Rusia Diprediksi Bisa Serang Lagi Ukraina dengan Rudal Baru

Intelijen AS Prediksi Serangan Rudal Hipersonik Rusia ke Ukraina

Laporan terbaru dari intelijen Amerika Serikat menyebutkan bahwa Rusia kemungkinan akan meluncurkan rudal balistik hipersonik eksperimental dalam beberapa hari mendatang. Namun, Washington menilai bahwa langkah tersebut tidak akan menjadi faktor penentu dalam perang yang telah berlangsung hampir tiga tahun. Informasi ini disampaikan oleh seorang pejabat AS pada Rabu (11/12).

Rusia pertama kali meluncurkan rudal hipersonik Oreshnik ke kota Dnipro, Ukraina, pada 21 November. Langkah tersebut disebut oleh Presiden Vladimir Putin sebagai respons terhadap penggunaan rudal jarak jauh oleh Ukraina, yang dipasok oleh AS dan Inggris, untuk menyerang wilayah Rusia dengan persetujuan Barat.

“Kami menilai bahwa Oreshnik bukanlah senjata penentu di medan perang. Ini hanya upaya lain oleh Rusia untuk menebar teror di Ukraina, dan upaya itu akan gagal,” kata pejabat AS tersebut kepada media. Hingga kini, belum ada tanggapan resmi dari pihak Rusia.

Putin sebelumnya mengisyaratkan bahwa Rusia dapat kembali menggunakan rudal Oreshnik untuk menyerang “pusat pengambilan keputusan” di Kyiv jika Ukraina terus melancarkan serangan dengan senjata jarak jauh Barat.

Pada Rabu pagi, Kementerian Pertahanan Rusia melaporkan bahwa Ukraina telah menyerang lapangan udara militer di kota Taganrog, Rusia selatan, menggunakan enam rudal ATACMS jarak jauh yang dipasok AS. Rusia mengklaim semua rudal tersebut berhasil dicegat, meskipun serpihan rudal yang jatuh menyebabkan beberapa orang terluka.

Putin mengklaim bahwa rudal Oreshnik tidak dapat dicegat dan memiliki daya destruktif yang mendekati senjata nuklir meskipun hanya dilengkapi dengan hulu ledak konvensional. Setelah serangan Ukraina terhadap fasilitas militer Rusia, Putin tampil di televisi nasional untuk memamerkan rudal hipersonik baru tersebut dan memperingatkan Barat bahwa Rusia dapat menargetkan negara anggota NATO jika Kyiv terus menggunakan rudal jarak jauh mereka untuk menyerang wilayah Rusia.

Namun, pejabat AS meremehkan efektivitas rudal Oreshnik. Menurutnya, senjata tersebut masih bersifat eksperimental dan Rusia hanya memiliki jumlah yang sangat terbatas. Selain itu, rudal ini memiliki daya ledak yang lebih kecil dibandingkan dengan jenis rudal lain yang sudah dikerahkan oleh Rusia di Ukraina.

Amerika Serikat telah mengumumkan rencana untuk mengirim lebih banyak sistem pertahanan udara ke Ukraina guna menghadapi ancaman rudal dari Rusia. Langkah ini diambil meskipun perang semakin memanas, hanya enam minggu sebelum Donald Trump dijadwalkan kembali menjadi Presiden AS.

Trump telah menyatakan skeptis terhadap kelanjutan dukungan AS untuk Ukraina. Ia mengklaim bahwa dirinya akan mengakhiri perang dalam waktu singkat setelah menjabat, meskipun belum memberikan rincian tentang bagaimana ia akan melakukannya. Pernyataan Trump yang enggan mendukung kemenangan Ukraina menimbulkan tanda tanya besar mengenai komitmen militer AS ke depan.

Di tengah situasi ini, Trump bertemu dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dan Presiden Prancis Emmanuel Macron di Paris pada akhir pekan lalu. Dalam pidato malamnya pada Selasa, Zelenskyy mengungkapkan bahwa operasi penyelamatan sedang berlangsung di kota Zaporizhzhia setelah serangan rudal Rusia yang menewaskan tiga orang dan melukai 18 lainnya.

