Serangan Israel ke Suriah, Arab Saudi Minta DK PBB Ambil Tindakan!

Arab Saudi mengecam keras serangan udara yang dilakukan Israel di wilayah Suriah, menyebutnya sebagai pelanggaran nyata terhadap hukum internasional. Kerajaan tersebut juga meminta Dewan Keamanan PBB (DK PBB) untuk segera mengambil langkah tegas.

Dilansir oleh Saudi Press Agency (SPA), dalam pernyataan resmi dari Kementerian Luar Negeri Saudi, pemerintah Arab Saudi mengutuk serangan tersebut dan menegaskan bahwa tindakan Israel merupakan bagian dari pelanggaran berulang yang membahayakan stabilitas serta keamanan kawasan.

Menurut laporan SPA, yang dikutip AFP pada Rabu (19/3/2025), Riyadh menegaskan perlunya respons internasional guna mencegah eskalasi lebih lanjut serta memastikan pihak yang bertanggung jawab mendapatkan sanksi.

Pemerintah Arab Saudi juga menegaskan dukungannya terhadap Suriah dan rakyatnya, serta mendesak negara-negara anggota DK PBB untuk mengambil sikap serius terhadap serangan Israel.

Kerajaan menyoroti pentingnya mencegah penyebaran konflik lebih luas di kawasan tersebut, serta menyerukan adanya mekanisme akuntabilitas bagi Israel terkait tindakannya.

Kecaman ini muncul beberapa jam setelah sumber keamanan Suriah melaporkan bahwa jet tempur Israel menyerang fasilitas militer di desa Shinshar dan Shamsin, yang terletak di selatan Homs.

Hingga saat ini, militer Israel belum memberikan tanggapan resmi atas serangan terbaru tersebut. Namun, sebelumnya mereka mengklaim telah menargetkan fasilitas militer di Suriah karena dianggap menyimpan senjata serta perlengkapan militer.

Dalam beberapa waktu terakhir, intensitas serangan Israel di Suriah meningkat. Laporan terbaru menyebut bahwa serangan di provinsi Daraa mengakibatkan sedikitnya dua orang tewas dan 19 lainnya terluka. Israel telah melakukan serangan udara ke pangkalan militer Suriah selama bertahun-tahun, dengan alasan untuk menanggulangi ancaman dari kelompok-kelompok yang didukung Iran di wilayah tersebut.

Serangan Militer AS di Yaman: Respons Houthi dan Konflik dengan Zionis

Presiden Amerika Donald Trump telah mengarahkan serangan militer penuh terhadap gerakan Houthi di Yaman, yang dianggap sebagai ancaman terhadap kepentingan Israel. Serangan ini menyusul keputusan Houthi untuk melarang kapal yang terafiliasi dengan Israel untuk melintas di perairan Yaman. Larangan ini dikeluarkan sebagai bentuk solidaritas terhadap Palestina, yang hingga saat ini terus menghadapi penjajahan Israel. Tindakan ini mendapat kecaman keras dari Mohammed al-Bukhaiti, seorang pemimpin Houthi, yang menilai agresi AS ini sebagai bentuk dukungan langsung terhadap Israel dalam upayanya menganiaya warga Palestina. Al-Bukhaiti menegaskan bahwa Yaman tidak akan pernah mundur dalam mendukung perjuangan Palestina, bahkan jika harus menanggung konsekuensi besar akibat serangan-serangan tersebut.

Dalam reaksi terhadap agresi ini, Dewan Politik Tertinggi Yaman mengeluarkan pernyataan keras yang mengutuk tindakan AS dan Inggris. Mereka menegaskan bahwa serangan udara yang dilakukan oleh pasukan AS-Inggris di beberapa wilayah Yaman hanya menunjukkan ketidakmampuan Amerika untuk menghentikan perlawanan yang semakin kuat dan meluas. Serangan-serangan udara yang menghantam beberapa provinsi Yaman telah mengakibatkan sejumlah korban jiwa, dan Angkatan Bersenjata Yaman tengah mempersiapkan balasan yang lebih luas untuk merespons serangan ini. Pada saat yang sama, Yaman kembali menegaskan larangan kapal Israel untuk melintas di Laut Merah dan Teluk Aden, sebagai bagian dari strategi mereka untuk mendukung perjuangan Palestina.

