AS Pertimbangkan Pembatasan Ketat bagi Pengunjung dari 43 Negara

Pemerintah Amerika Serikat dikabarkan tengah mempertimbangkan kebijakan baru yang membatasi kunjungan warga asing dari 43 negara, termasuk Rusia. Laporan dari New York Times (NYT) mengungkapkan bahwa langkah ini mencakup larangan perjalanan yang lebih luas dibandingkan kebijakan sebelumnya yang diterapkan oleh Presiden Donald Trump pada periode pertamanya. Rencana tersebut mencakup tiga kategori pembatasan, dengan 11 negara masuk dalam “daftar merah,” yang berarti pelancong dari negara-negara tersebut akan dilarang sepenuhnya memasuki AS. Negara-negara dalam kategori ini termasuk Afghanistan, Iran, Korea Utara, Sudan, Suriah, Yaman, dan lainnya.

Selain itu, 10 negara lainnya, termasuk Rusia, Pakistan, Myanmar, dan Belarus, akan dimasukkan dalam “daftar jingga.” Warga dari negara-negara ini masih diperbolehkan masuk ke AS, tetapi hanya untuk tujuan bisnis dengan persyaratan visa yang lebih ketat. Mereka tidak dapat mengajukan visa imigrasi atau wisata, serta diwajibkan mengikuti wawancara langsung dalam proses pengajuan visa. Sementara itu, 22 negara lain, termasuk Kamboja dan beberapa negara Afrika, dimasukkan dalam “daftar kuning,” yang berarti mereka diberikan waktu 60 hari untuk memperbaiki sistem keamanan dan berbagi informasi dengan AS terkait pelancong mereka.

Meskipun alasan spesifik di balik kebijakan ini belum sepenuhnya jelas, pemerintah AS dikabarkan menargetkan negara-negara yang dianggap tidak kooperatif dalam hal keamanan perjalanan. Saat ini, daftar pembatasan tersebut masih dalam tahap evaluasi oleh Departemen Luar Negeri dan instansi terkait sebelum diserahkan ke Gedung Putih untuk disesuaikan. Sebelumnya, Trump menerapkan kebijakan larangan perjalanan serupa pada 2017, yang kemudian dicabut oleh Joe Biden pada 2021.

KSAU Tegaskan Modernisasi Alutsista Demi Pertahanan Udara yang Lebih Kuat

Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Mohamad Tonny Harjono menekankan pentingnya modernisasi alat utama sistem senjata (alutsista) guna memperkuat pertahanan udara Indonesia. Dalam rapat pimpinan yang berlangsung di Markas Besar TNI AU, Cilangkap, Jakarta Timur, Tonny meminta seluruh jajaran TNI AU bersiap menghadapi kedatangan alutsista terbaru yang saat ini telah memasuki tahap akhir pengadaan. Salah satu alutsista yang akan segera tiba adalah pesawat tempur generasi terbaru beserta sistem pendukungnya. Beberapa unit pertama dijadwalkan tiba dalam waktu dekat, dengan pengiriman selanjutnya dilakukan secara bertahap. Menurut Tonny, modernisasi ini merupakan bagian dari visi TNI AU untuk menjadi kekuatan udara yang tangguh dan modern, sehingga mampu meningkatkan kesiapan operasional serta memperkuat daya tangkal terhadap ancaman strategis. Selain memperbarui alutsista, Tonny juga menyoroti pentingnya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) prajurit agar dapat beradaptasi dengan perkembangan teknologi pertahanan. Salah satu langkah yang dilakukan adalah merancang program peningkatan jumlah peserta didik guna memenuhi kebutuhan personel di berbagai satuan operasional. Ia berharap dengan upaya ini, TNI AU dapat terus meningkatkan kapasitas pertahanannya di tengah pesatnya kemajuan teknologi militer global. Sebelumnya, Tonny juga mengungkapkan bahwa pada tahun 2026, TNI AU akan menerima enam unit pesawat tempur Rafale dari Prancis, dengan tiga unit pertama dijadwalkan tiba pada Februari atau Maret, dan tiga unit berikutnya menyusul tiga bulan kemudian.

Elon Musk Tegas Tolak Akuisisi TikTok di AS, Tak Tertarik Masuk ke Ranah Baru

Penasihat utama Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Elon Musk, menegaskan bahwa dirinya tidak memiliki minat untuk mengakuisisi platform media sosial TikTok di AS. Pernyataan ini disampaikan melalui sebuah video yang direkam pada forum di Jerman pada akhir Januari dan dirilis ke publik pada Sabtu (8/2/2025).

