Serangan Drone Besar-Besaran Rusia Hantam Infrastruktur Ukraina

Pasukan Rusia melancarkan serangan udara besar-besaran dengan 117 drone ke berbagai wilayah Ukraina dalam satu malam, menyebabkan kerusakan serius pada infrastruktur sipil. Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, menyatakan bahwa sebagian besar drone yang digunakan adalah Shahed, pesawat nirawak buatan Iran. Ia menegaskan bahwa serangan ini menjadi bukti nyata bagaimana Rusia terus memperpanjang konflik tanpa menunjukkan tanda-tanda keinginan untuk berdamai. Serangan ini kembali menambah daftar panjang aksi militer Rusia yang menargetkan berbagai kota di Ukraina, menciptakan situasi yang semakin genting bagi warga sipil.

Meskipun angkatan udara Ukraina berhasil mencegat sebagian besar drone yang menyerang, dampak serangan tetap terasa di berbagai wilayah. Kota-kota seperti Dnipro, Sumy, Cherkasy, Donetsk, Kharkiv, dan Zaporizhzhia menjadi target utama. Di Kryvyi Rih, serangan drone menghancurkan sejumlah fasilitas bisnis serta pemukiman warga, sementara di Okhtyrka, wilayah Sumy, beberapa rumah dan pertokoan hancur akibat serangan langsung. Laporan dari otoritas setempat menyebutkan bahwa jumlah korban luka akibat serangan ini terus bertambah, meskipun angka pasti masih dalam proses pendataan.

Zelenskyy kembali mendesak komunitas internasional untuk mengambil langkah konkret dalam menghadapi agresi Rusia. Ia menekankan bahwa tekanan politik dan sanksi tambahan dari Amerika Serikat serta negara-negara sekutu sangat dibutuhkan untuk menghentikan serangan ini. Selain itu, ia juga menyoroti bahwa aksi militer terbaru Rusia semakin membuktikan ketidakseriusan mereka dalam mencari solusi damai, meskipun ada usulan gencatan senjata yang didukung oleh AS pada 11 Maret. Menurutnya, hampir setiap malam, Rusia terus menolak upaya perdamaian dengan melancarkan serangan yang semakin intensif terhadap Ukraina. Sementara itu, Ukraina tetap bersiap untuk mempertahankan wilayahnya dan terus meminta dukungan dari sekutu internasional guna memperkuat pertahanan di tengah ancaman yang terus berlanjut.

Pasukan Rusia Kuasai Lima Permukiman Strategis di Kursk dalam Sehari

Pasukan Rusia kembali mencatat kemajuan dalam operasinya di wilayah Kursk dengan merebut lima permukiman strategis dalam waktu sehari. Kementerian Pertahanan Rusia mengumumkan pada Rabu (12/3) bahwa pasukan dari kelompok utara berhasil mengambil alih kendali atas Kazachya Loknya, 1-y Knyazhiy, 2-y Knyazhiy, Zamoste, dan Mirnyi. Keberhasilan ini semakin memperkuat posisi militer Rusia di sepanjang perbatasan yang terus menjadi ajang pertempuran sengit antara kedua negara.

Dalam laporan yang sama, Kementerian Pertahanan Rusia juga menyebut bahwa lebih dari 260 tentara Ukraina tewas dalam pertempuran di wilayah Kursk dalam kurun waktu 24 jam terakhir. Operasi ini merupakan bagian dari strategi ofensif Rusia untuk memperketat penguasaan atas wilayah yang sebelumnya diperebutkan dengan pasukan Ukraina.

Selain itu, laporan dari kantor berita TASS menyebutkan bahwa pasukan Rusia kini telah menguasai distrik-distrik utama di Kota Sudzha, salah satu pusat populasi terbesar di wilayah Kursk yang menjadi titik konflik utama. Keberhasilan ini memberikan keuntungan strategis bagi Rusia dalam menghadapi perlawanan Ukraina di daerah perbatasan.

Seiring dengan meningkatnya intensitas pertempuran, situasi di wilayah Kursk terus mengalami eskalasi. Kendali atas lima permukiman tersebut semakin menguatkan posisi Rusia dalam konflik yang masih berlanjut. Dengan kedua belah pihak terus meningkatkan operasi militernya, ketegangan di kawasan tersebut diperkirakan akan terus meningkat dalam waktu dekat.

G7 Bahas Ukraina, China, dan Stabilitas Global di Kanada

Para menteri luar negeri dari kelompok G7 berkumpul di La Malbaie, Quebec, Kanada, pada Rabu, 12 Maret, untuk membahas isu-isu global yang mendesak, termasuk konflik Ukraina dan dinamika kekuatan China di Indo-Pasifik. Pertemuan ini melibatkan diplomat dari Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, serta Uni Eropa. Pembicaraan resmi dijadwalkan dimulai pada Kamis, hanya beberapa hari setelah Washington sepakat untuk melanjutkan bantuan militer dan intelijen kepada Ukraina. Kesepakatan ini membawa harapan baru bagi proses perdamaian yang sebelumnya mengalami kebuntuan akibat ketegangan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.

Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, yang baru saja kembali dari Arab Saudi, mengungkapkan bahwa pejabat senior Ukraina telah menyatakan kesiapan mereka untuk menerima usulan gencatan senjata selama 30 hari. Namun, kesepakatan ini masih memerlukan persetujuan dari Rusia, dengan Trump menekankan bahwa keputusan akhir ada di tangan Kremlin. Rusia kini diharapkan memberikan respons positif terhadap upaya penghentian konflik yang telah berlangsung sejak Februari 2022. Sementara itu, pertemuan G7 akan membahas berbagai isu strategis lainnya, termasuk keamanan maritim, stabilitas di Timur Tengah, serta peran kelompok ini dalam menjaga tatanan internasional.

Sebelum berangkat ke Kanada, Menteri Luar Negeri Jepang, Takeshi Iwaya, menekankan pentingnya menjaga kesatuan dan kerja sama G7 di tengah perubahan geopolitik yang dinamis. Jepang, sebagai satu-satunya anggota G7 dari Asia, juga berkomitmen untuk membawa perspektif Indo-Pasifik dalam pembahasan. Pada hari terakhir pertemuan, para menteri akan bertukar pandangan mengenai tantangan dari negara-negara seperti China, Iran, dan Korea Utara, serta membahas kerja sama untuk perdamaian di Afrika. Mereka berencana mengeluarkan pernyataan bersama yang menegaskan dukungan terhadap upaya perdamaian di Ukraina dan komitmen mereka terhadap kawasan Indo-Pasifik yang stabil dan bebas dari intervensi sepihak.

Jenderal Inggris Desak Eropa Beri Jaminan Keamanan Bagi Ukraina Jika AS Enggan Bertindak

Mantan Kepala Angkatan Darat Inggris, Jenderal Nick Carter, menyoroti pentingnya peran negara-negara Eropa dalam memberikan jaminan keamanan bagi Ukraina, terutama jika Amerika Serikat (AS) tidak bersedia melakukannya. Menurutnya, menjaga kedaulatan Ukraina merupakan kunci utama untuk mencapai perdamaian yang adil, sehingga Eropa perlu memiliki pendekatan yang jelas terhadap agresi Rusia. Carter juga menyebut Inggris berpotensi memimpin upaya ini, seiring pertemuan mendatang antara Perdana Menteri Keir Starmer dan Presiden AS Donald Trump yang dijadwalkan berlangsung pekan depan.

Sebelumnya, langkah AS untuk mengakhiri konflik di Ukraina telah memicu ketegangan antara Trump dan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, serta menimbulkan diskusi hangat di kalangan pemimpin Eropa. Pemerintahan Trump baru-baru ini mengumumkan rencana membuka negosiasi langsung dengan Rusia untuk mencapai kesepakatan damai, sejalan dengan kebijakan AS yang ingin mengurangi keterlibatannya dalam keamanan Eropa.

Meski begitu, pernyataan Trump yang kontroversial terkait Ukraina dan Zelensky menimbulkan kekhawatiran akan arah negosiasi tersebut. Pada Kamis (20/2/2025) malam, Zelensky menegaskan bahwa Ukraina membutuhkan jaminan keamanan yang tegas dan dapat diandalkan.

Jenderal Carter, yang menjabat sebagai Kepala Staf Pertahanan Inggris pada 2018–2021, menekankan bahwa Ukraina harus mendefinisikan sendiri arti dari solusi damai yang adil. “Namun, Inggris dan negara-negara Eropa lainnya harus memperjelas sikap mereka mengenai batas minimum yang bisa diterima,” ujarnya dalam program BBC One Question Time yang membahas perang Ukraina. “Pada intinya, kedaulatan Ukraina di masa depan harus dijamin. Jika AS tidak bersedia memenuhinya, maka negara lain harus mengambil peran tersebut,” tambahnya.

Sementara itu, Perdana Menteri Keir Starmer sebelumnya menyatakan bahwa jaminan keamanan dari AS merupakan faktor kunci untuk mencegah agresi Rusia. Namun, ia juga menegaskan bahwa Inggris siap mengirim pasukan penjaga perdamaian jika diperlukan.

Di sisi lain, Trump menyatakan awal pekan ini bahwa ia tidak keberatan jika negara-negara Eropa mengirim pasukan penjaga perdamaian, tetapi menegaskan bahwa AS tidak perlu terlibat langsung. Washington sendiri telah mendorong negara-negara Eropa untuk memikul tanggung jawab lebih besar dalam menjaga pertahanan kawasan mereka.

