Tentara Israel Menolak Melanjutkan Perang Di Gaza: Suara Penolakan Dari Dalam

Sejumlah tentara Israel telah mengungkapkan penolakan mereka untuk melanjutkan pertempuran di Gaza, dengan mengklaim bahwa mereka diperintahkan untuk menghancurkan rumah-rumah warga Palestina. Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh Associated Press, tujuh tentara tersebut menjelaskan bagaimana tindakan mereka berkontribusi pada kematian warga sipil yang tidak bersalah dan menimbulkan trauma yang mendalam bagi mereka. Mereka menyatakan bahwa perintah tersebut bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang mereka anut sebagai prajurit.

Penolakan ini muncul di tengah situasi perang yang semakin memanas, di mana serangan udara Israel terus berlangsung dan menyebabkan banyak korban jiwa di pihak Palestina. Dalam serangan terbaru, dilaporkan bahwa lebih dari 40 warga Palestina tewas dalam serangan yang diluncurkan pada tanggal 14 dan 15 Januari 2025. Para tentara ini merasa bahwa melanjutkan perang hanya akan memperburuk keadaan dan menambah penderitaan bagi masyarakat sipil.

Sementara itu, upaya untuk mencapai gencatan senjata terus dilakukan. Beberapa sumber menyebutkan bahwa pembicaraan mengenai kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas telah memasuki tahap akhir. Namun, ketegangan tetap tinggi, dengan banyak warga Israel yang menolak kesepakatan gencatan senjata tanpa kemenangan militer yang jelas atas Hamas. Protes besar-besaran terjadi di Yerusalem, di mana para pengunjuk rasa menyerukan agar pemerintah tidak menyerah kepada Hamas.

Dalam konteks ini, suara tentara yang menolak perintah untuk melanjutkan perang bisa menjadi titik balik penting dalam dinamika konflik ini. Mereka mewakili pandangan yang semakin banyak muncul di kalangan tentara dan masyarakat sipil Israel yang menginginkan solusi damai daripada kekerasan berkelanjutan. Dengan situasi yang semakin mendesak, harapan untuk mencapai perdamaian di Gaza mungkin bergantung pada keberanian individu-individu ini untuk berbicara dan menuntut perubahan.

Iran Pamerkan 1.000 Drone Baru, Siaga Perang Dengan Negara Israel

Iran mengumumkan penambahan 1.000 drone baru ke dalam armada militernya, sebuah langkah yang dianggap sebagai persiapan untuk menghadapi potensi konflik dengan Israel. Pengumuman ini disampaikan oleh Angkatan Bersenjata Iran dalam konteks meningkatnya ketegangan di kawasan Timur Tengah, terutama setelah serangkaian serangan udara yang dilakukan oleh Israel terhadap posisi-posisi Iran dan sekutunya. Ini menunjukkan bahwa Iran berusaha untuk memperkuat kemampuan pertahanannya di tengah ancaman yang dirasakan dari negara tetangganya.

Drone-drone baru ini dilaporkan memiliki kemampuan tinggi dalam hal jangkauan, presisi, dan daya rusak. Mereka dirancang untuk melakukan berbagai misi, termasuk pengintaian dan serangan langsung. Dengan penambahan ini, Iran berharap dapat meningkatkan efektivitas operasional Angkatan Bersenjata mereka dan memberikan respons yang lebih cepat terhadap ancaman. Ini mencerminkan fokus Iran pada pengembangan teknologi militer untuk mendukung strategi pertahanan nasionalnya.

Ketegangan antara Iran dan Israel telah meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah serangan-serangan yang ditujukan pada fasilitas nuklir Iran dan dukungan militer Israel kepada kelompok-kelompok oposisi di Suriah. Iran melihat akuisisi drone ini sebagai langkah penting untuk memperkuat posisinya di kawasan dan menanggapi tindakan agresif dari Israel. Ini menunjukkan bahwa kedua negara terlibat dalam perlombaan senjata yang dapat memicu konflik lebih lanjut.

Pengumuman tentang penambahan drone ini mendapat perhatian luas dari komunitas internasional, terutama negara-negara Barat yang khawatir akan potensi penggunaan drone tersebut untuk menyerang target-target sipil atau militer di kawasan. Banyak analis menilai bahwa langkah ini dapat memperburuk situasi keamanan di Timur Tengah dan meningkatkan risiko terjadinya konflik berskala besar. Ini mencerminkan kekhawatiran global mengenai stabilitas regional dan dampak dari kebijakan militer Iran.

