Mantan Pejabat MA Terima Rp 1 Miliar untuk Suap Hakim Kasasi di Kasus Ronald Tannur

Abdul Qohar, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, mengungkapkan bahwa Zarof Ricar (ZR), mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), diduga terlibat dalam persiapan pemberian suap senilai Rp 5 miliar. Suap tersebut dimaksudkan untuk para hakim agung yang menangani kasus kasasi Gregorius Ronald Tannur, putra seorang anggota DPR yang terjerat kasus penganiayaan hingga mengakibatkan kematian korban.

Dana suap Rp 5 miliar itu dikabarkan berasal dari Lisa Rahmat, kuasa hukum Ronald Tannur. Menurut keterangan, Lisa menawarkan imbalan tersebut kepada para hakim yang menangani perkara kasasi, sementara ZR yang kini telah purnatugas, direncanakan menerima bagian sebesar Rp 1 miliar.

“Berdasarkan catatan yang diberikan LR (Lisa Rahmat) kepada ZR, disebutkan bahwa dana Rp 5 miliar tersebut dialokasikan untuk hakim agung berinisial S, A, dan S yang mengurus perkara Ronald Tannur,” ujar Abdul dalam konferensi pers pada Jumat malam, 25 Oktober 2024.

Meskipun begitu, Abdul mengonfirmasi bahwa hingga saat ini, uang tersebut belum sampai ke tangan hakim agung. Ia menegaskan bahwa penyelidikan lebih lanjut masih terus dilakukan untuk memastikan kebenaran informasi terkait pertemuan ZR dengan seorang hakim.

“LR berkomunikasi langsung dengan ZR terkait rencana ini. ZR memang mengaku pernah bertemu dengan seorang hakim, tetapi kami masih mendalami apakah pertemuan tersebut benar terjadi atau tidak,” tambah Abdul.

ZR dan LR kini resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan suap yang bertujuan mempengaruhi putusan kasasi agar bebas bagi Gregorius Ronald Tannur. Mereka diduga terlibat dalam tindakan korupsi melalui persekongkolan untuk melancarkan proses suap.

Abdul menjelaskan bahwa LR meminta bantuan ZR untuk melobi hakim agung agar memutuskan Ronald tidak bersalah di tingkat kasasi. LR disebutkan menjanjikan Rp 5 miliar untuk para hakim, sementara ZR akan menerima Rp 1 miliar sebagai imbalan.

Dengan bukti awal yang cukup, Kejaksaan Agung telah menetapkan ZR sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana korupsi. ZR dikenakan Pasal 5 ayat (1) juncto Pasal 15, juncto Pasal 18 dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 mengenai Pemberantasan Tindak pidana korupsi, merujuk pada Pasal 12B jo. Pasal 18 dari undang-undang tersebut.

Di sisi lain, LR, yang kini telah ditahan terkait kasus suap terhadap tiga hakim di Pengadilan Negeri Surabaya yang sebelumnya memvonis bebas Ronald, juga dijerat dengan pasal serupa.

Korupsi di Balik Smart City: Eks Sekda Bandung Terjerat Kasus Gratifikasi Rp 1 Miliar

JAKARTA – Mantan Sekretaris Daerah Kota Bandung, Ema Sumarna (ES), resmi ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis (26/9/2024) terkait dugaan korupsi dalam proyek pengadaan CCTV dan Internet Service Provider (ISP) untuk program Bandung Smart Kota. Penahanan ini menandai langkah besar KPK dalam anggota melakukan praktik gratifikasi di pemerintahan.

Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, mengungkapkan Ema Sumarna menerima gratifikasi senilai Rp 1 miliar. “Uang ini terkait dengan proyek-proyek yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bandung untuk tahun anggaran 2020 hingga 2023,” jelas Asep dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.

Selain Ema, KPK juga menahan tiga anggota DPRD Kota Bandung: Achmad Nugraha (AH), Ferry Cahyadi (FCR), dan Riantono (RI). Mereka diduga terlibat dalam praktik korupsi yang sama, dengan total gratifikasi yang diterima mencapai Rp 1 miliar. “Mereka menerima pekerjaan dari Dinas Perhubungan dan dinas lain di lingkungan Kota Bandung,” tambah Asep.

Para tersangka ditahan selama 20 hari pertama mulai tanggal 26 September 2024 hingga 15 Oktober 2024 di Rutan KPK. Kasus ini merupakan pengembangan dari operasi tangkap tangan (OTT) yang melibatkan mantan Wali Kota Bandung, Yana Mulyana, pada tahun lalu.

Asep menjelaskan bahwa awal mula kasus ini bermula pada tahun 2022, ketika ada pembahasan perubahan APBD Kota Bandung. “Terdapat kesepakatan untuk memberikan anggaran kepada Dinas Perhubungan terkait Program Bandung Smart City,” ujarnya. Ema Sumarna diduga menerima gratifikasi secara rutin dari Dinas Perhubungan dan sumber lain selama periode 2020 hingga 2024.

Dengan posisinya sebagai Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), Ema diduga membantu mempermudah penambahan anggaran di Dinas Perhubungan demi kepentingan anggota DPRD agar dapat mengerjakan proyek melalui penyedia anggaran.

KPK sebelumnya telah memanggil Ema Sumarna dan Wakil Ketua DPRD Kota Bandung, Achmad Nugraha, sebagai saksi dalam penyelidikan ini. Selain mereka, sejumlah anggota DPRD lainnya juga diperiksa, termasuk Riantono, Ferry Cahyadi, dan Yudi Cahyadi.

Kasus ini menjadi sorotan publik dan menekankan pentingnya transparansi serta akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran daerah, terutama dalam proyek-proyek yang bertujuan untuk modernisasi kota seperti Bandung Smart City.