Netanyahu Janji Ambil Tindakan Tegas atas Aksi Hamas

BAITULMAQDIS: Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menuduh Hamas sebagai pihak yang membunuh dua anak Israel di Gaza dan berikrar akan menuntut balasan jika ibu korban, Shiri Bibas, turut dirugikan.

Juru bicara militer Israel, Daniel Hagari, mengungkapkan bahwa hasil analisis forensik mengindikasikan kedua anak Bibas dibunuh oleh pasukan Palestina.

Namun, Hamas menyatakan bahwa ketiga korban – ibu dan dua anak – tewas akibat serangan udara Israel yang terjadi pada awal konflik.

Keluarga Bibas juga menyalahkan Netanyahu atas tragedi ini dan menegaskan bahwa mereka tidak akan memaafkan karena dibiarkannya keluarga tersebut menderita.

Meski terdapat ketegangan pasca-penyerahan jenazah, pertukaran tebusan antara Israel dan Hamas diperkirakan akan berlangsung hari ini sesuai dengan perjanjian gencatan senjata yang masih berlaku.

Sebelumnya, Hamas mengklaim bahwa dari empat jenazah yang dikembalikan, termasuk jenazah Shiri Bibas beserta dua anaknya – Ariel (4 tahun) dan Kfir (9 tahun) – merupakan tebusan termuda dalam konflik ini.

Namun, semalam Israel mengonfirmasi bahwa jenazah yang dikembalikan bukan milik Shiri Bibas, sementara Netanyahu menuduh Hamas telah menempatkan jenazah seorang wanita Gaza di dalam peti mati.

Hamas mengakui kemungkinan adanya kekeliruan dalam proses tersebut, yang mereka kaitkan dengan serangan udara Israel di wilayah itu.

Netanyahu berjanji untuk memastikan bahwa Hamas akan mendapatkan balasan atas pelanggaran brutal terhadap perjanjian tersebut.

Sebagai respons, Hamas menegaskan komitmennya terhadap perjanjian gencatan senjata dan membantah adanya niat untuk menyembunyikan jenazah siapa pun. Mereka juga mendesak Israel mengembalikan jenazah wanita Gaza yang diserahkan secara keliru.

Menteri Luar Negeri Inggris, David Lammy, mendesak agar jenazah Shiri Bibas segera dikembalikan dan mengutuk pembunuhan terhadap anak-anaknya sebagai tindakan “kejam dan menjijikkan.”
“Semua tebusan harus dibebaskan. Mimpi buruk ini harus segera diakhiri,” ujarnya.

Sementara itu, musisi berusia 72 tahun, David Shemer, mengungkapkan harapannya agar Israel tidak membalas dengan aksi kekerasan yang lebih besar.
“Ada seruan untuk menghancurkan Gaza secara menyeluruh. Menurut saya, tindakan tersebut tidak hanya tidak adil, tetapi juga tidak bermoral. Meskipun dendam adalah naluri manusia, itu tidak pernah membawa kebaikan,” tambahnya.

Dalam kerangka perjanjian gencatan senjata yang dimulai pada 19 Januari dan diperkirakan akan berakhir pada awal Maret, Hamas sebelumnya telah menyerahkan jenazah wartawan veteran dan aktivis hak asasi Palestina, Oded Lifshitz, yang saat penahanan berusia 83 tahun.

Hingga kini, perjanjian tersebut telah menghasilkan pembebasan 19 tebusan Israel sebagai imbalan atas lebih dari 1.100 tahanan Palestina.

Hamas juga mengonfirmasi bahwa hari ini akan ada enam warga Israel tambahan yang dibebaskan sebagai bagian dari pertukaran tebusan ketujuh.
Di antara mereka adalah Eliya Cohen, Tal Shoham, Omer Shem Tov, Omer Wenkert, serta dua tahanan lama – Hisham al-Sayed dan Avera Mengistu – yang telah ditahan di Gaza selama hampir sepuluh tahun.

Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Saar, menyatakan bahwa negosiasi untuk membahas fase kedua gencatan senjata akan dimulai minggu ini, dengan harapan dapat menemukan solusi jangka panjang bagi konflik ini.

Namun, Hamas menuduh Netanyahu sengaja menghambat pelaksanaan perjanjian tersebut.

Di sisi lain, situasi di Tebing Barat terus menunjukkan peningkatan tingkat kekerasan.

Tentara Israel Tuntut Henti Perang di Gaza: Suara Penolakan dari Barisan Depan

Beberapa tentara Israel telah menyatakan penolakan terhadap perintah untuk melanjutkan pertempuran di Gaza, dengan menyebutkan bahwa mereka diminta untuk menghancurkan rumah-rumah milik warga Palestina. Dalam sebuah wawancara dengan Associated Press, tujuh tentara tersebut menjelaskan bagaimana tindakan mereka berkontribusi pada jatuhnya korban sipil yang tak bersalah dan menimbulkan dampak psikologis yang mendalam bagi mereka. Mereka menyatakan bahwa perintah tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang mereka junjung sebagai anggota militer.

Penolakan ini muncul di tengah meningkatnya ketegangan perang, di mana serangan udara dari Israel terus menyebabkan banyak korban di pihak Palestina. Dalam serangan terbaru, lebih dari 40 warga Palestina dilaporkan tewas akibat serangan yang dilakukan pada 14 dan 15 Januari 2025. Para tentara ini merasa bahwa melanjutkan perang hanya akan memperburuk keadaan dan memperpanjang penderitaan warga sipil.

Sementara itu, usaha untuk mencapai gencatan senjata terus berlanjut. Beberapa sumber melaporkan bahwa negosiasi antara Israel dan Hamas mengenai kesepakatan gencatan senjata sudah memasuki tahap akhir. Namun, ketegangan tetap tinggi, dengan banyak warga Israel yang menentang kesepakatan gencatan senjata tanpa adanya kemenangan militer yang jelas atas Hamas. Demonstrasi besar-besaran juga terjadi di Yerusalem, di mana para pengunjuk rasa menuntut agar pemerintah Israel tidak menyerah kepada Hamas.

Dalam situasi ini, suara tentara yang menolak untuk melanjutkan perang dapat menjadi titik balik yang signifikan dalam perkembangan konflik ini. Mereka mencerminkan pandangan yang semakin banyak diungkapkan oleh tentara dan warga Israel yang menginginkan solusi damai, bukan lanjutan kekerasan. Dengan kondisi yang semakin genting, harapan untuk perdamaian di Gaza mungkin akan bergantung pada keberanian individu-individu ini untuk berbicara dan mendorong perubahan.