Pemberontak Suriah Terlibat Perang Sengit Dengan Pasukan Rezim Assad yang Didukung Rusia dan Iran

Pada hari Senin, 2 Desember 2024, bentrokan sengit kembali pecah di wilayah barat laut Suriah, antara pasukan pemberontak dan pasukan pemerintah yang didukung oleh Rusia dan Iran. Pertempuran ini terjadi di sekitar provinsi Idlib, yang menjadi salah satu wilayah terakhir yang dikuasai oleh kelompok-kelompok oposisi. Pasukan rezim Bashar al-Assad berusaha untuk merebut kembali daerah tersebut, yang telah lama menjadi benteng pertahanan bagi kelompok pemberontak.

Menurut laporan dari sumber-sumber lokal dan lembaga kemanusiaan, serangan udara dari pasukan Rusia dan pasukan udara Suriah telah menghantam sejumlah daerah di Idlib, menewaskan puluhan orang dan menyebabkan kerusakan parah pada infrastruktur sipil. Serangan ini juga menambah penderitaan ribuan warga sipil yang terperangkap di zona konflik. Banyak yang terpaksa melarikan diri menuju perbatasan dengan Turki, meningkatkan ketegangan di kawasan tersebut.

Pasukan Rusia dan Iran telah lama menjadi pendukung utama rezim Assad dalam mempertahankan kekuasaannya selama perang saudara Suriah yang berlangsung hampir 13 tahun. Rusia menyediakan dukungan udara dan militer, sementara Iran, melalui pasukan-pasukan yang diorganisir seperti Pasukan Quds, memberi bantuan pasukan darat. Kedua negara tersebut berperan penting dalam menekan kelompok pemberontak, meskipun dalam beberapa bulan terakhir ada peningkatan serangan dari kelompok-kelompok oposisi yang berusaha merebut kembali wilayah yang hilang.

Komunitas internasional, termasuk negara-negara Barat dan PBB, mengutuk peningkatan kekerasan ini. Beberapa negara menyerukan gencatan senjata segera dan penghentian serangan terhadap warga sipil. Namun, dengan keterlibatan kuat Rusia dan Iran, upaya diplomatik untuk mengakhiri perang di Suriah tampaknya semakin menemui jalan buntu.

Kim Jong-un Siapkan 1.500 Pasukan Korut Untuk Bantu Rusia Di Perang Ukraina

Pada tanggal 14 Oktober 2024, Kim Jong-un mengumumkan bahwa Korea Utara akan mengirimkan 1.500 pasukan untuk mendukung Rusia dalam konfliknya di Ukraina. Pengumuman ini dibuat dalam pertemuan dengan pejabat tinggi militer, yang menekankan pentingnya kerjasama antara kedua negara dalam menghadapi tantangan global.

Kerjasama antara Korea Utara dan Rusia telah meningkat sejak dimulainya perang di Ukraina. Rusia, yang mengalami tekanan dari sanksi internasional, semakin mencari sekutu untuk memperkuat posisi militernya. Sementara itu, Korea Utara melihat peluang untuk memperdalam aliansi strategis yang dapat membantunya menghadapi tantangan yang sama.

Pengumuman ini langsung memicu reaksi negatif dari negara-negara Barat. Banyak analis memperingatkan bahwa pengiriman pasukan ini dapat memperburuk situasi di Ukraina, serta meningkatkan ketegangan di Eropa dan Asia. Negara-negara NATO mengecam langkah ini sebagai provokasi yang bisa mengubah dinamika konflik.

Dengan tambahan 1.500 pasukan dari Korea Utara, Rusia berharap untuk memperkuat kehadirannya di garis depan. Namun, beberapa ahli militer meragukan efektivitas pasukan Korut, yang dikenal dengan pelatihan dan peralatan yang kurang memadai. Meski begitu, langkah ini menunjukkan bahwa Rusia bersedia mengambil risiko untuk mengamankan keuntungannya.

Keputusan Kim Jong-un untuk mengirimkan pasukan ke Rusia mencerminkan hubungan yang semakin erat antara kedua negara. Dengan ketegangan yang terus meningkat, langkah ini dapat membawa dampak signifikan terhadap stabilitas regional dan global, menjadikan perhatian dunia semakin terfokus pada perkembangan konflik di Ukraina.