Zelenskyy juga menekankan bahwa Ukraina kekurangan sistem pertahanan udara yang memadai untuk melindungi negara dari serangan rudal Rusia. “Mitra-mitra kami memiliki sistem ini. Kami terus mengingatkan bahwa sistem pertahanan udara harus digunakan untuk menyelamatkan nyawa, bukan dibiarkan menganggur di gudang penyimpanan,” tegas Zelenskyy.

Negara Rusia Tegaskan Perang Ukraina Berlanjut Sampai Tujuan Vladimir Putin Tercapai

Moskow – Pemerintah Rusia kembali menegaskan komitmennya dalam melanjutkan perang di Ukraina, dengan menekankan bahwa konflik ini tidak akan berhenti sampai tujuan Presiden Vladimir Putin tercapai. Dalam pernyataan resmi yang dirilis oleh Kementerian Luar Negeri Rusia, pihak berwenang menegaskan bahwa operasi militer di Ukraina adalah bagian dari upaya untuk melindungi kepentingan keamanan Rusia dan memastikan stabilitas wilayah tersebut.

Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menyatakan bahwa meskipun banyak negara internasional mendesak Rusia untuk menghentikan perang dan mencari solusi diplomatik, Rusia akan terus melanjutkan operasi militernya sampai “tujuan strategis” Putin tercapai. Peskov juga menegaskan bahwa tujuan utama Rusia adalah untuk memastikan bahwa Ukraina tidak bergabung dengan NATO dan untuk melindungi wilayah yang dianggap sebagai bagian dari “keamanan jangka panjang” negara tersebut.

Pernyataan ini muncul setelah adanya serangkaian pembicaraan internasional yang berupaya mencari penyelesaian damai. Namun, upaya tersebut gagal mencapai titik temu yang signifikan, dengan Rusia menuntut agar Ukraina menerima status yang lebih netral dan tidak memiliki hubungan dengan aliansi Barat.

Meski begitu, serangan dan pertempuran terus berlanjut di wilayah timur Ukraina, dengan pasukan Rusia semakin memperkuat cengkeramannya di beberapa wilayah strategis. Negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa, terus mengutuk agresi Rusia dan memberlakukan sanksi ekonomi, meskipun efeknya terhadap kebijakan Rusia sejauh ini tampak terbatas.

Pemerintah Ukraina, di sisi lain, tetap berkomitmen untuk mempertahankan kedaulatan wilayahnya dan menegaskan bahwa mereka tidak akan pernah menerima pembagian atau kompromi atas integritas teritorial negara mereka.

Amerika Umumkan Bantuan Militer Baru Hampir $1 Miliar untuk Ukraina

Paket tersebut mencakup pesawat nirawak (drone), amunisi untuk peluncur roket HIMARS presisi, dan peralatan serta suku cadang untuk sistem artileri, tank, dan kendaraan lapis baja.

Pada Sabtu (7/12), Amerika Serikat mengumumkan paket bantuan keamanan terbaru untuk Ukraina dengan total nilai $988 juta (sekitar Rp15,67 triliun). Paket ini diluncurkan menjelang pelantikan Presiden terpilih Donald Trump pada Januari 2025, di saat Amerika berusaha memberikan dukungan maksimal kepada Kyiv sebelum perubahan kepemimpinan terjadi.

Dengan kemenangan Trump pada pemilihan umum November lalu, nasib bantuan luar negeri Amerika kepada Ukraina di masa mendatang menjadi semakin tidak pasti. Mengingat waktu yang terbatas, Amerika berupaya mencairkan miliaran dolar dana bantuan yang sudah disahkan sebelum Trump resmi dilantik bulan depan.

Isi Paket Bantuan Keamanan AS untuk Ukraina

Paket bantuan yang diumumkan oleh Pentagon mencakup sejumlah peralatan militer canggih. Ini termasuk pesawat nirawak (drone), amunisi untuk peluncur roket HIMARS presisi, serta peralatan dan suku cadang untuk sistem artileri, tank, dan kendaraan lapis baja. Meskipun demikian, peralatan ini akan diperoleh melalui Prakarsa Bantuan Keamanan Ukraina, yang berarti perangkat militer tersebut diambil dari industri pertahanan atau mitra internasional, bukan dari persediaan militer Amerika. Sebagai akibatnya, peralatan tersebut tidak akan langsung tersedia di medan perang.

Pertemuan Trump dan Presiden Zelenskyy: Kekhawatiran Ukraina

Pada saat yang sama, pertemuan antara Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dan Donald Trump yang berlangsung di Paris pada Sabtu (7/12) menjadi sorotan penting. Dalam pertemuan tersebut, Zelenskyy menegaskan bahwa solusi untuk perang dengan Rusia haruslah “adil” dan mencakup “jaminan keamanan yang kuat untuk Ukraina.” Keprihatinan ini muncul karena ada ketakutan bahwa Trump mungkin akan mendorong Ukraina untuk membuat konsesi kepada Rusia dalam upaya mengakhiri konflik.

Bantuan Keamanan Sebelum Perubahan Kepemimpinan

Bantuan keamanan terbaru ini datang hanya beberapa hari setelah paket bantuan senilai $725 juta diumumkan pada Senin sebelumnya. Paket tersebut termasuk ranjau darat tahap kedua serta senjata anti-udara dan anti-tank yang sangat dibutuhkan di garis depan. Pemerintahan Presiden Joe Biden terus berusaha memberikan sebanyak mungkin dukungan kepada Ukraina sebelum masa jabatannya berakhir dan Trump mulai mengambil alih kepemimpinan.

Trump dan Kritik Terhadap Bantuan Ke Ukraina

Trump telah lama mengkritik kebijakan bantuan Amerika kepada Ukraina. Ia sering mengklaim bahwa dia dapat memfasilitasi gencatan senjata dalam waktu singkat jika terpilih kembali. Pernyataan ini memicu kekhawatiran di Kyiv dan Eropa mengenai kelanjutan dukungan militer dari Amerika Serikat. Tanpa bantuan lebih lanjut dari Washington, masa depan Ukraina dalam menghadapi invasi Rusia akan menjadi semakin sulit.

Tujuan Pemerintahan Biden: Menempatkan Ukraina dalam Posisi Kuat

Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat, Jake Sullivan, menyatakan pada Sabtu bahwa misi utama pemerintah Biden adalah memastikan bahwa Ukraina berada dalam posisi sekuat mungkin, baik di medan perang maupun di meja perundingan. Pada masa-masa terakhir pemerintahan Biden, tujuan utama adalah memberikan “bantuan besar-besaran” dan meningkatkan tekanan ekonomi terhadap Rusia untuk mempercepat penyelesaian konflik.

Negara Rusia Bersedia Akhiri Perang Dengan Ukraina, Ini 3 Syaratnya!

Setelah hampir tiga tahun terperangkap dalam konflik dengan Ukraina, Rusia akhirnya mengisyaratkan kesiapan untuk mengakhiri perang yang telah menelan banyak korban dan kerusakan. Namun, Presiden Vladimir Putin menyampaikan bahwa Rusia hanya akan bersedia menghentikan perangnya dengan Ukraina jika tiga syarat tertentu dipenuhi. Pernyataan ini muncul setelah tekanan internasional yang semakin meningkat untuk mencapai gencatan senjata dan perdamaian.

Syarat pertama yang diutarakan oleh Rusia adalah pengakuan internasional terhadap kemerdekaan atau integrasi wilayah Donetsk dan Luhansk sebagai bagian dari Rusia. Wilayah-wilayah ini, yang sebelumnya dikuasai oleh kelompok separatis pro-Rusia, telah dikuasai sepenuhnya oleh Rusia dalam beberapa tahun terakhir. Bagi Rusia, pengakuan ini menjadi simbol keberhasilan atas klaim mereka terhadap wilayah timur Ukraina.

Syarat kedua adalah pencabutan atau pengurangan sanksi ekonomi yang dikenakan oleh negara-negara Barat terhadap Rusia. Sanksi ini, yang mencakup sektor energi, finansial, dan perdagangan, telah memberikan dampak serius terhadap perekonomian Rusia. Putin mengungkapkan bahwa penghentian perang akan sangat tergantung pada apakah negara-negara Barat bersedia meredakan tekanan ekonomi ini sebagai imbalan.

Syarat ketiga adalah Ukraina yang tidak bergabung dengan NATO dan harus menerima status non-blok. Rusia selama ini menilai keanggotaan Ukraina di NATO sebagai ancaman langsung terhadap keamanan nasionalnya. Dalam usulannya, Putin menekankan bahwa Ukraina harus berjanji untuk tidak mengadopsi orientasi Barat dan tidak berpartisipasi dalam aliansi militer apa pun yang dianggap mengancam Rusia.

Meskipun pernyataan ini menunjukkan bahwa Rusia terbuka untuk pembicaraan damai, syarat-syarat yang diajukan sangat kontroversial dan sulit diterima oleh Ukraina serta sekutu-sekutunya. Ukraina menegaskan bahwa mereka tidak akan menyerah pada klaim teritorial Rusia, dan negara-negara Barat mendukung penuh kedaulatan Ukraina. Dengan demikian, meskipun ada peluang untuk gencatan senjata, tantangan besar tetap ada dalam mencapai perdamaian yang langgeng.

Eks Panglima Militer Ukraina Sebut Eropa Tak Siap Perang Melawan Rusia, Ini Penjelasannya!

Pada 25 November 2024, eks Panglima Militer Ukraina, Jenderal Valery Zaluzhny, membuat pernyataan kontroversial yang menarik perhatian internasional. Dalam wawancaranya, Muzhenko mengungkapkan bahwa Eropa saat ini tidak siap untuk menghadapi ancaman perang langsung dengan Rusia. Ia menilai banyak negara Eropa masih bergantung pada kebijakan diplomatik dan tidak memiliki kesiapan militer yang cukup untuk menanggapi potensi eskalasi konflik, terutama setelah invasi Rusia ke Ukraina.

Valery Zaluzhny menilai bahwa meskipun Eropa telah meningkatkan anggaran pertahanan dan mengirimkan bantuan militer ke Ukraina, negara-negara Eropa masih mengalami kekurangan dalam kesiapan tempur dan pasokan peralatan militer. Ia juga menekankan bahwa ketergantungan pada pasokan militer dari Amerika Serikat dan aliansi NATO tidak cukup untuk menanggulangi potensi serangan Rusia di kawasan tersebut. Muzhenko menyebutkan bahwa meskipun ada upaya kolaborasi dalam NATO, kesiapan fisik dan mental negara-negara Eropa perlu lebih diperkuat.

Jenderal Valery Zaluzhny juga mengingatkan dunia akan semakin berkembangnya ancaman dari Rusia. Ia mengungkapkan bahwa meskipun Rusia tengah menghadapi tekanan di medan perang Ukraina, Moskow masih memiliki kemampuan untuk melakukan eskalasi militer yang lebih besar. Muzhenko berpendapat bahwa ancaman ini tidak hanya terbatas pada Ukraina, tetapi dapat menyebar ke negara-negara Eropa lainnya, yang mungkin tidak siap menghadapi serangan secara langsung.

Pernyataan Valery Zaluzhny ini mendapatkan beragam reaksi dari negara-negara Eropa. Beberapa analis militer mengakui bahwa Eropa memang menghadapi tantangan besar dalam meningkatkan kapasitas militer mereka, meskipun ada komitmen untuk memperkuat aliansi NATO. Namun, beberapa negara juga merasa bahwa ancaman Rusia lebih terkendali dengan adanya bantuan dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Inggris. Eropa berfokus pada penguatan pertahanan kolektif dan tidak langsung menghadapi konflik besar dengan Rusia.

Pernyataan eks Panglima Militer Ukraina, Valery Zaluzhny, tentang ketidaksiapan Eropa dalam menghadapi ancaman Rusia memicu perdebatan di kalangan pengamat internasional. Meski Eropa telah berusaha meningkatkan pertahanan dan bekerja sama dengan aliansi global, tantangan besar dalam menghadapi ancaman militer Rusia tetap menjadi isu yang perlu segera ditangani. Hal ini mempertegas pentingnya kesiapan strategis dan militer dalam menghadapi ketegangan geopolitik yang semakin meningkat.

Rusia Kirim Rudal Ke Korea Utara Sebagai Imbalan Bantuan Di Perang Ukraina

Pada 23 November 2024, berita mengejutkan datang dari kawasan Asia Timur, dimana Rusia dilaporkan mengirimkan rudal canggih ke Korea Utara. Ini merupakan bagian dari kesepakatan yang dilakukan kedua negara, yang diduga sebagai imbalan atas bantuan yang diberikan Korea Utara dalam mendukung Rusia dalam konflik di Ukraina. Pengiriman rudal ini terjadi pada hari ke-1004 sejak dimulainya invasi Rusia ke Ukraina, yang semakin memperlihatkan kedekatan hubungan kedua negara.

Korea Utara, yang telah diketahui memberikan dukungan material kepada Rusia, terutama dalam hal amunisi dan perlengkapan militer, semakin menunjukkan keterlibatannya dalam konflik Ukraina. Sebagai balasan atas bantuan tersebut, Rusia mengirimkan rudal yang diperkirakan memiliki teknologi canggih yang dapat meningkatkan kemampuan pertahanan Korea Utara. Langkah ini memperkuat hubungan militer antara kedua negara yang sebelumnya sudah terjalin erat.

Kirimannya rudal ini diperkirakan akan mempengaruhi dinamika keamanan global, mengingat ketegangan yang sudah ada di kawasan Asia Timur, terutama dengan negara-negara seperti Amerika Serikat dan sekutunya. Sanksi internasional terhadap Rusia dan Korea Utara diperkirakan akan semakin ketat, karena tindakan ini dipandang sebagai pelanggaran terhadap resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang melarang negara-negara untuk mendukung rezim Korea Utara dalam hal pengembangan senjata.

Pengiriman rudal ini memicu kecaman internasional, terutama dari negara-negara Barat dan sekutunya. Mereka khawatir bahwa pengiriman senjata canggih ini dapat memperburuk ketegangan di kawasan Asia Timur dan memperpanjang konflik di Ukraina. Beberapa pihak menilai bahwa tindakan ini merupakan bagian dari strategi Rusia untuk memperkuat posisinya di medan perang, sekaligus mendapatkan dukungan dari negara-negara yang lebih terisolasi di dunia internasional.

Dengan pengiriman rudal ini, Rusia dan Korea Utara menunjukkan semakin eratnya hubungan mereka dalam menghadapi tekanan internasional. Di sisi lain, ini juga mengindikasikan bahwa kedua negara berusaha untuk membangun aliansi strategis yang dapat menguntungkan dalam konteks geopolitik dan militer. Sementara itu, hubungan ini juga memberikan gambaran mengenai bagaimana negara-negara besar, meskipun terisolasi, tetap berusaha untuk saling mendukung dalam menghadapi tantangan global.

Kirimannya rudal Rusia ke Korea Utara pada hari ke-1004 konflik Ukraina ini semakin memperjelas bahwa aliansi antara kedua negara semakin kokoh. Namun, hal ini menambah ketegangan internasional yang bisa berdampak pada stabilitas regional dan global. Dunia akan terus mengawasi perkembangan ini, terutama dalam konteks sanksi internasional dan dampaknya terhadap konflik Ukraina serta situasi keamanan di Asia Timur.

Rusia Luncurkan Rudal Balistik Antarbenua ke Ukraina: Eskalasi Konflik Memanas

Untuk pertama kalinya sejak konflik dimulai, Rusia meluncurkan rudal balistik antarbenua (ICBM) ke wilayah Ukraina pada Kamis, 21 November 2024. Tindakan ini menandai eskalasi baru dalam ketegangan antara kedua negara, terutama setelah Ukraina sebelumnya meluncurkan rudal jarak jauh yang didukung oleh negara-negara Barat ke dalam wilayah Rusia.

Serangan ke Kota Dnipro: Target Infrastruktur Vital

Menurut pernyataan dari Angkatan Udara Ukraina, Rusia meluncurkan beberapa rudal ke pusat kota Dnipro pada pagi hari, yang dilaporkan menargetkan infrastruktur penting. Salah satu rudal yang diluncurkan berasal dari wilayah Astrakhan, Federasi Rusia, sebagaimana disebutkan dalam pernyataan resmi.

Seorang sumber dari angkatan udara Ukraina mengonfirmasi kepada AFP bahwa peluncuran rudal balistik antarbenua ini adalah yang pertama sejak invasi Rusia dimulai. Namun, sumber tersebut menambahkan bahwa rudal tersebut tidak membawa muatan nuklir, meskipun dirancang untuk dapat membawa hulu ledak nuklir atau konvensional.

Ketika ditanya mengenai peluncuran rudal tersebut, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov menolak memberikan komentar. Sementara itu, unit pertahanan udara Ukraina melaporkan bahwa enam rudal berhasil dijatuhkan, meskipun tidak dijelaskan secara rinci apakah rudal balistik antarbenua termasuk di antaranya.

Dampak Serangan di Kota Dnipro

Kepala wilayah Dnipro, Sergiy Lysak, menyatakan bahwa serangan udara Rusia telah merusak sebuah pusat rehabilitasi, beberapa rumah warga, serta sebuah perusahaan industri.

“Dua orang terluka akibat serangan ini, termasuk seorang pria berusia 57 tahun yang dirawat di lokasi dan seorang wanita berusia 42 tahun yang kini dirawat di rumah sakit,” ujar Sergiy Lysak dalam keterangannya.

Eskalasi Penggunaan Rudal Jarak Jauh

Ketegangan antara Rusia dan Ukraina terus meningkat dalam beberapa hari terakhir dengan meningkatnya penggunaan rudal jarak jauh oleh kedua belah pihak. Hal ini terjadi setelah Amerika Serikat memberikan izin kepada Ukraina untuk menggunakan sistem rudal ATACMS terhadap target militer di Rusia.

Sebelumnya, Ukraina telah lama meminta dukungan rudal jarak jauh dari negara-negara Barat. Inggris juga memberikan kontribusi dengan memasok rudal Storm Shadow, yang digunakan Ukraina untuk menyerang target di Rusia setelah mendapat persetujuan dari London.

Menurut laporan media Inggris pada Rabu, Kyiv telah meluncurkan Storm Shadow ke sasaran di wilayah Rusia, menandai penggunaan sistem rudal yang disediakan Inggris dalam konflik ini. Sementara itu, Kementerian Pertahanan Rusia melaporkan bahwa sistem pertahanan udara mereka telah berhasil menjatuhkan dua rudal Storm Shadow, meskipun tidak dijelaskan apakah rudal tersebut jatuh di wilayah Rusia atau di Ukraina yang diduduki.

Konflik yang Semakin Memanas

Eskalasi terbaru ini menunjukkan bahwa konflik antara Rusia dan Ukraina terus memasuki fase yang lebih berbahaya, dengan penggunaan persenjataan yang semakin canggih dan mematikan. Langkah Rusia meluncurkan rudal balistik antarbenua dapat dilihat sebagai respons atas meningkatnya tekanan dari Ukraina yang kini didukung oleh teknologi militer Barat.

Dengan situasi yang semakin kompleks dan berpotensi memengaruhi stabilitas kawasan, dunia internasional terus memantau perkembangan konflik ini dengan cermat.

Tim Trump Kritik Langkah Biden Izinkan Ukraina Gunakan Senjata AS untuk Serang Rusia

Tim Presiden Amerika Serikat terpilih, Donald Trump, mengkritik keras keputusan Pemerintahan Joe Biden yang mengizinkan Ukraina menggunakan senjata buatan AS untuk serangan ke wilayah Rusia. Kebijakan ini diumumkan pada Minggu (17/11/2024) dan menjadi sorotan berbagai pihak.

Pada Senin (18/11/2024), perwakilan Trump menuding langkah tersebut sebagai eskalasi konflik yang berbahaya. Mereka menilai kebijakan Biden dapat memperburuk situasi geopolitik yang sudah memanas, terutama dengan hanya dua bulan tersisa masa jabatannya sebagai Presiden AS.

Perubahan Kebijakan di Masa Transisi

Biden diketahui telah melakukan perubahan besar dalam kebijakan luar negeri, termasuk memenuhi permintaan lama Ukraina terkait penggunaan rudal jarak jauh. Langkah ini dianggap sebagai upaya memperkuat dukungan bagi Ukraina yang terus menghadapi invasi Rusia, sekaligus menunjukkan sikap tegas sebelum Trump dilantik pada Januari 2025.

Namun, tim Trump menilai langkah tersebut akan mempersulit strategi pemerintahan mendatang. Trump sendiri telah berjanji untuk mengakhiri perang Rusia-Ukraina, meskipun belum memberikan detail rencana yang jelas. Sementara itu, Ukraina khawatir perubahan kebijakan ini dapat memengaruhi posisi tawar mereka dalam negosiasi damai di masa depan.

Respon Rusia dan Tuduhan Eskalasi

Pihak Rusia menanggapi keputusan ini dengan ancaman “tindakan yang sesuai” jika senjata buatan AS digunakan untuk menyerang wilayah mereka. Di sisi lain, Departemen Luar Negeri AS, melalui Juru Bicaranya Matthew Miller, menuduh Rusia melakukan eskalasi dengan menerima bantuan tentara dari Korea Utara untuk menghadapi Ukraina.

Langkah Biden ini juga memunculkan kritik dari dalam negeri. Richard Grenell, mantan Direktur Intelijen Nasional di era Trump, menyebut keputusan tersebut sebagai “peluncuran perang baru selama masa transisi.” Mike Waltz, calon Penasihat Keamanan Nasional Trump, menyebut kebijakan ini sebagai langkah yang dapat memperumit situasi geopolitik.

Donald Trump dan Janji Perdamaian

Donald Trump Jr. turut mengkritik langkah Biden, menuding bahwa kebijakan ini mempercepat risiko konflik global demi kepentingan politik. Juru Bicara Trump, Steven Cheung, menambahkan bahwa Trump adalah sosok yang mampu membawa kedua belah pihak ke meja perundingan untuk menghentikan perang.

Meskipun Trump belum memberikan tanggapan langsung, ia sebelumnya menyatakan dapat mengakhiri konflik Rusia-Ukraina hanya dalam 24 jam setelah dilantik. Trump juga mempertanyakan bantuan militer AS senilai lebih dari $60 miliar yang telah dikirim ke Ukraina sejak perang dimulai.

Misi Ukraina di Kongres AS

Sementara itu, Ukraina terus mencari dukungan dari Kongres AS. Menteri Luar Negeri Ukraina, Andriy Sybiga, dijadwalkan bertemu dengan anggota Kongres pada Selasa untuk menggalang dukungan tambahan.

Trump, sebagai presiden terpilih, telah menjalin komunikasi dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky. Percakapan antara keduanya dilaporkan berlangsung “konstruktif,” dengan fokus pada upaya untuk mengakhiri perang.

Rusia Buka Peluang Hentikan Perang Dengan Ukraina Jika Trump Memulai Inisiasi Politik

Pada 15 November 2024, pemerintah Rusia menyatakan kesediaannya untuk menghentikan konflik dengan Ukraina jika Presiden Tepilih Amerika Serikat 2024, Donald Trump, memulai inisiatif politik yang dapat mengarah pada penyelesaian damai. Pernyataan ini disampaikan oleh juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, yang mengungkapkan bahwa Rusia siap untuk berdialog dengan pihak Ukraina jika ada pendekatan yang lebih konstruktif dari AS, yang dipimpin oleh Trump, untuk meredakan ketegangan. Peskov menambahkan bahwa Rusia menganggap Trump sebagai figur yang lebih mungkin membuka jalan menuju penyelesaian diplomatik.

Rusia menilai bahwa pendekatan politik yang lebih tegas dari Trump dapat mempercepat proses diplomasi yang telah terhambat oleh kebijakan keras pemerintahan Joe Biden. Selama masa kepresidenannya, Trump sering kali dikenal dengan pendekatannya yang lebih pragmatis dalam hubungan internasional, termasuk dengan Rusia. Oleh karena itu, Kremlin percaya bahwa Trump, jika terpilih kembali, bisa memainkan peran kunci dalam memulai proses perundingan yang dapat mengakhiri perang yang telah berlangsung selama lebih dari dua tahun.

Pernyataan Rusia ini juga menyoroti pentingnya peran Amerika Serikat dalam konflik Ukraina. Meskipun Trump tidak lagi menjabat sebagai presiden, pengaruh politik AS tetap signifikan dalam memediasi konflik ini. Rusia berharap bahwa inisiasi dari Trump dapat mengurangi ketegangan antara kedua negara dan membuka peluang bagi kedua belah pihak untuk duduk bersama di meja perundingan.

Meskipun pernyataan ini memberikan secercah harapan untuk perdamaian, beberapa analis internasional berpendapat bahwa ini lebih merupakan strategi politik dari Rusia untuk mempengaruhi pemilu AS 2024. Dengan menciptakan ketegangan baru dan menawarkan solusi yang tampaknya mudah, Rusia bisa saja berharap untuk mendapatkan keuntungan diplomatik. Namun, apakah Trump akan mengambil langkah ini tetap menjadi pertanyaan besar yang masih harus dijawab dalam beberapa bulan mendatang.

Dokter yang Dituduh Mengkritik Perang Rusia Di Ukraina Dihukum 5,5 Tahun Penjara

Pada 13 November 2024, seorang dokter asal Rusia, yang dituduh mengkritik perang Rusia di Ukraina, dijatuhi hukuman penjara selama 5,5 tahun. Pengadilan Moskow memutuskan bahwa dokter tersebut telah menyebarkan “informasi palsu” tentang operasi militer Rusia, yang dianggap melanggar undang-undang ketat yang diberlakukan oleh pemerintah Rusia pasca-invasi Ukraina. Keputusan ini memicu kontroversi internasional terkait kebebasan berbicara di negara tersebut.

Dokter tersebut, yang bekerja di rumah sakit Moskow, ditangkap setelah dia mengungkapkan pendapatnya di media sosial yang mengkritik perang Rusia di Ukraina dan menyatakan simpati terhadap korban sipil di Ukraina. Meski tidak terlibat langsung dalam aktivitas politik, unggahannya dianggap sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah. Sebelumnya, dia juga menyebarkan informasi mengenai kondisi perang yang dianggap tidak sejalan dengan narasi resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah Rusia.

Pihak berwenang Rusia menegaskan bahwa hukuman terhadap dokter ini merupakan bentuk penegakan hukum untuk menjaga stabilitas dan mencegah penyebaran informasi yang dapat merusak moral pasukan militer dan citra pemerintah. Mereka menambahkan bahwa kritik terhadap operasi militer adalah pelanggaran yang dapat membahayakan keamanan negara.

Keputusan pengadilan ini menuai kecaman luas dari berbagai organisasi hak asasi manusia dan negara-negara Barat. Mereka mengecam keras pembatasan kebebasan berbicara di Rusia dan menyebut hukuman ini sebagai bentuk represi terhadap suara-suara yang menentang perang. Banyak yang menyerukan pembebasan segera bagi dokter tersebut.

Kasus ini mencerminkan meningkatnya tekanan terhadap individu yang berani mengkritik kebijakan pemerintah Rusia, terutama terkait dengan konflik Ukraina. Keputusan pengadilan menunjukkan betapa ketatnya pengawasan terhadap kebebasan berbicara di Rusia, yang semakin menjadi perhatian dunia internasional.