Iran juga telah meningkatkan latihan militer dan kesiapsiagaan angkatan bersenjatanya sebagai respons terhadap ancaman dari Israel dan sekutunya. Latihan-latihan ini melibatkan berbagai cabang angkatan bersenjata, termasuk angkatan udara dan laut, dengan tujuan untuk menunjukkan kekuatan dan kesiapan mereka dalam menghadapi kemungkinan serangan. Ini menunjukkan bahwa Iran berusaha untuk memperkuat deterrence (pencegahan) terhadap potensi agresi dari luar.

Dengan pengumuman penambahan 1.000 drone baru, semua pihak kini diajak untuk menyaksikan bagaimana ketegangan antara Iran dan Israel terus meningkat. Langkah ini tidak hanya mencerminkan upaya Iran untuk memperkuat pertahanan nasionalnya tetapi juga dapat memicu reaksi dari Israel dan sekutu-sekutunya. Ini menjadi momen penting bagi masyarakat internasional untuk mengawasi perkembangan situasi di Timur Tengah demi mencegah terjadinya konflik yang lebih besar di masa depan.

Postingan Pemerintah Israel Terkait Kebakaran Hutan Los Angeles Memicu Reaksi Keras Di Tengah Perang Gaza

Kebakaran hutan yang melanda Los Angeles telah menarik perhatian internasional, terutama setelah sebuah postingan dari akun resmi Israel di media sosial yang mengaitkan bencana tersebut dengan situasi di Gaza. Reaksi keras muncul dari berbagai kalangan, termasuk aktivis dan netizen yang merasa bahwa pernyataan tersebut tidak sensitif mengingat penderitaan yang dialami oleh warga Palestina.

Kebakaran yang terjadi sejak awal Januari ini telah menghanguskan lebih dari 29.000 hektar lahan dan menyebabkan lebih dari 180.000 orang terpaksa mengungsi dari rumah mereka. Kebakaran Palisades, salah satu yang paling parah, tercatat sebagai yang terburuk dalam sejarah Los Angeles, menewaskan setidaknya lima orang dan menghancurkan ribuan bangunan. Ini menunjukkan betapa seriusnya dampak bencana alam ini terhadap masyarakat dan lingkungan.

Postingan yang dibuat oleh akun resmi Israel menyebutkan bahwa kebakaran di Los Angeles adalah contoh dari “keadilan alam” yang terjadi akibat konflik di Gaza. Pernyataan ini langsung menuai kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk aktivis hak asasi manusia dan pengguna media sosial yang menilai bahwa pernyataan tersebut sangat tidak peka terhadap situasi kemanusiaan yang sedang berlangsung di Gaza. Ini mencerminkan bagaimana komunikasi di era digital dapat memicu reaksi emosional dan kontroversi.

Banyak aktivis, termasuk kelompok anti-Zionis, menggunakan kesempatan ini untuk menyoroti apa yang mereka sebut sebagai standar ganda dalam respons terhadap bencana. Mereka mencatat bahwa sementara kebakaran di LA mendapatkan perhatian besar dan empati, penderitaan warga Gaza sering kali diabaikan. Ini menunjukkan adanya kesenjangan dalam perhatian media dan masyarakat terhadap isu-isu kemanusiaan yang berbeda.

Kebakaran hutan ini diperkirakan menyebabkan kerugian ekonomi hingga USD 57 miliar, dengan dampak jangka panjang bagi komunitas lokal. Masyarakat setempat mulai merasakan dampak sosial dari bencana ini, dengan banyak yang kehilangan tempat tinggal dan sumber penghidupan mereka. Ini mencerminkan betapa bencana alam dapat berdampak luas pada kehidupan manusia dan ekonomi.

Beberapa aktivis menyerukan perlunya kesadaran global tentang kondisi di Gaza, mengaitkan kebakaran hutan dengan dampak perubahan iklim dan konflik bersenjata. Mereka menekankan bahwa tindakan militer yang dilakukan di Gaza memiliki konsekuensi jauh lebih besar daripada sekadar kerugian fisik, termasuk dampak lingkungan yang akan dirasakan secara global. Ini menunjukkan pentingnya pendekatan holistik dalam memahami isu-isu kemanusiaan.