Sementara itu, Hamas, kelompok perlawanan Palestina, menyambut positif pernyataan Presiden Trump yang menegaskan tidak akan ada pemindahan massal warga Palestina dari Gaza. Trump mengatakan bahwa tidak akan ada pengusiran warga Palestina dari Gaza, meskipun rencana tersebut sempat beredar sebelumnya. Menanggapi pernyataan ini, juru bicara Hamas, Hazem Qassem, mengatakan bahwa langkah ini sangat positif, namun ia mengingatkan bahwa tindakan nyata harus dilakukan untuk mendukung Palestina dan memastikan hak-hak mereka terlindungi. Hamas juga mendesak agar dunia internasional mendesak Israel untuk menghentikan kebijakan agresifnya di Gaza dan memperkuat gencatan senjata yang telah disepakati. Gerakan ini berpendapat bahwa perdamaian yang sejati hanya dapat terwujud jika Israel memenuhi tuntutan internasional dan mengakhiri pendudukan atas wilayah Palestina.

Dengan meningkatnya ketegangan di kawasan ini, Yaman dan Hamas menunjukkan komitmennya untuk terus mendukung Palestina, meskipun menghadapi agresi dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Israel. Kedua pihak ini semakin menunjukkan bahwa mereka tidak akan mundur dalam memperjuangkan hak-hak rakyat Palestina. Meskipun serangan dan agresi terus berlanjut, baik dari Israel maupun Amerika, semangat perjuangan dan solidaritas internasional terhadap Palestina terus bergelora, menciptakan ketegangan yang tidak kunjung reda di kawasan Timur Tengah.

Ketegangan Meningkat: AS Peringatkan Rusia Terkait Serangan Houthi

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Marco Rubio, menghubungi Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, untuk menyampaikan informasi terkait operasi militer yang dilakukan AS terhadap kelompok Houthi di Yaman. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Tammy Bruce, menegaskan bahwa serangan yang dilakukan kelompok Houthi terhadap kapal militer dan komersial AS di Laut Merah tidak akan dibiarkan dan akan mendapatkan balasan yang tegas.

Selain membahas serangan terhadap Houthi, Rubio dan Lavrov juga mendiskusikan langkah-langkah lanjutan setelah pertemuan mereka di Arab Saudi. Keduanya sepakat untuk terus berupaya memperbaiki komunikasi antara Washington dan Moskow guna menjaga stabilitas global. Sementara itu, militer AS telah melancarkan serangan udara ke wilayah Yaman yang menargetkan kelompok Houthi dan menyebabkan sedikitnya 19 korban jiwa. Presiden AS, Donald Trump, menegaskan bahwa serangan lebih lanjut akan dilakukan jika kelompok tersebut terus mengancam kapal dagang di Laut Merah.

Sejak akhir 2023, kelompok Houthi telah melancarkan berbagai serangan menggunakan rudal dan drone terhadap kapal-kapal yang memiliki hubungan dengan Israel. Mereka mengklaim bahwa serangan ini merupakan bentuk dukungan terhadap rakyat Palestina di Gaza. Namun, ketika Israel dan Hamas menyepakati gencatan senjata, Houthi menghentikan serangan mereka. Ketegangan kembali meningkat ketika Israel memblokir bantuan kemanusiaan ke Gaza pada 2 Maret, yang kemudian memicu ancaman baru dari Houthi untuk melanjutkan serangan terhadap kapal-kapal yang melintasi perairan Laut Merah.

ICJ Gelar Sidang Terbuka Bahas Kewajiban Israel atas Wilayah Palestina

Mahkamah Internasional (ICJ) mengumumkan akan menggelar sidang terbuka guna membahas kewajiban Israel terhadap Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), organisasi internasional, serta pihak ketiga terkait wilayah Palestina yang diduduki. Sidang ini dijadwalkan berlangsung pada Senin, 28 April 2025, di Istana Perdamaian, Den Haag. Proses ini berawal dari permintaan pendapat konsultatif yang menarik perhatian luas dari berbagai negara serta organisasi internasional.