NATO Tegaskan Dukungan Militer untuk Ukraina di Tengah Rencana Negosiasi Perdamaian

Sekretaris Jenderal NATO, Mark Rutte, kembali menegaskan pentingnya memperkuat posisi Ukraina sebelum proses negosiasi damai dimulai. Dalam konferensi pers di Brussels pada Kamis (13/2), bersama Menteri Pertahanan Ukraina Rustem Umerov, Rutte menyatakan bahwa hasil perundingan harus bersifat “langgeng dan berkelanjutan.”

“Kami harus memastikan Ukraina berada dalam posisi sebaik mungkin saat pembicaraan dimulai, serta memastikan bahwa ketika negosiasi berakhir, hasilnya dapat bertahan lama,” ujarnya. Ia juga menegaskan bahwa NATO akan terus memberikan dukungan militer kepada Ukraina.

Selain itu, Rutte mengungkapkan bahwa NATO dan Ukraina akan membentuk “struktur bersama” yang mulai beroperasi pekan depan di Polandia. Struktur ini bertujuan untuk mengoordinasikan strategi dan mengumpulkan wawasan dari konflik yang sedang berlangsung di Ukraina.

Di sisi lain, Umerov menegaskan bahwa negaranya tidak akan menyerah dalam mempertahankan kedaulatan.

“Kami kuat, kami mampu, kami siap, dan kami akan memberikan hasil,” tegasnya, sembari menyampaikan apresiasi kepada negara-negara anggota NATO atas dukungan mereka. Ia menekankan bahwa fokus utama Ukraina saat ini adalah mendapatkan “bantuan keamanan” dari mitra-mitra internasional.

“Amerika Serikat terus bersama kami, memberikan bantuan keamanan, sementara NATO mengambil alih pelatihan dan dukungan keamanan kami… Kami berterima kasih kepada NATO dan kepemimpinannya,” tambahnya.

Sementara itu, Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa dirinya telah berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dan sepakat untuk segera memulai perundingan guna mengakhiri perang yang telah berlangsung selama tiga tahun di Ukraina. Trump juga mengadakan pembicaraan dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.

Namun, Menteri Pertahanan AS, Pete Hegseth, menyatakan bahwa mengembalikan perbatasan Ukraina seperti sebelum tahun 2014—ketika Rusia mencaplok Krimea—bukanlah opsi yang realistis. Ia juga menegaskan bahwa keanggotaan Ukraina di NATO tidak menjadi bagian dari solusi yang tengah dipertimbangkan oleh Washington.

Pernyataan ini memicu reaksi dari para pemimpin Eropa, yang menekankan bahwa Ukraina dan Eropa harus dilibatkan dalam setiap pembahasan perdamaian.

Trump Dorong Sekutu Eropa untuk Beli Lebih Banyak Senjata AS demi Perkuat Ukraina Hadapi Rusia

Pemerintahan Presiden Donald Trump berencana untuk mendesak sekutunya di Eropa agar membeli lebih banyak senjata dari Amerika untuk mendukung Ukraina, seiring dengan kemungkinan dimulainya perundingan damai dengan Rusia. Langkah ini bertujuan untuk memperkuat posisi Ukraina dalam proses negosiasi, dengan harapan bahwa persenjataan tambahan akan memberikan mereka posisi tawar yang lebih baik dalam kesepakatan dengan Moskwa.

Kepastian rencana ini sangat penting bagi pemimpin Ukraina yang khawatir bahwa pemerintahan Trump mungkin akan menghentikan bantuan militer lebih lanjut ke negara mereka. Pasalnya, pasukan Ukraina terus mengalami kemunduran di wilayah timur akibat serangan besar-besaran dari Rusia.

Selama pemerintahan Joe Biden, negara-negara Eropa membeli senjata dari AS untuk Ukraina, namun dengan rencana baru ini, pejabat AS, termasuk utusan Trump untuk Ukraina, Letnan Jenderal Purnawirawan Keith Kellogg, akan memulai pembicaraan dengan sekutu Eropa di Munich Security Conference minggu ini. Menurut sumber Reuters, tujuan rencana ini adalah untuk melanjutkan aliran senjata ke Kyiv tanpa mengeluarkan dana tambahan dari pemerintah AS.

Dalam wawancara dengan Reuters, Kellogg enggan mengonfirmasi rincian rencana tersebut, tetapi mengungkapkan bahwa “AS selalu senang menjual senjata buatan Amerika karena itu juga memperkuat perekonomian kami.” Namun, ia menegaskan bahwa pengiriman senjata yang sudah disetujui oleh mantan Presiden Joe Biden masih terus berlangsung.

