Mantan Presiden AS, Donald Trump, kembali membuat pernyataan kontroversial dengan mengusulkan agar Amerika Serikat mengambil alih Jalur Gaza setelah perang berkepanjangan antara Israel dan Hamas. Ia mengusulkan agar seluruh penduduk Gaza direlokasi sementara, dengan rencana mengubah wilayah itu menjadi pusat ekonomi yang berkembang pesat, menyerupai Riviera di Timur Tengah.
Menurut laporan The New York Times pada Rabu (5/2/2025), Timur Tengah merupakan wilayah yang sangat penting bagi jaringan bisnis keluarga Trump, termasuk di Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Israel. Faktor ini menimbulkan spekulasi mengenai kepentingan ekonomi di balik usulan tersebut.
Trump, yang berlatar belakang sebagai pengembang properti, membandingkan proyek relokasi warga Palestina dengan pembangunan real estat di New York. Ia berpendapat bahwa jika Gaza dikuasai dan dikembangkan secara ekonomi, maka lapangan pekerjaan akan tercipta, membawa perubahan signifikan bagi kawasan tersebut.
Namun, pernyataan Trump menuai kritik tajam dari berbagai pihak. Mesir, Rusia, China, serta sekutu-sekutu AS di Eropa mengecam rencana itu, menganggapnya berpotensi memicu konflik lebih luas dan melanggar hukum internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa serta organisasi hak asasi manusia bahkan memperingatkan bahwa usulan ini bisa dikategorikan sebagai pembersihan etnis.
Di tengah kritik yang mengemuka, tim Trump berusaha mengklarifikasi pernyataannya. Sekretaris pers Gedung Putih, Karoline Leavitt, menegaskan bahwa presiden tidak berniat melancarkan operasi militer di Gaza dan relokasi yang disebutkan bersifat sementara, bukan permanen.
Meski begitu, kontroversi mengenai jaringan bisnis keluarga Trump di Timur Tengah tetap menjadi sorotan, dengan pertanyaan yang muncul mengenai kepentingan di balik usulan dramatis ini.