Elon Musk Tegas Tolak Akuisisi TikTok di AS, Tak Tertarik Masuk ke Ranah Baru

Penasihat utama Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Elon Musk, menegaskan bahwa dirinya tidak memiliki minat untuk mengakuisisi platform media sosial TikTok di AS. Pernyataan ini disampaikan melalui sebuah video yang direkam pada forum di Jerman pada akhir Januari dan dirilis ke publik pada Sabtu (8/2/2025).

“Saya tidak mengajukan tawaran untuk membeli TikTok, dan saya juga tidak memiliki rencana apa pun terkait platform tersebut,” ujar Musk, dikutip dari AFP pada Minggu (9/2/2025).

Saat ini, TikTok sedang menghadapi tekanan hukum di AS, yang mewajibkan perusahaan induknya, ByteDance, untuk melepaskan kepemilikannya atau menghadapi larangan operasional di negara tersebut. Keputusan ini diambil dengan alasan keamanan nasional, terutama terkait data pengguna yang dikumpulkan oleh aplikasi tersebut.

Meskipun Donald Trump menyebut Musk sebagai kandidat potensial untuk mengambil alih TikTok, miliarder pemilik Tesla, X (Twitter), dan SpaceX ini menegaskan bahwa dirinya tidak tertarik. “Saya secara pribadi tidak menggunakan TikTok, jadi saya tidak begitu mengenalnya. Saya juga tidak bersemangat untuk mengakuisisi TikTok,” katanya.

Pada 2022, Musk mengakuisisi Twitter—yang kini dikenal sebagai X—seharga 44 miliar dolar AS (sekitar Rp 708 triliun), dengan alasan untuk melindungi kebebasan berbicara. Namun, sejak saat itu, platform tersebut dikritik karena meningkatnya ujaran kebencian dan disinformasi.

Selain menolak TikTok, Musk juga menyampaikan kritiknya terhadap kebijakan Keberagaman, Kesetaraan, dan Inklusi (DEI), yang bertujuan mendukung kelompok yang secara historis termarginalkan. “DEI hanyalah bentuk lain dari rasisme dengan nama baru. Saya menentang segala bentuk rasisme dan seksisme, tak peduli kepada siapa hal itu ditujukan,” tegasnya.

Pemerintahan AS, terutama di bawah pengaruh Trump, telah berusaha membongkar inisiatif DEI dengan menghapus program pelatihan, membatalkan hibah, dan merampingkan birokrasi federal.

TikTok vs. Google: Bagaimana Gen Z Mengubah Cara Kita Mencari Informasi

Jakarta – Di era digital yang semakin berkembang, kebiasaan mencari informasi pun mengalami perubahan besar. Istilah “Googling,” yang merujuk pada pencarian informasi menggunakan mesin pencari Google, kini tampaknya mulai ditinggalkan oleh generasi muda. Fenomena ini menjadi semakin nyata dengan adanya perubahan drastis dalam kebiasaan pencarian informasi di kalangan Generasi Z.

Asal Usul “Googling”

Istilah “Googling” pertama kali diciptakan oleh Larry Page, salah satu pendiri Google, dan mulai digunakan secara resmi dalam Kamus Bahasa Inggris Oxford pada bulan Juni 2006. Sejak saat itu, kata ini identik dengan pencarian informasi di internet. Namun, data terbaru menunjukkan bahwa istilah ini mungkin tidak lagi relevan bagi banyak remaja saat ini.

Perubahan Kebiasaan Pencarian oleh Gen Z

Menurut laporan dari Bernstein Research, Gen Z semakin jarang menggunakan Google untuk pencarian informasi. Sebaliknya, mereka lebih cenderung menggunakan platform media sosial seperti TikTok dan Instagram. Dalam survei April 2024 oleh Forbes Advisor dan Talker Research terhadap 2.000 orang Amerika, ditemukan bahwa 45% dari Gen Z lebih memilih social searching di media sosial dibandingkan dengan menggunakan Google.

Berbanding terbalik, hanya 35% dari Generasi Milenial, 20% dari Generasi X, dan kurang dari 10% dari Generasi Boomers yang menunjukkan kebiasaan serupa. Data ini menunjukkan pergeseran signifikan dalam cara Gen Z berinteraksi dengan internet.

Media Sosial sebagai Mesin Pencari Utama

Media sosial telah menjadi sumber utama bagi Gen Z dalam mencari rekomendasi mengenai restoran, produk, dan aktivitas. Sekitar 40% dari Gen Z pada tahun 2016 mengandalkan media sosial untuk informasi produk, dan angka ini meningkat menjadi hampir 52% pada tahun 2023. TikTok, khususnya, telah merespons kebutuhan ini dengan fitur e-commerce dan iklan yang ditargetkan, menjadikannya platform yang sangat menguntungkan dengan pendapatan iklan mencapai 11 miliar dolar AS di Amerika Serikat pada tahun 2023.

Daya Beli dan Pengaruh Generasi Muda

Daya beli Gen Z yang diprediksi mencapai 12 triliun dolar AS pada tahun 2023 menjadikannya kelompok konsumen yang sangat berharga. Bahkan, generasi setelah mereka, Gen Alpha, sudah menghabiskan lebih dari dua jam seminggu untuk berbelanja online, menunjukkan bahwa kebiasaan belanja online akan terus berkembang.

Tantangan bagi Google

Perubahan ini menimbulkan tantangan baru bagi Google. Prabhakar Raghavan, wakil presiden senior Google, mencatat bahwa sekitar 40% anak muda memilih TikTok atau Instagram untuk mencari tempat makan siang daripada menggunakan Google Maps atau Search. Ini adalah indikator jelas bahwa media sosial kini memiliki pengaruh besar dalam cara orang mencari dan mengonsumsi informasi.