Dengan kebakaran hutan yang terus meluas dan reaksi keras terhadap postingan Israel, semua pihak kini diajak untuk merenungkan kembali bagaimana kita merespons bencana dan konflik. Keberhasilan dalam menciptakan solidaritas global akan sangat bergantung pada kemampuan kita untuk mendengarkan suara-suara yang terpinggirkan dan memahami kompleksitas situasi kemanusiaan di seluruh dunia. Ini menjadi momen penting bagi masyarakat internasional untuk bersatu dalam menghadapi tantangan global bersama-sama.

Israel Diduga Terlibat dalam Pelarian Mantan Tentara dari Penyelidikan Kejahatan Perang di Brasil

Berita terbaru mengungkapkan bahwa seorang mantan tentara Israel berhasil melarikan diri dari Brasil di tengah penyelidikan terkait tuduhan kejahatan perang. Tentara tersebut, Yuval Vagdani, diduga terlibat dalam perusakan rumah warga sipil selama konflik di Gaza, yang membuatnya menjadi sorotan internasional.

Penyelidikan terhadap Vagdani dimulai setelah Hind Rajab Foundation (HRF), sebuah organisasi yang mendukung Palestina, mengajukan laporan yang mencakup lebih dari 500 halaman bukti, termasuk video dan data geolokasi yang menunjukkan keterlibatan Vagdani dalam serangan terhadap warga sipil selama operasi militer Israel di Gaza. HRF menilai bahwa ini merupakan bagian dari upaya sistematis untuk merusak kawasan sipil di Gaza.

Meskipun telah dikeluarkan perintah penangkapan, Vagdani berhasil melarikan diri dari Brasil dan kembali ke Israel. Media Israel melaporkan bahwa keluarganya menyebutkan dia tidak ditangkap sebelum melarikan diri. Namun, HRF berpendapat bahwa Israel mungkin telah memfasilitasi pelarian ini untuk menghindari proses hukum yang semestinya. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang komitmen Israel terhadap keadilan internasional.

HRF mengkritik pelarian ini sebagai bentuk penghinaan terhadap kedaulatan Brasil dan hukum yang berlaku. Mereka menekankan pentingnya melindungi sistem peradilan dan mendesak pemerintah Brasil untuk bertindak tegas demi memastikan keadilan. Kritik ini juga mencerminkan kekhawatiran bahwa pelarian seperti ini dapat mengancam penegakan hukum di tingkat internasional.

Francesca Albanese, pelapor khusus PBB mengenai hak asasi manusia di Palestina, menyatakan bahwa tindakan hukum terhadap individu yang diduga melakukan kejahatan perang sangatlah penting. Ia mengingatkan bahwa keadilan harus tetap berjalan meskipun ada upaya pelarian atau campur tangan politik. Ini mencerminkan seruan global yang semakin kuat untuk akuntabilitas dalam kasus kejahatan perang.

Dengan pelarian Yuval Vagdani dan dugaan keterlibatan Israel dalam kejadian ini, tahun 2025 diperkirakan akan menjadi tahun yang penuh tantangan bagi sistem hukum internasional. Semua pihak diharapkan untuk merenungkan pentingnya akuntabilitas dalam kasus kejahatan perang dan dampak dari tindakan seperti ini terhadap kepercayaan global terhadap sistem peradilan. Keberhasilan dalam menangani kasus ini akan berpengaruh besar terhadap masa depan hubungan internasional dan penegakan hak asasi manusia.

Israel Diduga Bantu Mantan Tentara Kabur Dari Penyelidikan Kejahatan Perang Di Brasil

Berita mengejutkan muncul mengenai seorang mantan tentara Israel yang berhasil kabur dari Brasil di tengah penyelidikan atas tuduhan kejahatan perang. Tentara tersebut, Yuval Vagdani, dituduh terlibat dalam penghancuran rumah warga sipil selama konflik di Jalur Gaza dan kini menjadi subjek perhatian internasional.

Penyelidikan terhadap Vagdani dimulai setelah Hind Rajab Foundation (HRF), sebuah organisasi advokasi pro-Palestina, mengajukan pengaduan yang mencakup lebih dari 500 halaman bukti. Bukti tersebut termasuk video dan data geolokasi yang mengaitkan Vagdani dengan tindakan kejam selama operasi militer Israel di Gaza. HRF menilai bahwa tindakan tersebut merupakan bagian dari kampanye sistematis untuk menghancurkan lingkungan sipil di wilayah tersebut.