Sebanyak 45 negara telah mengajukan pernyataan resmi dalam tenggat waktu yang ditentukan oleh Presiden ICJ pada 23 Desember lalu. Sebagai pengecualian, Uni Afrika diberikan tambahan waktu untuk menyerahkan pernyataannya. Negara-negara yang turut serta dalam pengajuan pernyataan ini berasal dari berbagai kawasan, termasuk Chile, Malaysia, Rusia, Turki, Pakistan, Qatar, Spanyol, Afrika Selatan, Irlandia, Arab Saudi, China, Belanda, Brasil, Mesir, Israel, Prancis, Amerika Serikat, dan Palestina.

Selain itu, sejumlah organisasi internasional utama seperti PBB, Organisasi Kerja Sama Islam, dan Liga Arab juga turut memberikan perspektif mereka dalam kasus ini. Sesuai dengan Pasal 106 aturan ICJ, dokumen pernyataan tertulis dapat dipublikasikan setelah tahap persidangan lisan dimulai.

Di sisi lain, Israel juga menghadapi gugatan genosida di ICJ akibat serangannya di Jalur Gaza sejak Oktober 2023, yang telah menyebabkan lebih dari 50.000 warga Palestina tewas serta menghancurkan sebagian besar infrastruktur di wilayah tersebut. Kasus ini menjadi perhatian dunia dan diharapkan membawa kejelasan atas kewajiban hukum Israel di hadapan masyarakat internasional.

Hamas Sambut Sikap Trump yang Tolak Pemindahan Paksa Warga Gaza

Kelompok perlawanan Palestina, Hamas, menyambut baik pernyataan Presiden AS Donald Trump yang menolak rencana pemindahan massal warga Palestina dari Jalur Gaza, wilayah yang telah luluh lantak akibat perang. Pada Rabu, 12 Maret, Trump menegaskan bahwa dirinya tidak akan mendukung pengusiran warga Palestina dari Gaza. Pernyataan tersebut disampaikannya dalam konferensi pers usai bertemu dengan Perdana Menteri Irlandia, Micheal Martin. Menanggapi pernyataan itu, juru bicara Hamas, Hazem Qassem, menyatakan bahwa jika benar Trump menolak segala bentuk relokasi paksa bagi warga Gaza, maka sikap tersebut patut diapresiasi. Hamas juga menyerukan agar posisi ini diperkuat dengan menekan Israel untuk mematuhi ketentuan perjanjian gencatan senjata yang telah disepakati.

Qassem juga mendesak Trump agar tidak berpihak pada kepentingan kelompok Zionis sayap kanan ekstrem yang ingin mengusir warga Palestina dari tanah mereka. Pernyataan Trump muncul setelah pejabat keuangan Israel, Bezalel Smotrich, mengumumkan rencana pembentukan Otoritas Emigrasi di bawah otoritas pertahanan Israel guna mengatur pemindahan paksa warga Palestina dari Gaza. Sementara itu, negara-negara Arab telah menyetujui rencana rekonstruksi Gaza dalam pertemuan Organisasi Kerja Sama Islam pada awal Maret. Proyek pembangunan kembali ini diperkirakan memakan waktu lima tahun dengan total anggaran mencapai 53 miliar dolar AS.

Sebelumnya, Trump pernah mengusulkan untuk mengambil alih Gaza dan merelokasi penduduknya ke tempat lain dengan tujuan menjadikan wilayah tersebut sebagai destinasi wisata. Namun, gagasan itu ditolak oleh negara-negara Arab serta komunitas internasional karena dinilai sebagai bentuk pembersihan etnis. Hingga kini, lebih dari 48.500 warga Palestina telah menjadi korban serangan Israel sejak Oktober 2023. Sementara itu, Mahkamah Pidana Internasional telah mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, serta mantan pejabat pertahanan, Yoav Gallant, atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Israel juga tengah menghadapi gugatan kasus genosida di Mahkamah Internasional akibat agresinya di wilayah Palestina.

Gaza di Ambang Kehancuran: Krisis Air Memperburuk Derita Warga

Krisis air di Jalur Gaza telah mencapai titik kritis, dengan 90 persen penduduknya kini tidak memiliki akses terhadap air minum yang layak. UNICEF memperingatkan bahwa kondisi ini mengancam keselamatan jutaan warga, terutama anak-anak yang paling rentan terhadap dampaknya. Rosalia Poulin, pejabat UNICEF di Gaza, menyebutkan bahwa pada November 2024, sekitar 600.000 orang sempat mendapatkan kembali akses air bersih, namun situasi tersebut tidak bertahan lama. Saat ini, mayoritas penduduk kembali menghadapi kesulitan mendapatkan sumber air yang aman dan layak konsumsi.

