Hamas Sambut Sikap Trump yang Tolak Pemindahan Paksa Warga Gaza

Kelompok perlawanan Palestina, Hamas, menyambut baik pernyataan Presiden AS Donald Trump yang menolak rencana pemindahan massal warga Palestina dari Jalur Gaza, wilayah yang telah luluh lantak akibat perang. Pada Rabu, 12 Maret, Trump menegaskan bahwa dirinya tidak akan mendukung pengusiran warga Palestina dari Gaza. Pernyataan tersebut disampaikannya dalam konferensi pers usai bertemu dengan Perdana Menteri Irlandia, Micheal Martin. Menanggapi pernyataan itu, juru bicara Hamas, Hazem Qassem, menyatakan bahwa jika benar Trump menolak segala bentuk relokasi paksa bagi warga Gaza, maka sikap tersebut patut diapresiasi. Hamas juga menyerukan agar posisi ini diperkuat dengan menekan Israel untuk mematuhi ketentuan perjanjian gencatan senjata yang telah disepakati.

Qassem juga mendesak Trump agar tidak berpihak pada kepentingan kelompok Zionis sayap kanan ekstrem yang ingin mengusir warga Palestina dari tanah mereka. Pernyataan Trump muncul setelah pejabat keuangan Israel, Bezalel Smotrich, mengumumkan rencana pembentukan Otoritas Emigrasi di bawah otoritas pertahanan Israel guna mengatur pemindahan paksa warga Palestina dari Gaza. Sementara itu, negara-negara Arab telah menyetujui rencana rekonstruksi Gaza dalam pertemuan Organisasi Kerja Sama Islam pada awal Maret. Proyek pembangunan kembali ini diperkirakan memakan waktu lima tahun dengan total anggaran mencapai 53 miliar dolar AS.

Sebelumnya, Trump pernah mengusulkan untuk mengambil alih Gaza dan merelokasi penduduknya ke tempat lain dengan tujuan menjadikan wilayah tersebut sebagai destinasi wisata. Namun, gagasan itu ditolak oleh negara-negara Arab serta komunitas internasional karena dinilai sebagai bentuk pembersihan etnis. Hingga kini, lebih dari 48.500 warga Palestina telah menjadi korban serangan Israel sejak Oktober 2023. Sementara itu, Mahkamah Pidana Internasional telah mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, serta mantan pejabat pertahanan, Yoav Gallant, atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Israel juga tengah menghadapi gugatan kasus genosida di Mahkamah Internasional akibat agresinya di wilayah Palestina.

Tentara Israel Tuntut Henti Perang di Gaza: Suara Penolakan dari Barisan Depan

Beberapa tentara Israel telah menyatakan penolakan terhadap perintah untuk melanjutkan pertempuran di Gaza, dengan menyebutkan bahwa mereka diminta untuk menghancurkan rumah-rumah milik warga Palestina. Dalam sebuah wawancara dengan Associated Press, tujuh tentara tersebut menjelaskan bagaimana tindakan mereka berkontribusi pada jatuhnya korban sipil yang tak bersalah dan menimbulkan dampak psikologis yang mendalam bagi mereka. Mereka menyatakan bahwa perintah tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang mereka junjung sebagai anggota militer.

Penolakan ini muncul di tengah meningkatnya ketegangan perang, di mana serangan udara dari Israel terus menyebabkan banyak korban di pihak Palestina. Dalam serangan terbaru, lebih dari 40 warga Palestina dilaporkan tewas akibat serangan yang dilakukan pada 14 dan 15 Januari 2025. Para tentara ini merasa bahwa melanjutkan perang hanya akan memperburuk keadaan dan memperpanjang penderitaan warga sipil.

Sementara itu, usaha untuk mencapai gencatan senjata terus berlanjut. Beberapa sumber melaporkan bahwa negosiasi antara Israel dan Hamas mengenai kesepakatan gencatan senjata sudah memasuki tahap akhir. Namun, ketegangan tetap tinggi, dengan banyak warga Israel yang menentang kesepakatan gencatan senjata tanpa adanya kemenangan militer yang jelas atas Hamas. Demonstrasi besar-besaran juga terjadi di Yerusalem, di mana para pengunjuk rasa menuntut agar pemerintah Israel tidak menyerah kepada Hamas.

Dalam situasi ini, suara tentara yang menolak untuk melanjutkan perang dapat menjadi titik balik yang signifikan dalam perkembangan konflik ini. Mereka mencerminkan pandangan yang semakin banyak diungkapkan oleh tentara dan warga Israel yang menginginkan solusi damai, bukan lanjutan kekerasan. Dengan kondisi yang semakin genting, harapan untuk perdamaian di Gaza mungkin akan bergantung pada keberanian individu-individu ini untuk berbicara dan mendorong perubahan.