Dukungan Eropa untuk Rekonstruksi Gaza, Israel dan AS Menolak

Menteri luar negeri dari Prancis, Jerman, Italia, dan Inggris pada Sabtu (8/3) menyatakan dukungan mereka terhadap inisiatif negara-negara Arab untuk membangun kembali Jalur Gaza yang hancur akibat serangan Israel. Rencana rekonstruksi yang diprakarsai oleh Mesir dan disetujui oleh para pemimpin Arab pada Selasa sebelumnya diperkirakan akan menelan biaya sebesar 53 miliar dolar AS atau sekitar Rp865 triliun. Langkah ini bertujuan untuk mencegah pengusiran warga Palestina dari wilayah tersebut.

Dalam pernyataan bersama, para menteri luar negeri Eropa menilai bahwa rencana tersebut menawarkan solusi realistis yang dapat mempercepat proses pemulihan Gaza dengan cara yang berkelanjutan. Namun, rencana ini mendapat penolakan dari Israel dan Presiden AS, Donald Trump, yang sebelumnya justru mengusulkan pemindahan warga Palestina dari Gaza, suatu gagasan yang memicu kecaman luas dari berbagai pihak.

Rencana rekonstruksi tersebut mencakup pembentukan sebuah komite administratif yang akan diawaki oleh teknokrat Palestina yang bersifat independen dan profesional. Komite ini akan bertanggung jawab untuk mengawasi distribusi bantuan kemanusiaan serta menangani berbagai urusan di Gaza di bawah pengawasan Otoritas Palestina (PA).

Dukungan dari negara-negara Eropa diharapkan dapat memperkuat posisi negara-negara Arab dalam mewujudkan rencana tersebut. Sementara itu, ketegangan politik semakin meningkat akibat penolakan Israel dan AS terhadap upaya ini, yang menandakan perbedaan sikap yang tajam dalam menangani krisis kemanusiaan di Gaza.

Iran Tegaskan Tidak Akan Menunggu Surat dari AS untuk Pencabutan Sanksi

Ketua Parlemen Iran, Mohammad-Baqer Qalibaf, menegaskan bahwa Iran tidak akan menanti surat atau inisiatif apa pun dari Amerika Serikat untuk mencabut sanksi yang dikenakan terhadap negara tersebut. Pernyataan ini disampaikan dalam sesi terbuka Parlemen Iran pada Minggu (9/3), dua hari setelah Presiden AS, Donald Trump, mengklaim telah mengirim surat kepada Pemimpin Revolusi Islam, Ayatollah Seyyed Ali Khamenei, untuk membuka kembali perundingan antara kedua negara.

Trump mengungkapkan hal tersebut sebulan setelah kembali menerapkan kebijakan “tekanan maksimum” terhadap Iran, yang sebelumnya ia terapkan pada periode pertamanya sebagai presiden. Kampanye ini bertujuan untuk menekan total ekspor minyak Iran. Namun, Qalibaf menegaskan bahwa bangsa Iran telah memahami bahwa satu-satunya cara untuk menghadapi sanksi adalah dengan memperkuat negara sendiri. Ia juga menilai bahwa negosiasi yang disertai dengan ancaman dan tekanan hanya akan menghasilkan tuntutan baru dari pihak AS.

Menurutnya, Iran akan tetap memanfaatkan peluang domestik serta memperluas hubungan internasionalnya guna mencapai posisi yang lebih kuat. Dengan demikian, pihak-pihak lain tidak akan memiliki pilihan selain mencabut sanksi dalam kerangka perundingan dengan negara-negara yang masih tergabung dalam kesepakatan nuklir, atau yang dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), yang ditinggalkan AS pada 2018.

Lebih lanjut, Qalibaf menilai bahwa pendekatan yang diterapkan Presiden AS terhadap berbagai negara hanya menunjukkan bahwa ajakan negosiasi tidak lebih dari strategi untuk melemahkan Iran. Pernyataan serupa juga disampaikan Ayatollah Khamenei pada Sabtu (8/3), yang menyatakan bahwa ajakan negosiasi dari pihak “penindas” hanyalah upaya untuk memaksakan kehendak mereka terhadap Iran. Pada hari yang sama, Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Aragchi, juga menegaskan bahwa hingga saat ini Iran belum menerima surat apa pun dari AS.