Pihak berwenang Israel memperkirakan bahwa dari 58 sandera yang masih berada di Gaza, 24 di antaranya diyakini masih hidup. Namun, sebagian besar tidak memiliki bukti kehidupan yang jelas. Bahkan, tiga dari empat jenazah sandera yang dipulangkan minggu ini awalnya diduga masih hidup sebelum akhirnya ditemukan telah tewas.

Dalam video yang dirilis Hamas, beberapa sandera terlihat, termasuk Evyatar David (24) dan Guy Gilboa-Dalal (23), yang menyaksikan serah terima tawanan lainnya. Sandera lain seperti Edan Alexander (21) dan Matan Zangauker (25) juga muncul dalam rekaman antara akhir November hingga awal Desember 2024. Informasi dari para sandera yang telah dibebaskan menyebutkan bahwa lebih dari selusin tawanan masih hidup. Seluruh sandera yang tersisa adalah laki-laki, mayoritas berusia di bawah 30 tahun, dengan 22 di antaranya berkewarganegaraan Israel dan 10 memiliki kewarganegaraan ganda.

Selain itu, terdapat dua warga asing yang masih disandera, yakni Bipin Joshi (24) dari Nepal dan Natthapong Pinta (35) dari Thailand. Di antara para sandera, lima orang adalah tentara Israel, termasuk Tamir Nimrodi dan Nimrod Cohen yang masih berusia 20 tahun, menjadikan mereka sandera termuda yang masih berada di Gaza. Sementara itu, Omri Miran (47) dari Hongaria adalah sandera tertua. Dari total 24 sandera yang diyakini masih hidup, 11 di antaranya ditangkap saat menghadiri festival musik yang diserang pada 7 Oktober 2023.

Dari 251 orang yang diculik Hamas sejak awal perang, sedikitnya 41 orang telah tewas saat dibawa ke Gaza. Kelompok Hamas dan Jihad Islam masih menahan jenazah 34 sandera, termasuk mereka yang tewas selama serangan 2023 serta yang meninggal di masa penahanan. Sebanyak 145 sandera telah dibebaskan dalam keadaan hidup, sementara 48 jenazah telah dipulangkan.

Netanyahu Janji Ambil Tindakan Tegas atas Aksi Hamas

BAITULMAQDIS: Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menuduh Hamas sebagai pihak yang membunuh dua anak Israel di Gaza dan berikrar akan menuntut balasan jika ibu korban, Shiri Bibas, turut dirugikan.

Juru bicara militer Israel, Daniel Hagari, mengungkapkan bahwa hasil analisis forensik mengindikasikan kedua anak Bibas dibunuh oleh pasukan Palestina.

Namun, Hamas menyatakan bahwa ketiga korban – ibu dan dua anak – tewas akibat serangan udara Israel yang terjadi pada awal konflik.

Keluarga Bibas juga menyalahkan Netanyahu atas tragedi ini dan menegaskan bahwa mereka tidak akan memaafkan karena dibiarkannya keluarga tersebut menderita.

Meski terdapat ketegangan pasca-penyerahan jenazah, pertukaran tebusan antara Israel dan Hamas diperkirakan akan berlangsung hari ini sesuai dengan perjanjian gencatan senjata yang masih berlaku.

Sebelumnya, Hamas mengklaim bahwa dari empat jenazah yang dikembalikan, termasuk jenazah Shiri Bibas beserta dua anaknya – Ariel (4 tahun) dan Kfir (9 tahun) – merupakan tebusan termuda dalam konflik ini.

Namun, semalam Israel mengonfirmasi bahwa jenazah yang dikembalikan bukan milik Shiri Bibas, sementara Netanyahu menuduh Hamas telah menempatkan jenazah seorang wanita Gaza di dalam peti mati.

Hamas mengakui kemungkinan adanya kekeliruan dalam proses tersebut, yang mereka kaitkan dengan serangan udara Israel di wilayah itu.

Netanyahu berjanji untuk memastikan bahwa Hamas akan mendapatkan balasan atas pelanggaran brutal terhadap perjanjian tersebut.

Sebagai respons, Hamas menegaskan komitmennya terhadap perjanjian gencatan senjata dan membantah adanya niat untuk menyembunyikan jenazah siapa pun. Mereka juga mendesak Israel mengembalikan jenazah wanita Gaza yang diserahkan secara keliru.

Menteri Luar Negeri Inggris, David Lammy, mendesak agar jenazah Shiri Bibas segera dikembalikan dan mengutuk pembunuhan terhadap anak-anaknya sebagai tindakan “kejam dan menjijikkan.”
“Semua tebusan harus dibebaskan. Mimpi buruk ini harus segera diakhiri,” ujarnya.

Sementara itu, musisi berusia 72 tahun, David Shemer, mengungkapkan harapannya agar Israel tidak membalas dengan aksi kekerasan yang lebih besar.
“Ada seruan untuk menghancurkan Gaza secara menyeluruh. Menurut saya, tindakan tersebut tidak hanya tidak adil, tetapi juga tidak bermoral. Meskipun dendam adalah naluri manusia, itu tidak pernah membawa kebaikan,” tambahnya.

Dalam kerangka perjanjian gencatan senjata yang dimulai pada 19 Januari dan diperkirakan akan berakhir pada awal Maret, Hamas sebelumnya telah menyerahkan jenazah wartawan veteran dan aktivis hak asasi Palestina, Oded Lifshitz, yang saat penahanan berusia 83 tahun.

Hingga kini, perjanjian tersebut telah menghasilkan pembebasan 19 tebusan Israel sebagai imbalan atas lebih dari 1.100 tahanan Palestina.

Hamas juga mengonfirmasi bahwa hari ini akan ada enam warga Israel tambahan yang dibebaskan sebagai bagian dari pertukaran tebusan ketujuh.
Di antara mereka adalah Eliya Cohen, Tal Shoham, Omer Shem Tov, Omer Wenkert, serta dua tahanan lama – Hisham al-Sayed dan Avera Mengistu – yang telah ditahan di Gaza selama hampir sepuluh tahun.

Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Saar, menyatakan bahwa negosiasi untuk membahas fase kedua gencatan senjata akan dimulai minggu ini, dengan harapan dapat menemukan solusi jangka panjang bagi konflik ini.

Namun, Hamas menuduh Netanyahu sengaja menghambat pelaksanaan perjanjian tersebut.

Di sisi lain, situasi di Tebing Barat terus menunjukkan peningkatan tingkat kekerasan.