“Saya tidak mengajukan tawaran untuk membeli TikTok, dan saya juga tidak memiliki rencana apa pun terkait platform tersebut,” ujar Musk, dikutip dari AFP pada Minggu (9/2/2025).

Saat ini, TikTok sedang menghadapi tekanan hukum di AS, yang mewajibkan perusahaan induknya, ByteDance, untuk melepaskan kepemilikannya atau menghadapi larangan operasional di negara tersebut. Keputusan ini diambil dengan alasan keamanan nasional, terutama terkait data pengguna yang dikumpulkan oleh aplikasi tersebut.

Meskipun Donald Trump menyebut Musk sebagai kandidat potensial untuk mengambil alih TikTok, miliarder pemilik Tesla, X (Twitter), dan SpaceX ini menegaskan bahwa dirinya tidak tertarik. “Saya secara pribadi tidak menggunakan TikTok, jadi saya tidak begitu mengenalnya. Saya juga tidak bersemangat untuk mengakuisisi TikTok,” katanya.

Pada 2022, Musk mengakuisisi Twitter—yang kini dikenal sebagai X—seharga 44 miliar dolar AS (sekitar Rp 708 triliun), dengan alasan untuk melindungi kebebasan berbicara. Namun, sejak saat itu, platform tersebut dikritik karena meningkatnya ujaran kebencian dan disinformasi.

Selain menolak TikTok, Musk juga menyampaikan kritiknya terhadap kebijakan Keberagaman, Kesetaraan, dan Inklusi (DEI), yang bertujuan mendukung kelompok yang secara historis termarginalkan. “DEI hanyalah bentuk lain dari rasisme dengan nama baru. Saya menentang segala bentuk rasisme dan seksisme, tak peduli kepada siapa hal itu ditujukan,” tegasnya.

Pemerintahan AS, terutama di bawah pengaruh Trump, telah berusaha membongkar inisiatif DEI dengan menghapus program pelatihan, membatalkan hibah, dan merampingkan birokrasi federal.

Pangkalan Militer AS Diterbangkan Drone, Pria China Ditangkap

Jakarta — Baru-baru ini, pihak berwenang Amerika Serikat menangkap seorang pria asal China setelah diketahui menerbangkan drone di atas salah satu pangkalan militer AS. Insiden ini semakin memperburuk ketegangan yang sudah ada antara kedua negara, yang tengah bersaing di berbagai sektor global, termasuk teknologi dan masalah keamanan.

Pria yang teridentifikasi sebagai warga negara China tersebut dilaporkan menerbangkan drone di atas Pangkalan Militer Wright-Patterson, sebuah fasilitas strategis yang terletak di Ohio, AS. Aktivitas ini dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan nasional, mengingat drone dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi sensitif atau bahkan untuk kegiatan spionase. Sebagai respons, otoritas AS langsung menangkap pria tersebut dan menyita drone yang digunakan.

Kasus ini menambah panjang ketegangan antara AS dan China, yang selama ini sering kali saling mencurigai terkait masalah spionase dan pencurian teknologi. Pemerintah AS beberapa kali menuduh China terlibat dalam upaya mengakses data atau teknologi militer AS dengan cara yang tidak sah, termasuk melalui penggunaan drone. Insiden terbaru ini memperpanjang daftar kejadian serupa antara kedua negara dalam beberapa tahun terakhir, yang sering kali berfokus pada isu-isu keamanan dan pengawasan teknologi.

Pria tersebut kini tengah menjalani proses hukum di AS, dengan berbagai kemungkinan tuduhan yang bisa dikenakan, termasuk pelanggaran terhadap undang-undang keamanan nasional. Otoritas AS masih melakukan penyelidikan untuk mengungkap tujuan dan latar belakang dari aktivitas tersebut. Sementara itu, pihak kedutaan China di Washington DC menyatakan keprihatinan atas penangkapan ini, meskipun mereka menekankan bahwa mereka akan menghormati prosedur hukum yang berlaku.

Insiden ini berpotensi memperburuk hubungan antara AS dan China, yang sudah berada dalam ketegangan tinggi dalam beberapa tahun terakhir. Kejadian semacam ini bisa mempercepat penerapan kebijakan yang lebih ketat terkait penggunaan teknologi drone dan pengawasan militer di kedua negara. Kedua belah pihak diharapkan dapat meningkatkan komunikasi agar insiden serupa tidak terjadi lagi di masa depan, yang dapat memicu ketegangan yang lebih besar.

Penyelidikan lebih lanjut diharapkan dapat mengungkap lebih banyak informasi mengenai niat pria tersebut dan dampaknya terhadap keamanan nasional kedua negara.