Badan-badan PBB melaporkan bahwa sekitar 1,8 juta warga Gaza—lebih dari separuhnya adalah anak-anak—membutuhkan bantuan darurat, termasuk pasokan air bersih, sanitasi yang memadai, serta layanan kesehatan. Situasi ini semakin memburuk setelah Israel memutus aliran listrik ke Gaza, menyebabkan fasilitas desalinasi air laut berhenti beroperasi. Tanpa proses penyaringan, pasokan air yang tersedia menjadi sangat terbatas dan berisiko tinggi terkontaminasi. Kondisi ini memperbesar kemungkinan merebaknya penyakit akibat konsumsi air yang tidak layak, seperti diare akut dan infeksi lainnya.

UNICEF menegaskan bahwa tanpa intervensi segera, dampak krisis ini akan semakin meluas, mengancam kesehatan dan kehidupan warga Gaza. Kurangnya air bersih tidak hanya meningkatkan risiko penyakit tetapi juga memperburuk situasi kemanusiaan di wilayah tersebut. Saat ini, penduduk Gaza menghadapi ancaman berlapis, dari konflik berkepanjangan hingga kelangkaan sumber daya esensial yang semakin parah.

Arab Saudi dan Mesir Kecam Israel atas Penghentian Bantuan ke Gaza

Arab Saudi mengutuk keras keputusan Israel yang menangguhkan bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza meskipun telah ada kesepakatan sebelumnya. Pernyataan ini disampaikan oleh Kementerian Luar Negeri Arab Saudi pada Minggu, menegaskan bahwa tindakan Israel merupakan bentuk hukuman kolektif yang bertentangan dengan hukum internasional. Langkah ini diumumkan setelah Hamas menolak usulan Steve Witkoff, utusan AS untuk Timur Tengah, terkait perpanjangan fase pertama gencatan senjata.

Arab Saudi mendesak komunitas internasional untuk bertindak tegas terhadap Israel serta memastikan kelangsungan distribusi bantuan kemanusiaan bagi rakyat Gaza. Menurut Riyadh, penggunaan bantuan sebagai alat tekanan politik sangat tidak dapat diterima, terutama saat kondisi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk.

Mesir juga mengecam keputusan Israel dengan menyatakan bahwa kebijakan tersebut menunjukkan upaya mencapai tujuan politik dengan mengorbankan nyawa warga sipil. Kementerian Luar Negeri Mesir menegaskan bahwa tindakan ini menjadi semakin tidak dapat dibenarkan karena dilakukan saat Bulan Suci Ramadan, momen yang seharusnya mengedepankan solidaritas dan perdamaian.

Sementara itu, rencana gencatan senjata yang diajukan Steve Witkoff mencakup penghentian konflik selama Ramadan hingga Paskah, yang berlangsung sekitar satu setengah bulan. Usulan ini juga mencakup pembebasan separuh sandera Israel di Gaza pada hari pertama gencatan senjata, dengan pembebasan penuh jika kesepakatan permanen tercapai. Ramadan tahun ini berlangsung dari 28 Februari hingga 29 Maret, sementara Paskah Yahudi akan dirayakan pada 12 hingga 19 April.

Misteri Sandera di Gaza: Harapan Pembebasan di Tengah Gencatan Senjata

Sejak konflik Israel-Hamas pecah pada 7 Oktober 2023, kelompok Hamas tidak hanya menewaskan warga sipil tetapi juga menyandera sejumlah orang Israel. Saat ini, dengan adanya gencatan senjata yang sedang berlangsung di Gaza, negosiasi terus dilakukan untuk membahas kemungkinan pembebasan para tawanan yang masih tersisa. Dikutip dari AFP pada Jumat (28/2/2025), fase kedua dari kesepakatan gencatan senjata Israel-Hamas berpotensi membawa perdamaian permanen dan membebaskan sisa sandera yang masih ditawan.

