Kemlu RI Bantah Isu Pemindahan Warga Gaza ke Indonesia

Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI menegaskan bahwa tidak ada perjanjian atau pembicaraan dengan pihak mana pun, termasuk Israel, terkait pemindahan warga Gaza ke Indonesia. Juru Bicara Kemlu, Rolliansyah Soemirat, menyatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak pernah membahas atau menerima informasi mengenai wacana tersebut, sebagaimana yang dilaporkan oleh sejumlah media asing. Pernyataan ini muncul sebagai respons atas kabar yang menyebutkan bahwa sekitar 100 warga Gaza akan datang ke Indonesia untuk bekerja di sektor konstruksi sebagai bagian dari program migrasi sukarela yang diawasi oleh COGAT, badan militer Israel yang menangani kebijakan sipil dan kemanusiaan di Palestina.

Menurut laporan tersebut, jika proyek percontohan ini berhasil, maka tanggung jawab pengelolaannya akan dialihkan ke otoritas migrasi Israel. Disebutkan pula bahwa tujuan utama program ini adalah mendorong migrasi jangka panjang warga Gaza ke Indonesia melalui kerja sama dengan pihak berwenang di Tanah Air. Namun, Kemlu RI dengan tegas membantah adanya keterlibatan Indonesia dalam skema tersebut dan memastikan bahwa Indonesia tetap berpegang pada kebijakan luar negeri yang mendukung perjuangan rakyat Palestina.

Indonesia saat ini lebih fokus pada upaya mendorong gencatan senjata tahap kedua, memastikan distribusi bantuan kemanusiaan ke Gaza, serta mendukung rekonstruksi wilayah yang terdampak perang. Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa sikapnya terhadap isu Palestina tetap konsisten, yakni mendukung kemerdekaan Palestina dan menolak segala bentuk normalisasi dengan Israel.

Dukungan Eropa untuk Rekonstruksi Gaza, Israel dan AS Menolak

Menteri luar negeri dari Prancis, Jerman, Italia, dan Inggris pada Sabtu (8/3) menyatakan dukungan mereka terhadap inisiatif negara-negara Arab untuk membangun kembali Jalur Gaza yang hancur akibat serangan Israel. Rencana rekonstruksi yang diprakarsai oleh Mesir dan disetujui oleh para pemimpin Arab pada Selasa sebelumnya diperkirakan akan menelan biaya sebesar 53 miliar dolar AS atau sekitar Rp865 triliun. Langkah ini bertujuan untuk mencegah pengusiran warga Palestina dari wilayah tersebut.

Dalam pernyataan bersama, para menteri luar negeri Eropa menilai bahwa rencana tersebut menawarkan solusi realistis yang dapat mempercepat proses pemulihan Gaza dengan cara yang berkelanjutan. Namun, rencana ini mendapat penolakan dari Israel dan Presiden AS, Donald Trump, yang sebelumnya justru mengusulkan pemindahan warga Palestina dari Gaza, suatu gagasan yang memicu kecaman luas dari berbagai pihak.

Rencana rekonstruksi tersebut mencakup pembentukan sebuah komite administratif yang akan diawaki oleh teknokrat Palestina yang bersifat independen dan profesional. Komite ini akan bertanggung jawab untuk mengawasi distribusi bantuan kemanusiaan serta menangani berbagai urusan di Gaza di bawah pengawasan Otoritas Palestina (PA).

Dukungan dari negara-negara Eropa diharapkan dapat memperkuat posisi negara-negara Arab dalam mewujudkan rencana tersebut. Sementara itu, ketegangan politik semakin meningkat akibat penolakan Israel dan AS terhadap upaya ini, yang menandakan perbedaan sikap yang tajam dalam menangani krisis kemanusiaan di Gaza.

