Langkah Diam-Diam Mesir dan Israel: Misi Gencatan Senjata di Tengah Krisis Gaza

Kepala Intelijen Mesir, Hassan Rashad, melakukan pertemuan penting dengan delegasi Israel yang dipimpin oleh Menteri Urusan Strategis Ron Dermer di Kairo, dalam upaya meredakan konflik berkepanjangan di Jalur Gaza. Pertemuan ini dilaporkan berlangsung setelah delegasi Hamas meninggalkan ibu kota Mesir pada Sabtu lalu. Diskusi antara Mesir dan Israel difokuskan pada gencatan senjata, yang menjadi bagian dari negosiasi tidak langsung dengan kelompok perlawanan Palestina tersebut.

Brigadir Jenderal Tarek Al-Akari, pakar urusan strategis Mesir, menilai bahwa dialog ini menunjukkan meningkatnya keseriusan Mesir dalam menghentikan agresi yang terus berlangsung di Gaza. Ia menggambarkan pembicaraan tersebut sebagai upaya yang serius, walau belum ada informasi detail yang diungkap ke publik. Di sisi lain, Hamas mengonfirmasi bahwa kunjungan mereka ke Kairo telah berakhir pada 26 April setelah melewati serangkaian diskusi panjang bersama pejabat Mesir.

Pada akhir 2023, Hamas sempat menyetujui inisiatif Mesir untuk membentuk “Komite Dukungan Masyarakat” guna mengelola wilayah Gaza. Namun, juru bicara Hamas, Hazem Qassem, menegaskan bahwa pihaknya tidak berniat terlibat dalam pengaturan administratif apapun di sana. Hingga kini, baik otoritas Mesir maupun Israel belum mengeluarkan pernyataan resmi mengenai hasil pertemuan terbaru ini.

Sementara itu, situasi di Gaza terus memburuk. Israel kembali menggempur wilayah tersebut sejak 18 Maret lalu, menggagalkan kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan yang sempat dicapai pada Januari. Sejak serangan dimulai pada Oktober 2023, lebih dari 52.300 warga Palestina, mayoritas perempuan dan anak-anak, telah menjadi korban jiwa akibat serangan brutal Israel.

Prancis Tegaskan Penolakan terhadap Aneksasi Gaza dan Tepi Barat

Menteri Urusan Eropa dan Luar Negeri Prancis, Jean-Noel Barrot, menegaskan bahwa Prancis menolak segala bentuk aneksasi yang dilakukan Israel terhadap Jalur Gaza dan Tepi Barat. Dalam konferensi pers di Dijon, Prancis timur, pada Jumat (21/3), Barrot menyatakan bahwa sikap negaranya sangat jelas dalam melihat masa depan kawasan tersebut. Menurutnya, solusi terbaik adalah menciptakan perdamaian melalui keberadaan dua negara yang hidup berdampingan dengan saling mengakui serta menjamin keamanan satu sama lain. Ia menegaskan bahwa pendekatan ini adalah satu-satunya cara untuk mencapai stabilitas jangka panjang.

Pada hari yang sama, Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, mengeluarkan peringatan bahwa Israel akan mencaplok bagian dari Gaza jika Hamas tidak membebaskan sandera yang masih mereka tahan. Ancaman tersebut muncul di tengah meningkatnya ketegangan di wilayah tersebut, terutama setelah Israel kembali melancarkan serangan udara di Gaza pada Selasa (18/3), menyusul berakhirnya gencatan senjata dengan Hamas yang dimulai pada 19 Januari. Serangan ini kemudian diikuti oleh operasi darat yang dilakukan pasukan Israel di wilayah Gaza selatan, utara, dan tengah.

Menurut laporan kantor media di Gaza yang dikelola oleh Hamas, jumlah korban tewas akibat serangan terbaru Israel telah mendekati angka 600 orang, sementara lebih dari 1.000 orang lainnya mengalami luka-luka. Konflik yang terus berlanjut ini semakin memperburuk situasi kemanusiaan di wilayah tersebut, mendorong komunitas internasional untuk kembali mendesak adanya solusi diplomatik guna mengakhiri eskalasi kekerasan.

AS Lakukan Dialog Rahasia dengan Hamas, Apa yang Dibahas?

Pemerintah Amerika Serikat secara resmi mengakui tengah menjalin komunikasi langsung dengan kelompok perlawanan Palestina, Hamas. Juru bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, menegaskan bahwa dialog tersebut dilakukan demi kepentingan AS dan tetap berkoordinasi dengan Israel. Kendati demikian, ia menolak membeberkan rincian pembicaraan, termasuk apakah diskusi tersebut mencakup usulan Presiden Donald Trump terkait kemungkinan AS mengambil alih Jalur Gaza atau hanya membahas upaya pembebasan sandera Israel.