Selain itu, pejabat AS menekankan bahwa pemerintahan Trump ingin agar Eropa lebih banyak berkontribusi dalam pendanaan perang Ukraina. Mike Waltz, penasihat keamanan nasional AS, menyatakan bahwa Eropa harus mengambil peran lebih besar dalam menyelesaikan konflik ini di masa depan.

Paus Fransiskus Serukan Penghentian Segera Perang Ukraina

Pada pidato Natalnya yang disampaikan pada 25 Desember 2024, Paus Fransiskus menegaskan pentingnya segera menghentikan perang di Ukraina. Ia menekankan bahwa perdamaian dapat tercapai melalui negosiasi dan dialog, yang menjadi jalan utama untuk mengakhiri konflik. Pidato tersebut disampaikan di hadapan ribuan umat Katolik yang berkumpul di Lapangan Santo Petrus, Vatikan, dalam rangka merayakan hari raya Natal.

Paus Fransiskus menyampaikan keprihatinannya atas penderitaan yang dialami oleh masyarakat Ukraina sebagai akibat dari perang yang berkepanjangan. Ia berdoa agar semua pihak yang terlibat dalam konflik ini mau membuka diri untuk berdialog, demi mencapai kesepakatan damai. Harapannya adalah agar situasi yang penuh ketegangan ini segera berakhir dan memberikan kestabilan bagi kawasan tersebut.

Tak hanya menyerukan penghentian konflik di Ukraina, Paus juga mengajak perhatian dunia internasional pada perang lainnya yang tengah berlangsung, seperti di Gaza dan berbagai wilayah lain. Ia menegaskan bahwa perdamaian merupakan tanggung jawab bersama, yang memerlukan komitmen dari semua negara dan pihak terkait. Paus berharap agar gencatan senjata dapat menjadi langkah awal dalam membuka ruang untuk dialog dan rekonsiliasi.

Seruan Paus Fransiskus ini mendapat respon positif dari banyak pihak, termasuk para pemimpin dunia dan organisasi kemanusiaan. Banyak yang berharap bahwa pesan ini dapat mendorong tindakan konkret untuk mengakhiri kekerasan dan memulai proses perdamaian. Umat Katolik di seluruh dunia merasa terinspirasi oleh pesan tersebut, yang menggambarkan komitmen Gereja Katolik dalam mendukung perdamaian global.

Dengan demikian, seruan Paus Fransiskus bukan hanya sekadar harapan, melainkan juga ajakan untuk bertindak dalam mengakhiri konflik yang telah menimbulkan penderitaan bagi banyak orang.

Rusia: Perang Ukraina Akan Terus Berlanjut Sampai Sasaran Putin Terwujud

Moskow – Pemerintah Rusia kembali menegaskan niatnya untuk melanjutkan operasi militer di Ukraina, dengan penekanan bahwa konflik ini akan terus berlangsung hingga tujuan yang ditetapkan oleh Presiden Vladimir Putin tercapai. Dalam sebuah pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri Rusia, pihak berwenang menegaskan bahwa tindakan militer ini merupakan bagian dari upaya untuk melindungi kepentingan keamanan Rusia serta menjaga kestabilan wilayah tersebut.

Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menyatakan bahwa meskipun banyak negara di dunia mendesak Rusia untuk menghentikan konflik dan mencari jalan damai, Rusia akan terus melanjutkan aksi militernya hingga mencapai “tujuan strategis” yang telah ditetapkan. yang ditetapkan Putin tercapai. Peskov juga menambahkan bahwa tujuan utama Rusia adalah untuk memastikan Ukraina tidak bergabung dengan NATO dan untuk melindungi kawasan yang dianggap penting untuk “keamanan jangka panjang” negara tersebut.

Pernyataan ini dikeluarkan setelah serangkaian pertemuan internasional yang mencoba mencari jalan keluar damai. Namun, upaya-upaya tersebut tidak membuahkan hasil yang berarti, dengan Rusia tetap menuntut agar Ukraina menerima status netral dan menghindari hubungan dengan negara-negara Barat.

Sementara itu, pertempuran dan serangan terus berlanjut di kawasan timur Ukraina, dengan pasukan Rusia semakin menguasai wilayah-wilayah straKeamanan Internasionaltegis tertentu. Negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa, terus mengecam agresi Rusia dan memberlakukan serangkaian sanksi ekonomi. Meskipun demikian, dampak sanksi terhadap kebijakan Rusia sejauh ini belum menunjukkan perubahan signifikan.

Pemerintah Ukraina, di sisi lain, tetap teguh mempertahankan kedaulatan wilayahnya dan menegaskan bahwa mereka tidak akan pernah menerima pembagian atau berkompromi terkait integritas teritorial negara mereka.