Pemulangan 40 Etnis Uighur ke China Picu Kecaman Internasional

Pemerintah China menegaskan bahwa hak-hak 40 orang etnis Uighur yang baru saja dipulangkan dari Thailand telah dilindungi secara hukum. Kementerian Luar Negeri China menyatakan bahwa mereka yang sebelumnya ditahan di luar negeri kini telah kembali ke kehidupan normal sesuai dengan hukum yang berlaku. Pernyataan ini disampaikan oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, dalam konferensi pers pada Senin (3/3).

Ke-40 orang Uighur tersebut dipulangkan dari Thailand pada Kamis (27/2) setelah bertahun-tahun ditahan di pusat penahanan Bangkok sejak 2014 akibat melintasi perbatasan secara ilegal. Namun, pemulangan ini menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Volker Türk, yang menilai bahwa deportasi tersebut berisiko membuat mereka mengalami penyiksaan dan penganiayaan di China.

Lin Jian menegaskan bahwa China berkomitmen melindungi hak-hak warga negaranya dan meminta para pakar HAM PBB untuk bersikap adil serta tidak mencampuri urusan hukum negara lain. Ia juga menambahkan bahwa pemulangan tersebut dilakukan berdasarkan hukum domestik China, Thailand, serta hukum internasional.

Meski demikian, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengecam langkah ini, menganggapnya sebagai ancaman serius terhadap hak asasi manusia karena para tahanan tidak mendapatkan proses hukum yang adil. Inggris dan Uni Eropa juga mengkritik keputusan tersebut, mendesak Thailand untuk meninjau kembali kebijakan penanganan pencari suaka Uighur.

Menurut laporan, kelompok ini merupakan bagian dari sekitar 350 etnis Uighur yang ditahan di Thailand sejak 2014. Selama 11 tahun terakhir, lima tahanan Uighur, termasuk dua anak kecil, dilaporkan meninggal akibat kondisi penahanan yang buruk.

Tragedi di Munich: Pria Afghanistan Tabrakkan Mobil ke Kerumunan, Puluhan Orang Terluka

Sebuah insiden mengejutkan terjadi di Munich, Jerman, pada Kamis (13/2/2025), ketika seorang pria berusia 24 tahun asal Afghanistan menabrakkan mobilnya ke kerumunan. Kejadian tragis ini melukai sekitar 30 orang, beberapa di antaranya mengalami cedera serius. Wali Kota Munich, Dieter Reiter, mengonfirmasi bahwa beberapa korban kini berada dalam kondisi kritis. “Beberapa orang mengalami luka parah dan sedang mendapatkan perawatan intensif,” ujarnya, dikutip dari AFP pada Jumat (14/2/2025).

Menurut laporan kepolisian, pelaku mengendarai Mini Cooper berwarna krem dan menabrak demonstrasi serikat pekerja. Kecelakaan ini menyebabkan kepanikan di lokasi, dengan barang-barang milik korban seperti sepatu, kacamata, dan kereta bayi berserakan di jalan. Polisi yang tiba di tempat kejadian segera mengambil tindakan dengan melepaskan tembakan ke arah kendaraan pelaku sebelum akhirnya menangkapnya.

Motif Serangan Masih Dalam Penyelidikan
Penyelidik masih mencari tahu motif di balik insiden ini. Kantor kejaksaan setempat mengindikasikan adanya kemungkinan unsur ekstremisme dalam tindakan pelaku. Mengutip laporan dari Der Spiegel, tersangka diduga sempat mengunggah konten berbau keagamaan di media sosial sebelum kejadian. Pria tersebut pertama kali tiba di Jerman pada tahun 2016, saat gelombang besar migran memasuki Eropa. Meskipun pengajuan suakanya ditolak, ia tetap diperbolehkan menetap karena memiliki pekerjaan.