Laporan dari Axios mengungkapkan bahwa dalam beberapa pekan terakhir, pembicaraan rahasia berlangsung di Qatar dengan Adam Boehler, utusan presiden AS untuk urusan sandera, sebagai pemimpin delegasi AS. Leavitt pun mengonfirmasi kebenaran laporan tersebut. Sementara itu, kesepakatan gencatan senjata tahap pertama yang diberlakukan sejak 19 Januari kini tidak lagi berlaku setelah Israel menolak negosiasi tahap kedua dan justru meminta perpanjangan tahap pertama. Di sisi lain, Hamas menuntut agar kesepakatan baru mencakup penarikan penuh pasukan Israel dari Jalur Gaza serta penghentian agresi militer.

Ketegangan ini semakin meningkat setelah Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada November lalu mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, serta mantan Menteri Pertahanan, Yoav Gallant. Keduanya didakwa atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan terkait serangan di Gaza. Selain itu, Israel juga menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) akibat serangannya yang menimbulkan korban sipil dalam jumlah besar di wilayah tersebut.

Seruan 100 Dokter Israel untuk Hentikan Rumah Sakit Gaza

Yerusalem – Sebanyak 100 dokter Israel baru-baru ini menandatangani petisi yang mendesak Angkatan Pertahanan Israel (IDF) untuk menyerang rumah sakit di Gaza, yang dituduh sebagai tempat persembunyian Hamas. Petisi ini telah menimbulkan kontroversi luas dan memicu reaksi keras dari komunitas medis internasional.

Menurut laporan Jordan Times, ratusan tenaga medis dari Kompleks Asosiasi Profesional di Amman melakukan protes di kantor PBB untuk menanggapi petisi tersebut. Para pengunjuk rasa menyuarakan kekhawatiran mereka mengenai tingginya jumlah tenaga medis yang tewas dalam konflik ini, serta kondisi tragis yang dihadapi oleh warga Gaza. Demonstrasi ini menyoroti krisis kemanusiaan yang mendalam dan menuntut tindakan konkret dari masyarakat internasional.

Dalam aksi tersebut, para demonstran membawa poster-poster dengan tulisan seperti “Berhenti Menembak Sekarang”, “Rumah Sakit Bukan Target”, dan “Berhenti Genosida”. Mereka juga memprotes kekurangan akses ke bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan dan mendesak pembukaan perbatasan Rafah secara permanen untuk memudahkan distribusi bantuan medis dan kemanusiaan ke Gaza.

Kementerian Kesehatan Gaza mengutuk keras serangan Israel terhadap konvoi ambulans yang mengangkut pasien dari rumah sakit Al Shifa di Gaza menuju perbatasan Rafah. Serangan tersebut dianggap sebagai tindakan yang merugikan dan memperburuk kondisi kemanusiaan yang sudah kritis di wilayah tersebut.

Selama beberapa hari terakhir, serangan udara Israel dilaporkan telah menyebabkan kematian sekitar 150 tenaga medis dan menghancurkan 27 ambulans yang sangat penting untuk evakuasi dan perawatan pasien. Selain itu, Kementerian Kesehatan Gaza menyatakan bahwa akibat dari serangan ini, 16 rumah sakit dan 24 pusat perawatan primer di Gaza terpaksa ditutup dan tidak lagi beroperasi. Penutupan fasilitas medis ini semakin memperparah situasi kesehatan di Gaza, di mana banyak warga sipil yang membutuhkan perawatan mendesak.

Media Israel baru-baru ini melaporkan bahwa seratus dokter Israel telah menandatangani surat terbuka yang mendukung pengeboman rumah sakit Gaza. Dokter-dokter ini mengklaim bahwa fasilitas-fasilitas tersebut digunakan oleh Hamas sebagai tempat persembunyian. Surat ini menimbulkan kemarahan di kalangan komunitas medis internasional. Salah satu dokter Israel yang menentang petisi tersebut mengutuk tindakan rekan-rekannya melalui video, menyebut tindakan mereka sebagai pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip etika medis.

Dokter tersebut mempertanyakan integritas dan komitmen para penandatangan surat dalam membantu orang-orang yang membutuhkan, serta mendesak organisasi kesehatan global untuk meminta pertanggungjawaban mereka. Ia juga menyoroti pentingnya mempertahankan standar etika dalam profesi medis, terutama dalam situasi konflik.

Maha Fakhoury, Anggota Dewan Asosiasi Medis Yordania (JMA), menegaskan bahwa krisis kemanusiaan di Gaza sangat mendalam, terutama karena kekurangan pasokan medis yang memengaruhi ibu hamil dan anak-anak. Banyak pasien tidak mendapatkan perawatan yang memadai, dan beberapa operasi dilakukan tanpa anestesi, menunjukkan betapa buruknya kondisi di lapangan.

JMA juga menyerukan kepada dokter di Yordania untuk memboikot perusahaan farmasi yang mendukung Israel dan telah menyerahkan memorandum kepada kantor PBB di Yordania. Memorandum ini merinci kejahatan yang dilakukan Israel terhadap warga sipil Gaza dan menyerukan agar Israel bertanggung jawab atas tindakan tersebut di hadapan Pengadilan Kriminal Internasional. Dengan langkah-langkah ini, JMA berharap dapat meningkatkan perhatian internasional terhadap krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung di Gaza.