Ribuan Simpatisan Duterte Turun ke Jalan, Tolak ICC!

Ribuan pendukung mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, menggelar serangkaian aksi demonstrasi di berbagai kota di Filipina pada Sabtu (15/3/2025). Protes ini merupakan respons terhadap penangkapan Duterte oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC), yang menuduhnya terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia terkait dengan kampanye keras melawan narkoba yang dilakukannya saat menjabat sebagai presiden. Massa yang hadir menuntut pembebasan Duterte serta pemulangannya ke Filipina.

Aksi protes terbesar berlangsung di ibu kota Manila, di mana lebih dari 2.000 orang berkumpul dalam acara doa bersama. Mereka mengenakan pakaian merah dan hijau sambil mengibarkan spanduk-spanduk yang bertuliskan tuntutan akan keadilan, persatuan, dan perdamaian. Selain itu, sejumlah mantan pejabat pemerintahan Duterte dan beberapa kandidat senator yang mendukungnya juga turut hadir.

Salah satu peserta demonstrasi mengecam tindakan ICC, yang menurutnya merupakan bentuk penindasan politik dan penyalahgunaan kekuasaan. Ia menilai proses hukum yang dijalankan terhadap Duterte sangat tidak adil. “Apa yang terjadi saat ini sungguh berlebihan,” ujar salah seorang demonstran, menanggapi tuduhan kejahatan kemanusiaan yang dijatuhkan pada mantan presiden tersebut.

Sebagian besar demonstran menganggap bahwa kebijakan tegas Duterte dalam memberantas narkoba selama masa pemerintahannya telah memberikan dampak positif, yaitu meningkatkan keamanan dan mengurangi kejahatan di Filipina. Mereka menilai upaya keras tersebut merupakan langkah yang perlu dihargai, meskipun ada beberapa kontroversi terkait pelaksanaan kampanye anti-narkoba tersebut.

Selain di Manila, protes serupa juga berlangsung di berbagai kota lain di seluruh Filipina. Di depan Mahkamah Agung Manila, ratusan pendukung Duterte berkumpul pada Kamis (13/3/2025), menyalakan lilin sebagai simbol harapan untuk kembalinya Duterte ke tanah air. Pada malam harinya, doa bersama juga digelar di rumah Duterte yang terletak di Kota Davao. Di Kota San Fernando, Pampanga, pada Rabu (12/3/2025), sekitar 100 orang juga turut serta dalam unjuk rasa dengan membawa spanduk bertuliskan “Justice for PRRD” (Justice for President Rodrigo Roa Duterte), yang dilanjutkan dengan konvoi kendaraan mengelilingi kota.

Putri Duterte, Veronica Duterte, juga turut berpartisipasi dalam menyuarakan dukungan melalui media sosial. Melalui unggahan di Instagram, ia mengajak sesama warga Filipina, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, untuk berdiri bersama dalam doa dan menjaga kedaulatan negara. “Mari kita bersatu dalam doa dan mempertahankan hak kita atas kedaulatan ini,” tulisnya, yang langsung mendapat perhatian publik.

Di tengah protes yang terus berkembang ini, tim kuasa hukum Duterte tengah berusaha mengajukan pembebasan sementara untuk mantan presiden tersebut selama proses peradilan berlangsung. Proses hukum ini diperkirakan akan terus berlangsung dalam beberapa bulan ke depan, sementara dukungan kepada Duterte terus mengalir dari berbagai kalangan di Filipina.

Aksi demonstrasi ini mencerminkan polarisasi yang mendalam di kalangan masyarakat Filipina mengenai kebijakan pemerintah Duterte dan tuntutan internasional terkait pelanggaran hak asasi manusia. Meski demikian, jelas bahwa perdebatan mengenai masa depan Duterte akan terus mempengaruhi dinamika politik di negara tersebut.

Membandingkan Duterte dan Netanyahu: Persamaan dan Perbedaan

Mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, menghadapi nasib nahas setelah ditangkap oleh kepolisian negaranya sendiri. Ia kemudian diterbangkan ke Den Haag, Belanda, untuk diserahkan ke Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Duterte didakwa melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan terkait kebijakan perang terhadap narkoba yang diterapkannya selama masa kepemimpinannya. Kebijakan ini menuai kritik dari dunia internasional karena dianggap sebagai eksekusi sistematis terhadap ribuan orang tanpa proses peradilan yang sah.

Di sisi lain, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, juga menghadapi tuduhan kejahatan perang akibat serangan brutal terhadap warga sipil di Gaza, Palestina. Namun, perbedaannya terletak pada status politik dan perlindungan internasional yang dimiliki Netanyahu.

Duterte Vs. Netanyahu: Ketimpangan Hukum Internasional

Rodrigo Duterte kini menghadapi jeratan hukum tanpa perlindungan politik yang memadai. Setelah lengser dari jabatannya, ia kehilangan pengaruh dan tidak memiliki sekutu kuat yang dapat membantunya menghadapi ICC. Meskipun Filipina pernah menjalin hubungan dekat dengan Amerika Serikat, negara tersebut tidak memiliki kepentingan geopolitik yang cukup strategis bagi Washington.