Kanselir Jerman, Olaf Scholz, mengecam serangan ini dan menegaskan bahwa pelaku harus menerima hukuman berat. “Saya kira sudah jelas, pelaku tidak bisa mengandalkan belas kasihan. Dia harus dihukum dan dideportasi dari negara ini,” kata Scholz kepada media.

Insiden ini semakin memperkeruh perdebatan politik tentang kebijakan imigrasi di Jerman menjelang pemilu pada 23 Februari mendatang. Partai oposisi CDU/CSU yang saat ini unggul dalam survei kembali menuntut kebijakan imigrasi yang lebih ketat. Perdana Menteri Negara Bagian Bavaria, Markus Soeder, menyebut serangan ini sebagai peringatan serius bagi kebijakan migrasi Jerman. “Ini bukan kasus pertama. Kita harus tegas dan memastikan ada perubahan nyata,” katanya.

Dalam menghadapi tekanan politik yang meningkat, pemerintah Olaf Scholz telah memperketat aturan suaka dan mempercepat deportasi, termasuk ke Afghanistan. Menteri Dalam Negeri Jerman, Nancy Faeser, menegaskan bahwa pemerintah akan mengambil langkah lebih keras dalam memulangkan imigran ilegal, termasuk mereka yang berasal dari Afghanistan. Sejak Agustus 2024, Jerman telah mulai memulangkan warga Afghanistan, terutama setelah serangan pisau mematikan yang diduga dilakukan oleh seorang pria asal Suriah.

Dua Penerbangan Deportasi AS Tiba di Venezuela, Termasuk Terduga Anggota Geng

Pada Senin (10/2), pemerintah Venezuela mengumumkan bahwa dua pesawat yang membawa migran asal Venezuela yang dideportasi dari AS sedang dalam perjalanan kembali ke negara tersebut. Ini merupakan penerbangan pertama sejak kesepakatan antara pemerintahan Presiden AS Donald Trump dan Presiden Venezuela Nicolas Maduro pada Januari.

Penerbangan ini, yang dioperasikan oleh maskapai Venezuela Conviasa, merupakan bagian dari rencana untuk memulangkan ribuan migran yang meninggalkan Venezuela “akibat sanksi ekonomi dan kampanye perang psikologis terhadap negara kami,” menurut pernyataan dari pemerintah Venezuela.

Pernyataan itu juga menyebutkan bahwa sebagian migran yang ada dalam penerbangan tersebut diduga terlibat dalam kegiatan ilegal dengan geng Tren de Aragua, dan mereka akan menjalani penyelidikan mendalam terkait keterlibatannya dalam kegiatan kriminal tersebut.

Utusan Trump, Richard Grenell, melakukan pertemuan dengan Maduro di Caracas pada 31 Januari. Kedua pihak membahas masalah migrasi dan sanksi, bersama beberapa isu lainnya. Grenell meninggalkan Venezuela bersama enam warga AS yang sebelumnya ditahan oleh otoritas setempat.

Pemerintahan Trump juga menekankan bahwa deportasi anggota Tren de Aragua dari AS adalah prioritas. Trump mengungkapkan setelah pertemuan tersebut bahwa Maduro sepakat untuk menerima seluruh migran ilegal asal Venezuela dan menyediakan transportasi untuk mereka kembali ke negara asal.

Pemerintah Venezuela menyatakan bahwa pada 2023 mereka telah berhasil membubarkan geng Tren de Aragua di dalam negeri. Selain itu, pemerintahan Trump juga sedang berupaya mencabut perlindungan deportasi bagi sekitar 348.000 warga Venezuela yang berada di AS. Mereka berisiko kehilangan izin kerja dan kemungkinan dideportasi pada bulan April.

Lebih dari tujuh juta migran Venezuela telah meninggalkan negara mereka dalam beberapa tahun terakhir karena kondisi ekonomi dan sosial yang semakin memburuk. Pemerintah Venezuela menyalahkan sanksi dari AS dan negara-negara lainnya sebagai penyebab utama dari krisis ini.