Jurnalis Palestina Alaa Hashim Meninggal Akibat Serangan Israel, Menambah Jumlah Korban di Gaza

Forum Jurnalis Palestina mengonfirmasi kematian Alaa Hashim pada Jumat, 14 Maret 2025, akibat luka-luka yang ia terima dari serangan Israel di Kota Gaza, Palestina. Serangan ini merupakan bagian dari kampanye genosida yang terus dilakukan oleh Israel terhadap Palestina, terutama di Jalur Gaza. Kepergian Hashim menambah daftar panjang jurnalis Palestina yang menjadi korban, yang kini berjumlah 206 orang sejak serangan besar-besaran dimulai pada 7 Oktober 2023. Forum Jurnalis Palestina turut berduka cita atas kehilangan ini dan mengecam keras ketidakpedulian dunia internasional terhadap keselamatan jurnalis Palestina. Mereka juga menuntut agar para jurnalis dapat menjalankan tugas mereka secara bebas dan aman, sesuai dengan hukum internasional dan konvensi kemanusiaan.

Meskipun gencatan senjata sempat diberlakukan pada Januari 2025, yang menghentikan serangan besar-besaran Israel, pelanggaran terhadap perjanjian tersebut dilaporkan terjadi hampir setiap hari. Sejak awal serangan, lebih dari 48.500 warga Palestina, termasuk perempuan dan anak-anak, telah terbunuh, dengan ribuan lainnya terluka. Sebagian besar korban tewas ditemukan di bawah reruntuhan bangunan. Mahkamah Pidana Internasional juga telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap sejumlah pejabat tinggi Israel, termasuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, terkait dengan tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Sampai saat ini, jumlah korban yang tewas di Gaza terus bertambah, dengan ribuan orang Palestina dilaporkan hilang.

Hamas Sambut Sikap Trump yang Tolak Pemindahan Paksa Warga Gaza

Kelompok perlawanan Palestina, Hamas, menyambut baik pernyataan Presiden AS Donald Trump yang menolak rencana pemindahan massal warga Palestina dari Jalur Gaza, wilayah yang telah luluh lantak akibat perang. Pada Rabu, 12 Maret, Trump menegaskan bahwa dirinya tidak akan mendukung pengusiran warga Palestina dari Gaza. Pernyataan tersebut disampaikannya dalam konferensi pers usai bertemu dengan Perdana Menteri Irlandia, Micheal Martin. Menanggapi pernyataan itu, juru bicara Hamas, Hazem Qassem, menyatakan bahwa jika benar Trump menolak segala bentuk relokasi paksa bagi warga Gaza, maka sikap tersebut patut diapresiasi. Hamas juga menyerukan agar posisi ini diperkuat dengan menekan Israel untuk mematuhi ketentuan perjanjian gencatan senjata yang telah disepakati.

Qassem juga mendesak Trump agar tidak berpihak pada kepentingan kelompok Zionis sayap kanan ekstrem yang ingin mengusir warga Palestina dari tanah mereka. Pernyataan Trump muncul setelah pejabat keuangan Israel, Bezalel Smotrich, mengumumkan rencana pembentukan Otoritas Emigrasi di bawah otoritas pertahanan Israel guna mengatur pemindahan paksa warga Palestina dari Gaza. Sementara itu, negara-negara Arab telah menyetujui rencana rekonstruksi Gaza dalam pertemuan Organisasi Kerja Sama Islam pada awal Maret. Proyek pembangunan kembali ini diperkirakan memakan waktu lima tahun dengan total anggaran mencapai 53 miliar dolar AS.

Sebelumnya, Trump pernah mengusulkan untuk mengambil alih Gaza dan merelokasi penduduknya ke tempat lain dengan tujuan menjadikan wilayah tersebut sebagai destinasi wisata. Namun, gagasan itu ditolak oleh negara-negara Arab serta komunitas internasional karena dinilai sebagai bentuk pembersihan etnis. Hingga kini, lebih dari 48.500 warga Palestina telah menjadi korban serangan Israel sejak Oktober 2023. Sementara itu, Mahkamah Pidana Internasional telah mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, serta mantan pejabat pertahanan, Yoav Gallant, atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Israel juga tengah menghadapi gugatan kasus genosida di Mahkamah Internasional akibat agresinya di wilayah Palestina.

AS Lakukan Dialog Rahasia dengan Hamas, Apa yang Dibahas?

Pemerintah Amerika Serikat secara resmi mengakui tengah menjalin komunikasi langsung dengan kelompok perlawanan Palestina, Hamas. Juru bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, menegaskan bahwa dialog tersebut dilakukan demi kepentingan AS dan tetap berkoordinasi dengan Israel. Kendati demikian, ia menolak membeberkan rincian pembicaraan, termasuk apakah diskusi tersebut mencakup usulan Presiden Donald Trump terkait kemungkinan AS mengambil alih Jalur Gaza atau hanya membahas upaya pembebasan sandera Israel.

Laporan dari Axios mengungkapkan bahwa dalam beberapa pekan terakhir, pembicaraan rahasia berlangsung di Qatar dengan Adam Boehler, utusan presiden AS untuk urusan sandera, sebagai pemimpin delegasi AS. Leavitt pun mengonfirmasi kebenaran laporan tersebut. Sementara itu, kesepakatan gencatan senjata tahap pertama yang diberlakukan sejak 19 Januari kini tidak lagi berlaku setelah Israel menolak negosiasi tahap kedua dan justru meminta perpanjangan tahap pertama. Di sisi lain, Hamas menuntut agar kesepakatan baru mencakup penarikan penuh pasukan Israel dari Jalur Gaza serta penghentian agresi militer.