Sebaliknya, Netanyahu masih aktif menjabat sebagai pemimpin Israel dan mendapat perlindungan penuh dari Amerika Serikat serta sekutu lainnya. Israel, yang menjadi sekutu strategis AS di Timur Tengah, selalu mendapatkan dukungan militer dan finansial dalam jumlah besar. Walaupun banyak resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengutuk kebijakan Netanyahu, ia tetap kebal dari tindakan hukum karena adanya perlindungan dari negara-negara kuat.

Bahkan, ketika ICC mencoba menyelidiki dugaan kejahatan perang yang dilakukan Israel, Amerika Serikat secara terbuka menentangnya. Gedung Putih bahkan mengancam akan menjatuhkan sanksi terhadap hakim dan jaksa ICC yang berani melanjutkan penyelidikan terhadap Israel.

Kurangnya Perlindungan Politik untuk Duterte

Duterte memang dikenal sebagai pemimpin yang berani, tetapi ia gagal membangun jaringan perlindungan internasional yang kuat. Selama menjabat, Duterte sempat mencoba mendekat ke Rusia dan China, tetapi langkah tersebut tidak cukup untuk menjamin keamanannya setelah ia lengser.

Sebaliknya, Netanyahu memiliki strategi politik yang jauh lebih matang. Ia memastikan bahwa keberadaannya tidak tergantikan dalam percaturan politik Timur Tengah. Netanyahu membangun citra bahwa setiap ancaman terhadap dirinya juga merupakan ancaman bagi stabilitas global. Dengan demikian, sekutu-sekutunya memiliki kepentingan untuk tetap mendukungnya, terlepas dari kebijakan kontroversial yang ia terapkan.

Ketidakadilan dalam Sistem Hukum Internasional

Kasus Duterte dan Netanyahu semakin menegaskan bahwa hukum internasional tidak selalu bekerja berdasarkan prinsip keadilan, tetapi lebih kepada kepentingan politik global. Duterte, yang tidak lagi memiliki kekuatan politik, dengan mudah dijadikan target oleh ICC. Sementara itu, Netanyahu tetap aman karena didukung oleh negara-negara besar.

Realitas ini menunjukkan bahwa kejahatan perang bukan hanya masalah hukum, tetapi juga berkaitan dengan siapa yang memiliki kuasa untuk mengontrol narasi dan kebijakan dunia. Pemimpin dari negara kecil atau berkembang bisa dengan mudah dijerat hukum, sedangkan pemimpin dari negara yang memiliki kekuatan geopolitik tetap terlindungi.

Jika Duterte berasal dari negara yang memiliki kepentingan strategis bagi kekuatan dunia, nasibnya mungkin akan berbeda. Netanyahu bahkan tidak perlu bersusah payah membela diri di pengadilan karena sekutu internasionalnya sudah siap melindunginya.

Kesimpulan: Hukum Internasional Sebagai Alat Politik

Kasus ini menjadi pengingat bahwa hukum internasional sering kali lebih bersifat politis dibandingkan murni menegakkan keadilan. Pemimpin dari negara kecil atau yang tidak memiliki sekutu kuat dapat dengan cepat dijerat hukum, sementara mereka yang memiliki dukungan politik dan ekonomi tetap kebal dari tindakan hukum, tidak peduli seberapa besar pelanggaran yang mereka lakukan.

Paradoks ini akan terus berulang selama hukum internasional tetap dipengaruhi oleh kepentingan politik global. Kejahatan yang dilakukan oleh pemimpin negara kuat hanya akan menjadi bahan diskusi akademis, sementara pemimpin dari negara yang lemah akan segera diadili. Dunia terus melihat ketimpangan ini, tetapi tampaknya tidak akan ada perubahan signifikan dalam waktu dekat.

AS Lakukan Dialog Rahasia dengan Hamas, Apa yang Dibahas?

Pemerintah Amerika Serikat secara resmi mengakui tengah menjalin komunikasi langsung dengan kelompok perlawanan Palestina, Hamas. Juru bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, menegaskan bahwa dialog tersebut dilakukan demi kepentingan AS dan tetap berkoordinasi dengan Israel. Kendati demikian, ia menolak membeberkan rincian pembicaraan, termasuk apakah diskusi tersebut mencakup usulan Presiden Donald Trump terkait kemungkinan AS mengambil alih Jalur Gaza atau hanya membahas upaya pembebasan sandera Israel.

Laporan dari Axios mengungkapkan bahwa dalam beberapa pekan terakhir, pembicaraan rahasia berlangsung di Qatar dengan Adam Boehler, utusan presiden AS untuk urusan sandera, sebagai pemimpin delegasi AS. Leavitt pun mengonfirmasi kebenaran laporan tersebut. Sementara itu, kesepakatan gencatan senjata tahap pertama yang diberlakukan sejak 19 Januari kini tidak lagi berlaku setelah Israel menolak negosiasi tahap kedua dan justru meminta perpanjangan tahap pertama. Di sisi lain, Hamas menuntut agar kesepakatan baru mencakup penarikan penuh pasukan Israel dari Jalur Gaza serta penghentian agresi militer.

Ketegangan ini semakin meningkat setelah Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada November lalu mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, serta mantan Menteri Pertahanan, Yoav Gallant. Keduanya didakwa atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan terkait serangan di Gaza. Selain itu, Israel juga menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) akibat serangannya yang menimbulkan korban sipil dalam jumlah besar di wilayah tersebut.