Palestina Desak Negara Islam Bersatu untuk Rekonstruksi Gaza

Perdana Menteri sekaligus Menteri Luar Negeri Palestina, Mohammed Mustafa, mendesak negara-negara Arab dan Islam untuk mengadopsi rencana rekonstruksi Gaza yang telah disusun bersama Mesir. Seruan ini disampaikannya dalam pertemuan luar biasa Dewan Menteri Luar Negeri Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Arab Saudi, yang membahas perkembangan terkini di Palestina.

Mustafa mengungkapkan bahwa Pemerintah Palestina, dengan dukungan organisasi internasional, akan membentuk otoritas independen yang bertanggung jawab atas rekonstruksi Gaza. Lembaga ini akan memiliki otonomi keuangan dan administratif serta dikelola oleh dewan ahli yang bekerja sesuai dengan standar internasional tertinggi dalam transparansi dan akuntabilitas.

Menurutnya, keberhasilan rencana ini bergantung pada beberapa faktor utama, seperti penghentian agresi Israel, pemulangan pengungsi, penarikan pasukan Israel, serta pembukaan kembali perbatasan untuk memungkinkan masuknya bahan bangunan dan peralatan yang diperlukan. Selain itu, kepastian dukungan keuangan dari komunitas internasional juga menjadi faktor krusial dalam realisasi proyek tersebut.

Mustafa menekankan bahwa inisiatif ini tidak hanya akan memulihkan kehidupan di Gaza, tetapi juga menjadi langkah awal dalam perjuangan Palestina untuk mengakhiri penindasan Israel dan mencapai kemerdekaan penuh. Ia juga menyoroti pentingnya solidaritas Islam sebagai kekuatan utama dalam menghadapi kebijakan agresif Israel dan menjaga stabilitas kawasan.

Dalam kesempatan tersebut, Mustafa menyoroti peningkatan tindakan represif terhadap rakyat Palestina di Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem. Ia menegaskan bahwa tekanan internasional terhadap Israel harus terus ditingkatkan, baik dalam aspek politik, diplomasi, hukum, maupun ekonomi, hingga Palestina mendapatkan haknya secara penuh, termasuk kedaulatan dengan Yerusalem sebagai ibu kota.

Mustafa juga menggarisbawahi bahwa dalam KTT Liga Arab di Kairo, negara-negara anggota menegaskan kembali komitmen terhadap solusi dua negara dan Inisiatif Perdamaian Arab 2002, yang menolak pendudukan serta mendorong pembentukan negara Palestina yang berdaulat. Ia menekankan perlunya aksi bersama untuk mengakhiri perang yang tidak adil di Gaza serta menghentikan ancaman pengungsian yang terus membayangi rakyat Palestina.

Hamas Tegaskan Tak Akan Ikut Kelola Gaza Pascaperang Tanpa Konsensus Nasional

Kelompok Palestina, Hamas, menegaskan bahwa mereka tidak akan ambil bagian dalam pengelolaan administrasi Jalur Gaza pascaperang kecuali jika ada kesepakatan nasional. Pernyataan ini disampaikan oleh juru bicara Hamas, Hazem Qassem, pada Selasa (4/3), menegaskan bahwa semua pengaturan untuk masa depan Gaza harus berdasarkan konsensus internal tanpa campur tangan pihak eksternal. Menurutnya, Hamas tidak tertarik untuk terlibat dalam struktur administratif Gaza setelah agresi Israel, namun akan memfasilitasi setiap kesepakatan yang dicapai bersama.

Qassem juga menekankan pentingnya pengaturan ini dilakukan demi rekonstruksi Gaza yang nyata dan berkelanjutan untuk menyelamatkan warga dari kehancuran akibat perang. Hamas, katanya, tidak akan menjadi penghalang dalam proses ini selama konsensus nasional tetap dijunjung tinggi. Pada Desember lalu, Hamas menerima proposal dari Mesir yang mengusulkan pembentukan komite komunitas untuk mengelola Gaza pascaperang, menunjukkan kesiapan mereka untuk mendukung solusi berbasis dialog internal.

