Bagi Mohammad Azmouz, seorang tukang cukur asal Suriah yang kini menetap di Berlin, pemilu Jerman pada Minggu (23/2/2025) menjadi momen bersejarah. Di usianya yang ke-57, ia akhirnya bisa menggunakan hak pilihnya untuk pertama kalinya. Namun, di balik kegembiraan tersebut, ada kekhawatiran besar yang menghantuinya. Lonjakan dukungan terhadap Alternative for Germany (AfD)—partai sayap kanan yang dikenal dengan sikap anti-imigrasinya—membuatnya mempertanyakan masa depannya di negeri ini.
“Mengapa masih ada kebencian terhadap kami? Kami sudah bekerja, membangun kehidupan di sini, dan tidak menjadi beban bagi masyarakat. Kami mencintai rakyat Jerman,” ungkap Azmouz.
Dalam pemilu kali ini, kebijakan terkait suaka dan imigrasi menjadi salah satu isu utama yang mendominasi perdebatan. Hal ini memberi keuntungan bagi kelompok konservatif dan AfD, yang masing-masing menduduki posisi pertama dan kedua dalam hasil pemungutan suara.
Dilema Pemilih Imigran di Tengah Kenaikan Biaya Hidup
Selain meningkatnya sentimen anti-imigran, Azmouz juga mengaku khawatir dengan biaya hidup yang semakin tinggi. Karena itu, ia memutuskan untuk memberikan suaranya kepada partai sayap kiri, Die Linke, yang memperjuangkan keadilan sosial serta menawarkan lebih banyak bantuan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
“Kami merindukan masa-masa ketika Angela Merkel masih berkuasa,” ujarnya, mengenang kepemimpinan mantan kanselir Jerman tersebut. “Sekarang, segalanya terasa lebih mahal. Kami seperti terus berlari, tetapi tak pernah bisa mengejar.”
Kondisi ekonomi yang semakin sulit memang menjadi tantangan bagi banyak warga Jerman, terutama mereka yang berlatar belakang migran. Sebuah penelitian terbaru dari DeZIM mengungkap bahwa 63,4 persen warga migran merasa cemas dengan situasi ekonomi, dibandingkan dengan 46,7 persen warga asli Jerman.
Migran dalam Pemilu: Suara yang Semakin Berpengaruh
Jerman saat ini memiliki jumlah penduduk berlatar belakang migran tertinggi dalam sejarahnya. Diperkirakan lebih dari tujuh juta warga dengan keturunan imigran memenuhi syarat untuk memilih dalam pemilu kali ini, termasuk ratusan ribu mantan pengungsi yang telah menjadi warga negara.
Namun, tidak semua warga migran memiliki pandangan politik yang sama. Mohammed, seorang tukang cukur asal Yordania yang tidak memiliki hak pilih, justru melihat naiknya popularitas AfD sebagai peluang untuk perubahan.
“Jerman berhak melindungi perbatasan dan rakyatnya,” katanya. Ia bahkan mengaku akan memilih AfD jika partai tersebut ada di negaranya sendiri. Menurutnya, komunitas migran juga memiliki tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan aturan di Jerman. Ia mendukung sikap lebih tegas terhadap pelaku kriminal serta pembatasan reunifikasi keluarga pengungsi.
Perubahan Arah Politik di Kalangan Pemilih Migran
Secara historis, Partai Sosial Demokrat (SPD) merupakan pilihan utama bagi pemilih berlatar belakang imigran. Partai ini dikenal karena membela hak-hak pekerja, kesejahteraan sosial, dan kebijakan integrasi. Namun, pada pemilu kali ini, SPD mengalami penurunan dukungan yang cukup signifikan.
Alaa Eddin Mhanna, seorang operator pabrik asal Suriah yang tinggal di Ludwigsfelde, pernah memilih SPD pada pemilu 2021. Namun, tahun ini ia memutuskan untuk tidak mendukung partai tersebut lagi. Menurutnya, kebijakan SPD yang pro-Ukraina telah berdampak negatif pada perekonomian Jerman.
“Saya tidak merasa ada partai yang benar-benar mewakili saya,” ujarnya. Ia juga menilai bahwa melemahnya ekonomi Jerman menjadi faktor utama di balik meningkatnya popularitas AfD.
Masa Depan Jerman di Tangan Kepemimpinan Baru
Meskipun AfD meraih banyak suara, kelompok konservatif diperkirakan tidak akan berkoalisi dengan mereka. Namun, kekuatan mereka sebagai oposisi tetap menjadi hal yang mencemaskan bagi banyak kalangan, termasuk para imigran.
Di tengah ketidakpastian ini, Azmouz berharap bahwa Friedrich Merz, pemimpin baru Jerman, dapat membawa negara ini kembali ke jalur kemakmuran.
“Kami berharap pemimpin yang berkuasa bisa berbelas kasih, tidak hanya kepada para pengungsi, tetapi juga kepada seluruh rakyat Jerman,” tutupnya.
Dengan hasil pemilu yang mencerminkan polarisasi di masyarakat, masa depan Jerman kini bergantung pada bagaimana para pemimpin mengelola kebijakan ekonomi dan imigrasi di tahun-tahun mendatang.