Meskipun ada perintah pengadilan untuk menangkapnya, Vagdani berhasil meninggalkan Brasil dan kembali ke Israel. Media Israel melaporkan bahwa keluarganya menyatakan ia tidak ditahan sebelum kabur. Namun, HRF mengklaim bahwa Israel telah mengatur pelarian ini untuk menghindari proses hukum yang seharusnya dijalani Vagdani. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai komitmen Israel terhadap keadilan internasional.

HRF mengecam tindakan pelarian ini sebagai penghinaan terhadap kedaulatan Brasil dan proses hukum yang berlaku. Mereka menekankan pentingnya perlindungan terhadap proses peradilan dan meminta pemerintah Brasil untuk bertindak tegas dalam melindungi keadilan. Pernyataan ini menunjukkan kekhawatiran bahwa pelarian semacam ini dapat menciptakan preseden buruk bagi penegakan hukum di tingkat internasional.

Francesca Albanese, pelapor khusus PBB tentang situasi hak asasi manusia di Palestina, menyatakan bahwa tindakan hukum terhadap individu yang diduga melakukan kejahatan perang adalah langkah yang sangat diperlukan. Ia menekankan bahwa keadilan tidak boleh terhalang oleh upaya pelarian atau intervensi politik. Ini mencerminkan pandangan global yang semakin mendesak untuk akuntabilitas dalam kasus-kasus kejahatan perang.

Dengan kaburnya Yuval Vagdani dan dugaan keterlibatan pemerintah Israel dalam proses tersebut, tahun 2025 diharapkan menjadi tahun yang penuh tantangan bagi penegakan hukum internasional. Semua pihak kini diajak untuk merenungkan pentingnya akuntabilitas dalam kasus-kasus kejahatan perang dan bagaimana tindakan-tindakan seperti ini dapat memengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan global. Keberhasilan dalam menangani isu ini akan sangat menentukan masa depan hubungan internasional dan penegakan hak asasi manusia.

Human Rights Watch Sebut Perang Israel Di Gaza Sebuah Genosida

Jakarta – Laporan terbaru dari organisasi hak asasi manusia internasional, Human Rights Watch (HRW), menyebutkan bahwa perang yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok militan Hamas di Gaza telah memenuhi unsur-unsur genosida. Laporan ini merujuk pada serangan militer Israel yang dinilai telah menargetkan warga sipil secara sistematis, serta infrastruktur sipil di wilayah Gaza, yang dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap hukum internasional.

Alasan Human Rights Watch Menyebutnya Sebagai Genosida
Dalam laporan yang diterbitkan hari ini, HRW mengungkapkan bahwa serangan Israel terhadap wilayah sipil di Gaza, termasuk rumah, sekolah, rumah sakit, dan pasar, tidak hanya merusak infrastruktur tetapi juga menyebabkan kematian massal yang tidak sebanding dengan tujuan militer yang sah. Organisasi ini mengutip bukti-bukti dari lokasi serangan dan wawancara dengan saksi mata yang menunjukkan bahwa serangan tersebut dilakukan secara terkoordinasi dan tidak membedakan antara sasaran militer dan sipil. HRW menilai tindakan ini sebagai upaya untuk menghilangkan sebagian besar populasi Palestina di Gaza.

Pernyataan Pemerintah Israel dan Respons Internasional
Pemerintah Israel melalui juru bicaranya membantah tuduhan genosida tersebut, menyatakan bahwa operasi militer mereka di Gaza adalah bagian dari upaya untuk melawan terorisme yang dilakukan oleh Hamas, yang dianggapnya sebagai organisasi teroris. Israel juga menegaskan bahwa mereka telah berusaha menghindari korban sipil sebanyak mungkin dengan mengeluarkan peringatan sebelum serangan. Namun, berbagai negara dan organisasi internasional lainnya mulai mendesak adanya penyelidikan independen terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia ini.

Dampak Bagi Penduduk Gaza dan Upaya Penyelesaian Konflik
Sejak awal konflik, ribuan warga Gaza telah kehilangan nyawa, dan ratusan ribu lainnya terpaksa mengungsi akibat serangan udara dan darat. HRW menekankan bahwa krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung di Gaza semakin memburuk, dengan kebutuhan dasar seperti makanan, air, dan perawatan medis yang semakin sulit didapatkan. Upaya internasional untuk menengahi gencatan senjata terus dilakukan, namun jalan menuju perdamaian yang adil dan berkelanjutan masih terjalin sangat sulit.