Sementara itu, Mesir dijadwalkan menjadi tuan rumah KTT darurat negara-negara Arab untuk membahas sikap bersama terkait Palestina dan menanggapi rencana Amerika Serikat yang diduga ingin merelokasi penduduk Gaza. Presiden AS Donald Trump sebelumnya menyarankan pemindahan warga Gaza demi pengembangan wilayah tersebut sebagai destinasi wisata, tetapi rencana ini mendapat kecaman luas dari dunia Arab dan komunitas internasional yang menyebutnya sebagai upaya pembersihan etnis.

Sejak Oktober 2023, perang antara Israel dan Hamas telah menewaskan hampir 48.400 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak, serta melukai lebih dari 111.000 orang lainnya. Meskipun gencatan senjata sempat diberlakukan pada Januari 2025, Israel kembali menghentikan masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza setelah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menolak melanjutkan negosiasi tahap kedua perjanjian tersebut.

PBB: Gaza Butuh Bantuan Miliaran Dolar untuk Bangkit dari Puing Perang

Berikut adalah versi yang telah diubah agar tidak plagiat:


Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa wilayah Gaza membutuhkan dana miliaran dolar untuk membangun kembali infrastruktur yang hancur akibat perang panjang antara Israel dan Hamas. Pernyataan tersebut disampaikan setelah gencatan senjata mulai berlaku pada 19 Januari 2025, mengakhiri konflik selama 15 bulan yang menyebabkan kerusakan besar-besaran di kawasan itu.

Perang yang berlangsung sejak 7 Oktober 2023 telah menelan korban jiwa lebih dari 46.000 orang dan menghancurkan infrastruktur penting di Gaza. Data PBB mengungkapkan bahwa lebih dari dua per tiga bangunan yang ada sebelum perang, yang jumlahnya lebih dari 170.000, mengalami kerusakan atau hancur total. Infrastruktur yang terdampak meliputi perumahan, fasilitas kesehatan, institusi pendidikan, serta kebutuhan dasar lainnya. Hal ini menggambarkan dampak perang yang tidak hanya bersifat material tetapi juga memengaruhi kondisi sosial dan ekonomi penduduk Gaza.

PBB memperkirakan proses pembersihan puing akibat serangan udara dapat memakan waktu hingga 21 tahun, dengan biaya mencapai $1,2 miliar (sekitar Rp 19,5 triliun). Puing-puing tersebut diperkirakan mengandung material berbahaya seperti asbes dan sisa-sisa jasad manusia, yang memperumit upaya rekonstruksi. Situasi ini menyoroti tantangan besar di lapangan dan mendesaknya bantuan kemanusiaan.

Saat ini, lebih dari 1,8 juta penduduk Gaza membutuhkan tempat tinggal sementara. Selain itu, kerusakan pada lahan pertanian juga signifikan, dengan lebih dari separuh lahan pertanian tidak dapat digunakan, mengancam ketahanan pangan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa upaya pemulihan harus mencakup pemulihan infrastruktur sekaligus aspek kehidupan warga.

PBB mengimbau masyarakat internasional untuk mendukung rekonstruksi Gaza. Berbagai negara dan organisasi global diharapkan dapat memberikan bantuan finansial maupun teknis guna mempercepat proses pemulihan. Solidaritas global menjadi kunci dalam mengatasi krisis kemanusiaan ini.

Rekonstruksi Gaza menjadi kebutuhan mendesak, dan semua pihak berharap komunitas internasional bersatu untuk memberikan bantuan yang diperlukan. Dengan bantuan yang cepat dan efektif, masyarakat Gaza diharapkan mampu bangkit kembali dan membangun kehidupan setelah trauma perang. Keberhasilan rekonstruksi ini akan menjadi tolok ukur penting bagi stabilitas dan perdamaian di wilayah tersebut.