Mahfud MD Tegaskan: Memaafkan Koruptor Bertentangan dengan Hukum

Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, dengan tegas menanggapi pernyataan Presiden terkait memaafkan koruptor yang mengembalikan hasil curiannya. Mahfud menjelaskan bahwa memaafkan koruptor dengan syarat tertentu adalah tindakan yang dilarang oleh hukum yang berlaku di Indonesia. “Menurut hukum yang berlaku sekarang, itu tidak diperbolehkan. Siapa yang membolehkan itu, bisa dikenakan Pasal 55 KUHP,” ujar Mahfud saat ditemui di Ancol, Jakarta Utara, pada Sabtu (21/12/2024).

Mahfud menambahkan bahwa korupsi adalah tindakan yang jelas-jelas dilarang dalam hukum negara, dan setiap orang yang menghalangi penegakan hukum atau membiarkan korupsi terjadi meskipun mereka memiliki kewenangan untuk melaporkan, juga dapat dikenakan sanksi hukum. Menurutnya, korupsi bukan hanya merugikan negara, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan pemerintahan.

Pernyataan Mahfud MD ini muncul setelah sebelumnya Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, mengungkapkan pendapatnya tentang kemungkinan memberi kesempatan bagi koruptor yang telah mengembalikan hasil curian mereka. Dalam sebuah pertemuan dengan mahasiswa Indonesia di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, pada Rabu (18/12/2024), Presiden Jokowi menyatakan bahwa jika para koruptor bersedia mengembalikan apa yang telah mereka curi, maka mungkin ada kemungkinan untuk mendapatkan pengampunan.

“Saya dalam minggu-minggu ini, bulan-bulan ini, saya dalam rangka memberi kesempatan, memberi kesempatan untuk tobat. Hei para koruptor, atau yang pernah merasa mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan, tapi kembalikan dong,” ujar Presiden dalam sebuah video yang diunggah oleh YouTube Setpres, Kamis (19/12/2024). Presiden bahkan mengutarakan bahwa pengembalian uang yang dicuri bisa dilakukan secara diam-diam, tanpa harus diketahui oleh pihak lain. “Nanti kita beri kesempatan. Cara mengembalikannya bisa diam-diam supaya tidak ketahuan. Mengembalikan loh ya, tapi kembalikan,” lanjut Presiden.

Pernyataan ini menimbulkan berbagai reaksi di kalangan masyarakat dan para pakar hukum. Sebagian berpendapat bahwa memberikan kesempatan untuk mengembalikan hasil korupsi dapat menjadi langkah positif dalam mendorong pertanggungjawaban. Namun, di sisi lain, langkah ini dianggap bertentangan dengan prinsip penegakan hukum yang harus tegas terhadap pelaku kejahatan, terutama korupsi.

Mahfud MD, yang dikenal sebagai figur yang konsisten dalam penegakan hukum, mengingatkan bahwa meskipun niat untuk memberi kesempatan bagi koruptor bisa dimaklumi dalam konteks tertentu, hukum harus tetap ditegakkan tanpa kompromi. Hukum yang berlaku di Indonesia, menurut Mahfud, tidak memperbolehkan adanya “pengampunan” atau keringanan bagi para pelaku korupsi yang sudah merugikan negara dan masyarakat.

Diskusi ini menyoroti ketegangan antara usaha untuk memperbaiki situasi sosial melalui kebijakan “kasih kesempatan” yang digagas Presiden, dan kebutuhan untuk menjaga keadilan serta integritas sistem hukum yang ada. Menurut banyak pihak, langkah yang paling penting adalah memastikan bahwa keadilan ditegakkan tanpa terkecuali, terlebih lagi ketika menyangkut uang rakyat yang dicuri oleh oknum-oknum yang seharusnya menjaga kepercayaan publik.

Janji Politik Dan Batasannya Dalam Hukum

Pada 26 September 2024, seorang pakar hukum tata negara menjelaskan bahwa janji politik yang disampaikan oleh calon pejabat publik tidak bisa digugat secara hukum. Menurutnya, janji politik merupakan bagian dari komunikasi politik yang bersifat umum dan tidak termasuk dalam ranah kontrak atau perjanjian yang mengikat secara hukum. Oleh karena itu, apabila janji tersebut tidak dipenuhi, masyarakat tidak dapat mengajukan gugatan hukum.

Alasan Janji Politik Tidak Mengikat secara Hukum

Pakar tersebut menambahkan bahwa janji politik tidak termasuk dalam perjanjian yang memiliki konsekuensi hukum karena tidak memenuhi unsur-unsur dasar kontrak yang sah, seperti adanya kesepakatan dan pertukaran nilai. Janji politik dianggap sebagai komitmen moral yang bergantung pada kepercayaan masyarakat terhadap calon pemimpin. Karena bersifat retorik, janji ini tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum jika tidak terpenuhi.

Fungsi Janji Politik dalam Kampanye

Janji politik sering kali digunakan sebagai alat untuk menarik dukungan dari pemilih selama kampanye. Calon pejabat publik menyampaikan visi dan misi mereka yang diharapkan dapat direalisasikan jika terpilih. Namun, kenyataannya, beberapa janji tidak selalu bisa dipenuhi karena berbagai faktor, seperti perubahan situasi ekonomi, sosial, atau politik. Meskipun mengecewakan, kondisi ini tidak dapat dijadikan dasar untuk menuntut secara hukum.

Peran Masyarakat dalam Mengawasi Pemenuhan Janji

Meskipun tidak dapat digugat, pakar tersebut menegaskan bahwa masyarakat memiliki peran penting dalam mengawasi pemenuhan janji politik melalui partisipasi aktif dalam proses demokrasi. Pemilih dapat mengevaluasi kinerja pejabat yang terpilih dan menggunakan hak pilih mereka untuk memilih kembali atau tidak pada pemilu berikutnya. Ini menjadi bentuk “sanksi politik” yang dapat diberikan kepada pemimpin yang tidak memenuhi janjinya.

Kesimpulan: Pengawasan Demokrasi Lebih Efektif

Secara keseluruhan, janji politik memang tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk digugat, namun pengawasan publik dan evaluasi kinerja pejabat tetap menjadi mekanisme yang paling efektif dalam memastikan pemenuhan janji-janji tersebut. Pakar ini mengingatkan masyarakat untuk lebih kritis dalam menilai janji politik dan lebih aktif dalam proses politik agar dapat mempengaruhi arah kebijakan negara.