Ketegangan ini semakin meningkat setelah Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada November lalu mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, serta mantan Menteri Pertahanan, Yoav Gallant. Keduanya didakwa atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan terkait serangan di Gaza. Selain itu, Israel juga menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) akibat serangannya yang menimbulkan korban sipil dalam jumlah besar di wilayah tersebut.

Hamas Peringatkan Trump: Hanya Gencatan Senjata yang Bisa Kembalikan Sandera Israel

Pejabat senior Hamas, Sami Abu Zuhri, memperingatkan Presiden AS Donald Trump bahwa satu-satunya cara untuk membebaskan para sandera Israel adalah dengan menghormati perjanjian gencatan senjata antara Israel dan Hamas. Dalam pernyataannya kepada Reuters pada Selasa (11/2/2025), Zuhri menegaskan bahwa kedua belah pihak harus menaati kesepakatan yang telah dibuat. “Trump harus mengingat bahwa ada perjanjian yang harus dihormati oleh kedua pihak, dan ini adalah satu-satunya cara untuk membebaskan para sandera. Ancaman tidak akan menyelesaikan masalah, justru semakin memperumit keadaan,” katanya.

Sebelumnya, Trump menyatakan pada Senin bahwa ia mempertimbangkan untuk membatalkan gencatan senjata dan membiarkan situasi semakin memburuk jika semua sandera Israel yang ditahan Hamas tidak dibebaskan sebelum Sabtu mendatang. Hamas sendiri telah menunda pembebasan sandera hingga ada pemberitahuan lebih lanjut, dengan alasan Israel melanggar perjanjian gencatan senjata karena masih melanjutkan serangan di Jalur Gaza.

Selain itu, Trump juga menimbulkan kemarahan dunia Arab setelah mengusulkan agar Amerika Serikat mengambil alih Gaza, memindahkan lebih dari dua juta penduduknya, dan mengubah kawasan tersebut menjadi “Riviera di Timur Tengah.” Rencana kontroversial ini menjadi salah satu agenda dalam pertemuan antara Trump dan Raja Yordania, Abdullah, pada Selasa waktu AS. Pertemuan tersebut diperkirakan berlangsung tegang karena Trump juga mengancam akan memotong bantuan ke Yordania jika negara itu menolak menerima warga Palestina yang dipindahkan dari Gaza.

Pemindahan paksa penduduk di bawah pendudukan militer merupakan pelanggaran hukum internasional dan dikategorikan sebagai kejahatan perang berdasarkan Konvensi Jenewa 1949. Perang di Gaza, yang dipicu serangan Hamas ke wilayah Israel pada 7 Oktober 2023, telah dihentikan sejak pertengahan Januari melalui perjanjian gencatan senjata yang dimediasi oleh Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat.

Israel Diduga Terlibat dalam Pelarian Mantan Tentara dari Penyelidikan Kejahatan Perang di Brasil

Berita terbaru mengungkapkan bahwa seorang mantan tentara Israel berhasil melarikan diri dari Brasil di tengah penyelidikan terkait tuduhan kejahatan perang. Tentara tersebut, Yuval Vagdani, diduga terlibat dalam perusakan rumah warga sipil selama konflik di Gaza, yang membuatnya menjadi sorotan internasional.

Penyelidikan terhadap Vagdani dimulai setelah Hind Rajab Foundation (HRF), sebuah organisasi yang mendukung Palestina, mengajukan laporan yang mencakup lebih dari 500 halaman bukti, termasuk video dan data geolokasi yang menunjukkan keterlibatan Vagdani dalam serangan terhadap warga sipil selama operasi militer Israel di Gaza. HRF menilai bahwa ini merupakan bagian dari upaya sistematis untuk merusak kawasan sipil di Gaza.

Meskipun telah dikeluarkan perintah penangkapan, Vagdani berhasil melarikan diri dari Brasil dan kembali ke Israel. Media Israel melaporkan bahwa keluarganya menyebutkan dia tidak ditangkap sebelum melarikan diri. Namun, HRF berpendapat bahwa Israel mungkin telah memfasilitasi pelarian ini untuk menghindari proses hukum yang semestinya. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang komitmen Israel terhadap keadilan internasional.

HRF mengkritik pelarian ini sebagai bentuk penghinaan terhadap kedaulatan Brasil dan hukum yang berlaku. Mereka menekankan pentingnya melindungi sistem peradilan dan mendesak pemerintah Brasil untuk bertindak tegas demi memastikan keadilan. Kritik ini juga mencerminkan kekhawatiran bahwa pelarian seperti ini dapat mengancam penegakan hukum di tingkat internasional.

Francesca Albanese, pelapor khusus PBB mengenai hak asasi manusia di Palestina, menyatakan bahwa tindakan hukum terhadap individu yang diduga melakukan kejahatan perang sangatlah penting. Ia mengingatkan bahwa keadilan harus tetap berjalan meskipun ada upaya pelarian atau campur tangan politik. Ini mencerminkan seruan global yang semakin kuat untuk akuntabilitas dalam kasus kejahatan perang.

Dengan pelarian Yuval Vagdani dan dugaan keterlibatan Israel dalam kejadian ini, tahun 2025 diperkirakan akan menjadi tahun yang penuh tantangan bagi sistem hukum internasional. Semua pihak diharapkan untuk merenungkan pentingnya akuntabilitas dalam kasus kejahatan perang dan dampak dari tindakan seperti ini terhadap kepercayaan global terhadap sistem peradilan. Keberhasilan dalam menangani kasus ini akan berpengaruh besar terhadap masa depan hubungan internasional dan penegakan hak asasi manusia.