Rencana untuk memberikan perguruan tinggi kewenangan dalam mengelola sektor pertambangan mulai mencuri perhatian publik. Usulan ini diajukan oleh Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) dan telah muncul sejak era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Ketua Umum APTISI Indonesia, Budi Djatmiko, mengungkapkan bahwa mereka telah mengusulkan ide ini kepada Presiden Jokowi pada tahun 2016, namun tidak mendapatkan respons. Usulan serupa juga diajukan kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto pada 2018, meskipun belum ada tindak lanjut yang signifikan.
Awal pekan ini, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) menjadi usul inisiatif DPR. Salah satu perubahan signifikan dalam revisi ini adalah pengaturan mengenai pemberian wilayah izin usaha pertambangan kepada perguruan tinggi.
Usulan ini memicu berbagai reaksi, baik dukungan maupun kekhawatiran. Wakil Ketua Baleg DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, menjelaskan bahwa revisi UU Minerba ini didorong oleh dua faktor utama. Pertama, adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Minerba yang memerlukan penyesuaian. Putusan MK yang mengabulkan sebagian pengujian materiil mengharuskan adanya perubahan agar UU Minerba sesuai dengan ketentuan hukum yang lebih baru.
Di sisi lain, Forum Rektor Indonesia menyambut baik wacana ini. Wakil Ketua Forum Rektor Indonesia, Didin Muhafidin, menilai bahwa melibatkan perguruan tinggi dalam pengelolaan tambang bisa menjadi langkah positif, asalkan perguruan tinggi tersebut telah memiliki status badan hukum dan unit usaha mandiri. Perguruan tinggi besar seperti ITB dan UGM, menurutnya, sudah cukup berpengalaman dalam mengelola proyek-proyek besar, termasuk di sektor pertambangan. Didin berharap, dengan melibatkan perguruan tinggi dalam pengelolaan tambang, pendapatan lembaga bisa meningkat, yang pada gilirannya dapat meringankan beban mahasiswa, seperti mengurangi kenaikan SPP dan biaya operasional lainnya.
Namun, tidak semua pihak setuju dengan ide ini. Rektor Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Gregorius Sri Nurhartanto, menilai usulan ini membingungkan. Ia mengungkapkan kekhawatirannya mengenai siapa yang akan diberikan kewenangan untuk mengelola tambang, mengingat ada banyak perguruan tinggi di Indonesia. “Dengan jumlah perguruan tinggi yang sangat banyak, bagaimana mekanisme penunjukannya? Ini perlu dipikirkan secara matang,” ujar Nurhartanto.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh pengamat kebijakan pendidikan, Cecep Darmawan. Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia ini menilai bahwa ide memberikan kewenangan kepada perguruan tinggi untuk mengelola tambang adalah langkah yang keliru. Menurutnya, fokus utama perguruan tinggi harusnya pada Tri Dharma (pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat), bukan pada bisnis pertambangan. Ia menyarankan agar sektor tambang tetap dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau perusahaan swasta profesional.
Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR RI, Muhammad Sarmuji, memandang ini sebagai kesempatan untuk menguji ilmu yang diajarkan di perguruan tinggi dalam praktik nyata. Ia berharap perguruan tinggi dapat berperan sebagai role model dalam pengelolaan usaha pertambangan yang lebih baik dan profesional.
Usulan ini masih dalam tahap pembahasan dalam revisi UU Minerba, dan dampaknya terhadap sektor pertambangan serta pendidikan di Indonesia masih menjadi bahan diskusi. Seiring dengan pro dan kontra yang muncul, keputusan akhir mengenai peran perguruan tinggi dalam pengelolaan tambang akan sangat menentukan arah kebijakan masa depan di kedua sektor ini.