Jakarta – Pergantian Antar-Waktu (PAW) anggota DPR RI yang maju dalam Pilkada atau ditunjuk sebagai pejabat negara dinilai merusak prinsip demokrasi. Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai fenomena ini mencerminkan lemahnya konsistensi partai politik dalam menjaga integritas lembaga legislatif.
Peneliti Formappi, Lucius Karus, mengungkapkan bahwa sebanyak 45 anggota DPR RI periode 2024–2029 telah mengalami PAW. Dari jumlah tersebut, sebagian besar mundur untuk mengikuti Pilkada 2024 atau menerima posisi di kabinet pemerintahan yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto.
“Partai politik terlihat tidak konsisten. Mereka mendorong kader yang seharusnya fokus sebagai legislatif justru dialihkan menjadi eksekutif. Padahal, tugas masing-masing seharusnya dipisahkan secara jelas,” kata Lucius dalam konferensi pers di kantor Formappi, Jakarta, Minggu (8/12/2024).
Distribusi PAW Berdasarkan Fraksi
Menurut data yang dihimpun Formappi, 45 anggota DPR RI yang mengalami PAW berasal dari berbagai fraksi, dengan rincian sebagai berikut:
- 10 orang dari Fraksi Golkar
- 9 orang dari Fraksi PDI Perjuangan
- 9 orang dari Fraksi Gerindra
- 6 orang dari Fraksi NasDem
- 6 orang dari Fraksi PKB
- 4 orang dari Fraksi Demokrat
- 1 orang dari Fraksi PKS
Dari jumlah tersebut, 27 anggota mengundurkan diri untuk maju dalam Pilkada 2024, 8 anggota menerima jabatan sebagai menteri, wakil menteri, atau pejabat negara lainnya, sementara 6 anggota mundur karena alasan pribadi. Selain itu, 3 anggota meninggal dunia.
Implikasi PAW terhadap Demokrasi
Lucius menyoroti bahwa fenomena PAW ini menunjukkan posisi sebagai legislator tidak lagi menjadi prioritas utama bagi beberapa anggota. DPR seringkali hanya dipandang sebagai batu loncatan menuju jabatan lain di eksekutif.
“Fenomena ini mencederai kepercayaan rakyat. Pilihan rakyat dalam pemilu menjadi terabaikan karena kader favorit partai menggantikan posisi yang seharusnya diisi oleh orang-orang yang terpilih secara langsung,” tegasnya.
Formappi juga menilai bahwa PAW yang masif ini mendegradasi posisi DPR sebagai lembaga legislatif yang seharusnya setara dengan eksekutif.
Kritik terhadap Partai Politik
Lucius menekankan perlunya partai politik untuk memiliki strategi yang jelas dalam menempatkan kader mereka. “Partai harus memastikan bahwa kader yang ditempatkan di legislatif benar-benar serius menjalankan tugasnya. Jangan sampai PAW hanya menjadi alat politik yang merugikan rakyat,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa praktik PAW ini menyerupai sistem pemilu tertutup, di mana partai memiliki kendali penuh untuk mengganti anggota legislatif tanpa melibatkan rakyat secara langsung.
Rekomendasi untuk Perbaikan Sistem
Untuk mengatasi masalah ini, Formappi mengusulkan beberapa langkah:
- Penguatan Regulasi PAW: Membatasi alasan PAW untuk menjaga stabilitas keanggotaan DPR RI.
- Transparansi Partai: Partai politik harus lebih terbuka dalam menentukan kader yang akan maju di legislatif maupun eksekutif.
- Pendidikan Politik: Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya integritas legislatif dalam sistem demokrasi.
Fenomena PAW yang terjadi saat ini menjadi tantangan besar bagi sistem demokrasi Indonesia. Diperlukan langkah konkret untuk memastikan bahwa suara rakyat tetap menjadi prioritas utama dalam proses pemilu dan keanggotaan legislatif.