Fase pertama gencatan senjata yang dimulai pada 19 Januari 2025 dan berakhir pada 1 Maret 2025 telah membebaskan 25 sandera Israel serta delapan jenazah, sebagai imbalan atas ratusan tahanan Palestina. Selain itu, lima warga Thailand juga dibebaskan di luar perjanjian gencatan senjata. Pihak berwenang Israel memperkirakan bahwa dari 58 sandera yang masih berada di Gaza, 24 di antaranya diyakini masih hidup. Namun, sebagian besar tidak memiliki bukti kehidupan yang jelas. Bahkan, tiga dari empat jenazah sandera yang dipulangkan minggu ini awalnya diduga masih hidup sebelum akhirnya ditemukan telah tewas.

Dalam video yang dirilis Hamas, beberapa sandera terlihat, termasuk Evyatar David (24) dan Guy Gilboa-Dalal (23), yang menyaksikan serah terima tawanan lainnya. Sandera lain seperti Edan Alexander (21) dan Matan Zangauker (25) juga muncul dalam rekaman antara akhir November hingga awal Desember 2024. Informasi dari para sandera yang telah dibebaskan menyebutkan bahwa lebih dari selusin tawanan masih hidup. Seluruh sandera yang tersisa adalah laki-laki, mayoritas berusia di bawah 30 tahun, dengan 22 di antaranya berkewarganegaraan Israel dan 10 memiliki kewarganegaraan ganda.

Selain itu, terdapat dua warga asing yang masih disandera, yakni Bipin Joshi (24) dari Nepal dan Natthapong Pinta (35) dari Thailand. Di antara para sandera, lima orang adalah tentara Israel, termasuk Tamir Nimrodi dan Nimrod Cohen yang masih berusia 20 tahun, menjadikan mereka sandera termuda yang masih berada di Gaza. Sementara itu, Omri Miran (47) dari Hongaria adalah sandera tertua. Dari total 24 sandera yang diyakini masih hidup, 11 di antaranya ditangkap saat menghadiri festival musik yang diserang pada 7 Oktober 2023.

Dari 251 orang yang diculik Hamas sejak awal perang, sedikitnya 41 orang telah tewas saat dibawa ke Gaza. Kelompok Hamas dan Jihad Islam masih menahan jenazah 34 sandera, termasuk mereka yang tewas selama serangan 2023 serta yang meninggal di masa penahanan. Sebanyak 145 sandera telah dibebaskan dalam keadaan hidup, sementara 48 jenazah telah dipulangkan.

Tiga Sandera Israel Akan Dibebaskan, Hamas dan Israel di Ambang Kesepakatan

Hamas pada Kamis (13/2) mengumumkan bahwa mereka akan membebaskan tiga orang sandera Israel sesuai dengan rencana yang telah disepakati. Langkah ini membuka kemungkinan untuk menyelesaikan konflik besar terkait perjanjian gencatan senjata di Jalur Gaza.

Sebelumnya, kelompok tersebut sempat mengancam akan menunda proses pembebasan sandera berikutnya, dengan alasan bahwa Israel tidak memenuhi komitmennya dalam perjanjian gencatan senjata, termasuk keterlambatan dalam pengiriman tenda dan tempat perlindungan. Sementara itu, Israel, yang didukung oleh Presiden AS Donald Trump, menegaskan bahwa mereka akan terus melakukan operasi militer terhadap Hamas jika pembebasan sandera tidak segera dilakukan.

Pernyataan dari Hamas ini seharusnya memungkinkan gencatan senjata tetap berlangsung, meskipun pada hari yang sama Israel melaporkan adanya peluncuran roket dari Gaza. Kendati demikian, masih muncul kekhawatiran tentang sejauh mana ketahanan gencatan senjata ini dalam jangka panjang.

Hamas juga menyebut bahwa mereka telah mengadakan perundingan di Kairo dengan pejabat Mesir dan melakukan komunikasi dengan Perdana Menteri Qatar untuk membahas peningkatan bantuan kemanusiaan, seperti tenda, pasokan medis, bahan bakar, serta peralatan berat guna membersihkan puing-puing di Gaza. Dalam pernyataan resmi, Hamas menegaskan bahwa para mediator telah memberikan jaminan untuk mengatasi berbagai hambatan yang ada.

