Demi Perdamaian dan NATO, Zelensky Siap Mundur dari Kursi Kepresidenan

Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, menyatakan kesiapannya untuk mundur dari jabatannya jika langkah tersebut dapat mempercepat keanggotaan Ukraina di NATO. Pernyataan ini disampaikan pada konferensi pers di Kyiv, Minggu (23/2/2025), di tengah tekanan internasional dan kritik tajam dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang menyebut Zelensky sebagai seorang diktator.

Mengutip AFP, Senin (24/2/2025), Zelensky menegaskan bahwa keanggotaan NATO menjadi bagian penting dari upaya mengakhiri konflik berkepanjangan dengan Rusia. “Jika kepergian saya dari jabatan ini dapat membuka jalan menuju perdamaian dan keanggotaan Ukraina di NATO, saya siap untuk itu,” ujar Zelensky.

Ketegangan antara Zelensky dan Trump meningkat setelah pertemuan antara pejabat AS dan Rusia di Arab Saudi—dialog tingkat tinggi pertama dalam tiga tahun terakhir—tanpa melibatkan Ukraina maupun negara-negara Eropa. Pertemuan ini dianggap merusak upaya Barat dalam mengisolasi Kremlin. Merespons hal ini, Trump menuding Ukraina sebagai pemicu perang dan meragukan popularitas Zelensky di dalam negeri, meskipun klaim tersebut bertentangan dengan hasil jajak pendapat independen.

Meski mendapat kritik keras, Zelensky menyatakan bahwa dirinya tidak tersinggung oleh komentar Trump. Bahkan, ia siap membuktikan dukungan rakyat melalui pemilu setelah darurat militer di Ukraina berakhir. “Saya ingin bertemu dengan Trump agar dapat saling memahami. Dukungan dan jaminan keamanan dari Amerika Serikat sangat krusial bagi kami,” tegasnya.

Di sisi lain, Zelensky mengungkapkan adanya kemajuan dalam pembahasan terkait akses istimewa Amerika Serikat terhadap sumber daya strategis Ukraina. Langkah ini diharapkan dapat mempererat hubungan kedua negara sekaligus memperkuat posisi Ukraina di panggung internasional.

Pemimpin Eropa Diskusikan Langkah AS dalam Negosiasi Rusia-Ukraina

Presiden Prancis, Emmanuel Macron, mengundang para pemimpin Eropa pada Senin (17/2) untuk membahas upaya Amerika Serikat dalam mendorong negosiasi perdamaian antara Rusia dan Ukraina. Namun, perundingan ini tampaknya akan berlangsung tanpa kehadiran pejabat Eropa.

Sejumlah pemimpin dari Inggris, Jerman, Italia, Polandia, Spanyol, Belanda, dan Denmark, serta Sekjen NATO Mark Rutte, Presiden Dewan Eropa Antonio Costa, dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mulai berdatangan di Paris untuk menghadiri pertemuan mendadak tersebut.

Diskusi ini diadakan menyusul pembicaraan telepon pekan lalu antara Presiden AS, Donald Trump, dan Presiden Rusia, Vladimir Putin. Dalam percakapan itu, kedua pemimpin sepakat untuk segera memulai perundingan guna mengakhiri konflik tiga tahun antara Rusia dan Ukraina. Namun, setidaknya pada tahap awal, negosiasi ini tidak melibatkan pemimpin Ukraina maupun Eropa.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, berada di Arab Saudi untuk bertemu dengan pejabat Rusia pada Selasa guna membahas konflik tersebut. Dalam pertemuan ini, Rubio didampingi oleh penasihat keamanan nasional Trump, Mike Waltz, serta utusan Timur Tengah AS, Steve Witkoff.

Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Tammy Bruce, menyebut diskusi di Riyadh sebagai “kelanjutan” dari pembicaraan telepon antara Trump dan Putin. Namun, ia menegaskan bahwa pertemuan ini tidak dimaksudkan untuk menyepakati rincian atau langkah konkret menuju negosiasi lebih lanjut.

Hingga saat ini, tampaknya tidak ada perwakilan dari Ukraina yang akan bergabung dalam pembicaraan tersebut. Padahal, Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, telah berulang kali menegaskan bahwa negaranya tidak akan menerima kesepakatan yang dibuat tanpa partisipasi langsung dari Ukraina sendiri. Ia menegaskan bahwa setiap keputusan mengenai masa depan negaranya harus melibatkan pemerintah Ukraina.

Saat ini, Rusia menguasai sekitar 20% wilayah Ukraina yang diakui secara internasional, termasuk Semenanjung Krimea yang dianeksasi pada 2014 serta sebagian besar wilayah timur Ukraina.

Setibanya di Paris, Ursula von der Leyen membagikan pernyataan di media sosial X yang berbunyi, “Keamanan Eropa berada di titik krusial. Ini bukan hanya tentang Ukraina, tetapi juga tentang kita semua. Kita membutuhkan langkah yang lebih cepat dalam pertahanan. Dan kita harus bertindak sekarang.”

Para pemimpin Eropa semakin khawatir bahwa Trump, jika kembali berkuasa, dapat menarik pasukan AS dari Eropa atau menegosiasikan penyelesaian perang yang lebih menguntungkan Rusia dibandingkan Ukraina. Selama masa pemerintahan Presiden Joe Biden, Amerika Serikat bersama sekutunya telah menunjukkan dukungan penuh terhadap Ukraina dengan memberikan bantuan senjata bernilai miliaran dolar.