Menhan Israel: Kendali Gaza Akan Tetap di Tangan Israel Setelah Konflik Berakhir

Menteri Pertahanan Israel, Yoav Katz, mengungkapkan bahwa Israel akan tetap mempertahankan kendali atas Gaza setelah berakhirnya konflik yang sedang berlangsung. Pernyataan ini dibuat dalam sebuah konferensi pers yang kemudian memicu berbagai reaksi, khususnya dari negara-negara Arab serta komunitas internasional.

Katz menyatakan bahwa meskipun pertempuran saat ini sedang berlangsung dengan intensitas tinggi, Israel memiliki rencana untuk menjaga keamanan dan stabilitas di Gaza dalam jangka panjang. Israel berencana untuk tetap mengontrol wilayah tersebut guna menghindari potensi ancaman dari kelompok militan Hamas yang ada di Gaza. Meskipun begitu, ia menegaskan bahwa meski konflik ini berakhir, tantangan dalam mencapai perdamaian yang berkelanjutan tetap akan terus ada.

Tindakan ini mengundang kritik keras, baik dari negara-negara Timur Tengah maupun dari negara-negara Barat yang khawatir bahwa langkah Israel ini dapat memperburuk ketegangan antara Israel dan Palestina. Beberapa pihak juga khawatir bahwa pendudukan yang berlangsung lama akan semakin memperburuk kondisi kemanusiaan di Gaza, yang sudah berada dalam kondisi kritis akibat perang. Negara-negara seperti Mesir dan Turki mengecam keputusan tersebut dan mendesak adanya dialog untuk menemukan solusi damai.

Kini, muncul pertanyaan besar mengenai masa depan Gaza, serta apakah Israel dapat memastikan stabilitas jangka panjang di wilayah tersebut. Meskipun Israel mengklaim bahwa pengendalian ini diperlukan untuk mengatasi ancaman militan, beberapa analis berpendapat bahwa kehadiran militer yang berkepanjangan dapat memperburuk ketegangan dan memperpanjang konflik yang sudah berlangsung puluhan tahun.

Keputusan untuk terus mempertahankan kontrol atas Gaza pasca-perang ini meningkatkan kekhawatiran akan potensi eskalasi konflik yang lebih besar. Dalam menghadapi situasi yang kompleks ini, diharapkan komunitas internasional dapat memainkan peran penting dalam meredakan ketegangan dan mendorong upaya perdamaian yang lebih konstruktif bagi kawasan tersebut.

Menhan Yoav Katz Sebutkan Israel Akan Tetap Pegang Kendali Atas Gaza Usai Perang

Menteri Pertahanan Israel, Yoav Katz, menyatakan bahwa Israel akan tetap memegang kendali atas Gaza setelah berakhirnya perang yang sedang berlangsung. Pernyataan ini disampaikan dalam sebuah konferensi pers, yang menimbulkan berbagai reaksi dan kekhawatiran dari banyak pihak, terutama negara-negara Arab dan masyarakat internasional.

Menhan Katz mengungkapkan bahwa meskipun konflik saat ini tengah berlangsung sengit, pihaknya berencana untuk memastikan keamanan dan stabilitas di wilayah Gaza dalam jangka panjang. Israel akan terus menjaga kontrol atas kawasan tersebut untuk mencegah adanya ancaman dari kelompok militan Hamas yang beroperasi di sana. Menurut Katz, meskipun peperangan bisa berakhir, tantangan besar tetap ada dalam menciptakan perdamaian yang langgeng di wilayah tersebut.

Pernyataan ini mendapat banyak kecaman dari berbagai pihak di timur tengah dan negara-negara Barat yang menganggapnya sebagai langkah yang dapat memperburuk ketegangan antara Israel dan Palestina. Beberapa pihak khawatir bahwa pendudukan jangka panjang atas Gaza akan semakin memperburuk kondisi kemanusiaan di wilayah yang sudah dilanda perang dan krisis tersebut. Negara-negara seperti Mesir dan Turki mengkritik keras keputusan tersebut dan menyerukan dialog untuk mencapai penyelesaian damai.

Pertanyaan besar kini muncul mengenai masa depan Gaza dan apakah Israel akan berhasil mewujudkan stabilitas jangka panjang. Meskipun Israel mengklaim bahwa langkah ini diperlukan untuk mencegah ancaman dari militan, para analis menilai bahwa kehadiran militer yang terus-menerus di Gaza berpotensi menambah ketegangan dan memperpanjang konflik yang sudah berlangsung selama puluhan tahun.