Tak lama setelah pengumuman tersebut, juru bicara Hamas, Abdul Latif al-Qanou, mengonfirmasi kepada Associated Press bahwa tiga sandera akan dibebaskan pada hari Sabtu.

Sementara itu, stasiun televisi pemerintah Mesir, Qahera, yang memiliki hubungan dekat dengan dinas keamanan setempat, melaporkan bahwa Mesir dan Qatar telah berhasil menyelesaikan perselisihan yang terjadi. Kedua negara tersebut berperan sebagai mediator utama dalam negosiasi dengan Hamas dan membantu menengahi perjanjian gencatan senjata yang mulai berlaku pada Januari, lebih dari 15 bulan setelah perang berlangsung.

Media Mesir juga menayangkan cuplikan video yang menunjukkan truk-truk yang membawa tenda serta alat berat, termasuk buldoser, di perbatasan Mesir dengan Gaza. Laporan menyebutkan bahwa truk-truk tersebut sedang dalam proses pemeriksaan oleh otoritas Israel sebelum dikirimkan ke Gaza.

Di tengah keberlangsungan gencatan senjata, militer Israel melaporkan adanya tembakan roket dari wilayah Gaza pada Kamis, yang diduga sebagai insiden pertama sejak perjanjian gencatan senjata diberlakukan. Roket tersebut jatuh di dalam wilayah Gaza sendiri, dan pihak militer Israel kemudian menyatakan bahwa serangan tersebut mengenai peluncur yang menembakkannya.

Sejak gencatan senjata diterapkan, sedikitnya 92 warga Palestina dilaporkan tewas dan lebih dari 800 lainnya mengalami luka-luka akibat serangan dari pihak Israel, menurut Munir al-Bursh, Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan Gaza. Militer Israel menyatakan bahwa mereka hanya menargetkan individu yang mendekati pasukan mereka atau memasuki zona yang dilarang sesuai dengan ketentuan gencatan senjata.

Hamas Peringatkan Trump: Hanya Gencatan Senjata yang Bisa Kembalikan Sandera Israel

Pejabat senior Hamas, Sami Abu Zuhri, memperingatkan Presiden AS Donald Trump bahwa satu-satunya cara untuk membebaskan para sandera Israel adalah dengan menghormati perjanjian gencatan senjata antara Israel dan Hamas. Dalam pernyataannya kepada Reuters pada Selasa (11/2/2025), Zuhri menegaskan bahwa kedua belah pihak harus menaati kesepakatan yang telah dibuat. “Trump harus mengingat bahwa ada perjanjian yang harus dihormati oleh kedua pihak, dan ini adalah satu-satunya cara untuk membebaskan para sandera. Ancaman tidak akan menyelesaikan masalah, justru semakin memperumit keadaan,” katanya.

Sebelumnya, Trump menyatakan pada Senin bahwa ia mempertimbangkan untuk membatalkan gencatan senjata dan membiarkan situasi semakin memburuk jika semua sandera Israel yang ditahan Hamas tidak dibebaskan sebelum Sabtu mendatang. Hamas sendiri telah menunda pembebasan sandera hingga ada pemberitahuan lebih lanjut, dengan alasan Israel melanggar perjanjian gencatan senjata karena masih melanjutkan serangan di Jalur Gaza.

Selain itu, Trump juga menimbulkan kemarahan dunia Arab setelah mengusulkan agar Amerika Serikat mengambil alih Gaza, memindahkan lebih dari dua juta penduduknya, dan mengubah kawasan tersebut menjadi “Riviera di Timur Tengah.” Rencana kontroversial ini menjadi salah satu agenda dalam pertemuan antara Trump dan Raja Yordania, Abdullah, pada Selasa waktu AS. Pertemuan tersebut diperkirakan berlangsung tegang karena Trump juga mengancam akan memotong bantuan ke Yordania jika negara itu menolak menerima warga Palestina yang dipindahkan dari Gaza.

Pemindahan paksa penduduk di bawah pendudukan militer merupakan pelanggaran hukum internasional dan dikategorikan sebagai kejahatan perang berdasarkan Konvensi Jenewa 1949. Perang di Gaza, yang dipicu serangan Hamas ke wilayah Israel pada 7 Oktober 2023, telah dihentikan sejak pertengahan Januari melalui perjanjian gencatan senjata yang dimediasi oleh Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat.