Beberapa tentara Israel telah menyatakan penolakan terhadap perintah untuk melanjutkan pertempuran di Gaza, dengan menyebutkan bahwa mereka diminta untuk menghancurkan rumah-rumah milik warga Palestina. Dalam sebuah wawancara dengan Associated Press, tujuh tentara tersebut menjelaskan bagaimana tindakan mereka berkontribusi pada jatuhnya korban sipil yang tak bersalah dan menimbulkan dampak psikologis yang mendalam bagi mereka. Mereka menyatakan bahwa perintah tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang mereka junjung sebagai anggota militer.
Penolakan ini muncul di tengah meningkatnya ketegangan perang, di mana serangan udara dari Israel terus menyebabkan banyak korban di pihak Palestina. Dalam serangan terbaru, lebih dari 40 warga Palestina dilaporkan tewas akibat serangan yang dilakukan pada 14 dan 15 Januari 2025. Para tentara ini merasa bahwa melanjutkan perang hanya akan memperburuk keadaan dan memperpanjang penderitaan warga sipil.
Sementara itu, usaha untuk mencapai gencatan senjata terus berlanjut. Beberapa sumber melaporkan bahwa negosiasi antara Israel dan Hamas mengenai kesepakatan gencatan senjata sudah memasuki tahap akhir. Namun, ketegangan tetap tinggi, dengan banyak warga Israel yang menentang kesepakatan gencatan senjata tanpa adanya kemenangan militer yang jelas atas Hamas. Demonstrasi besar-besaran juga terjadi di Yerusalem, di mana para pengunjuk rasa menuntut agar pemerintah Israel tidak menyerah kepada Hamas.
Dalam situasi ini, suara tentara yang menolak untuk melanjutkan perang dapat menjadi titik balik yang signifikan dalam perkembangan konflik ini. Mereka mencerminkan pandangan yang semakin banyak diungkapkan oleh tentara dan warga Israel yang menginginkan solusi damai, bukan lanjutan kekerasan. Dengan kondisi yang semakin genting, harapan untuk perdamaian di Gaza mungkin akan bergantung pada keberanian individu-individu ini untuk berbicara dan mendorong perubahan.