Keputusan Israel untuk tetap mengendalikan Gaza usai perang menimbulkan kekhawatiran akan escalasi konflik yang lebih besar. Dalam menghadapi tantangan besar ini, komunitas internasional diharapkan dapat berperan dalam meredakan ketegangan dan mendorong langkah-langkah yang dapat membawa perdamaian bagi wilayah tersebut.

Presiden Afrika Selatan: Agresi Israel Terhadap Gaza Tidak Bisa Dibiarkan Berlanjut

Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa, kembali menegaskan bahwa serangan militer Israel terhadap Gaza dan Palestina adalah tindakan yang tidak manusiawi dan harus dihentikan segera. Pernyataan tersebut disampaikan dalam pidato resmi pada sebuah konferensi internasional yang diadakan di Johannesburg, Afrika Selatan, pada Senin (09/12).

Ramaphosa mengutuk keras serangan Israel yang telah menggempur Gaza sejak Oktober 2024, yang mengakibatkan ribuan korban jiwa di kalangan warga sipil dan puluhan ribu orang lainnya terluka. “Kekerasan ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Dunia harus bersatu untuk menekan Israel agar segera menghentikan agresinya yang tidak berperikemanusiaan terhadap rakyat Palestina,” ujar Ramaphosa.

Afrika Selatan, yang dikenal dengan sejarah perjuangannya melawan apartheid, selama ini selalu mendukung hak-hak rakyat Palestina dan mengecam kebijakan Israel yang dianggap sebagai bentuk penjajahan. Ramaphosa juga menekankan bahwa negara-negara di seluruh dunia, terutama di Afrika, perlu lebih aktif mendesak perdamaian di kawasan Timur Tengah.

Pernyataan ini juga sejalan dengan upaya Afrika Selatan yang terus mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Gaza serta menyerukan adanya sanksi internasional terhadap Israel.

Dalam pidatonya, Ramaphosa juga mengimbau masyarakat internasional untuk memberikan tekanan pada Israel agar segera duduk bersama Palestina dalam perundingan yang bertujuan mencapai perdamaian yang adil dan abadi.

Sementara itu, beberapa negara, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa, masih terpecah dalam respons mereka terhadap konflik ini, namun aksi solidaritas terhadap Gaza terus digelar di berbagai penjuru dunia.

Presiden Afrika Selatan Sebut Perang Biadab Penjajah Israel Terhadap Rakyat Gaza Harus Diakhiri Segera

Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa, kembali menegaskan bahwa agresi militer Israel terhadap Palestina, khususnya Gaza, merupakan tindakan biadab yang harus segera dihentikan. Pernyataan tersebut disampaikan dalam pidato resmi pada konferensi internasional yang digelar di Johannesburg, Afrika Selatan, pada Senin (09/12).

Ramaphosa mengecam keras serangan Israel yang terus menggempur wilayah Gaza sejak Oktober 2024, yang telah menewaskan ribuan warga sipil dan melukai puluhan ribu lainnya. “Kekerasan ini tidak bisa dibiarkan terus berlangsung. Dunia harus bersatu dan mendesak Israel untuk menghentikan agresinya yang tidak berperikemanusiaan terhadap rakyat Palestina,” kata Ramaphosa.

Afrika Selatan, yang dikenal sebagai negara dengan sejarah perjuangan melawan apartheid, telah lama mendukung hak-hak Palestina dan mengutuk kebijakan Israel yang dianggap sebagai bentuk penjajahan. Ramaphosa menambahkan bahwa negara-negara di dunia, terutama di Afrika, harus lebih aktif dalam mengadvokasi perdamaian di Timur Tengah.

Pernyataan ini juga sejalan dengan langkah Afrika Selatan yang terus mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Gaza serta menyerukan sanksi internasional terhadap Israel. “Keberpihakan pada Palestina adalah keberpihakan terhadap keadilan dan hak asasi manusia,” tambahnya.

Dalam pidatonya, Ramaphosa juga menyerukan masyarakat internasional untuk menekan Israel agar segera duduk dalam meja perundingan dengan Palestina demi tercapainya perdamaian yang adil dan langgeng.

Sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa, masih terpecah dalam menanggapi konflik ini, sementara aksi solidaritas untuk Gaza terus bergulir di berbagai belahan dunia.