PBB Alokasikan Rp1,8 Triliun untuk Tangani 10 Krisis Kemanusiaan Terabaikan

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengumumkan alokasi dana sebesar 110 juta dolar AS atau sekitar Rp1,8 triliun untuk membantu menangani 10 krisis kemanusiaan yang kurang mendapat perhatian di berbagai negara di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Dalam pernyataan resminya pada Kamis (6/3), Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) menyoroti penurunan drastis pendanaan global untuk bantuan kemanusiaan, yang diperkirakan mencapai titik terendah dalam sejarah pada tahun ini. Saat ini, lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia membutuhkan bantuan darurat.

Wakil Sekretaris Jenderal Urusan Kemanusiaan dan Koordinator Bantuan Darurat OCHA, Tom Fletcher, menegaskan bahwa pemotongan anggaran tidak menghilangkan kebutuhan kemanusiaan bagi negara-negara yang menghadapi konflik, dampak perubahan iklim, dan ketidakstabilan ekonomi. Oleh karena itu, pendanaan darurat harus segera dialokasikan ke wilayah yang paling membutuhkan.

Sepertiga dari anggaran tersebut akan difokuskan untuk membantu Sudan dan Chad yang tengah menghadapi krisis akibat kekerasan, pengungsian massal, dan ancaman kelaparan. Selain itu, bantuan juga akan diberikan ke Afganistan, Republik Afrika Tengah, Honduras, Mauritania, Niger, Somalia, Venezuela, dan Zambia. Dana tersebut juga digunakan untuk memperkuat perlindungan bagi komunitas rentan yang terdampak perubahan iklim.

Sepanjang tahun 2024, alokasi dana ini diperkirakan dapat membantu lebih dari 3 juta orang yang terkena dampak krisis di 10 negara tersebut. Namun, komunitas kemanusiaan global masih membutuhkan hampir 45 miliar dolar AS untuk menolong 185 juta orang yang paling rentan di seluruh dunia. Sayangnya, hingga saat ini, hanya 5 persen dari anggaran tersebut yang telah tersedia, meninggalkan defisit lebih dari 42 miliar dolar AS.

Perubahan Iklim Makin Mengkhawatirkan! Emisi CO₂ Tertinggi di Tahun Ini

Layanan meteorologi Inggris, The Meteorological Office, baru-baru ini mengumumkan adanya peningkatan signifikan dalam emisi karbon dioksida (CO2) sepanjang tahun 2024. Kenaikan ini bertentangan dengan tujuan global untuk membatasi suhu Bumi hanya sampai 1,5 derajat Celsius, seperti yang tercantum dalam Perjanjian Paris. Pengukuran yang dilakukan di Mauna Loa, Hawaii, menunjukkan kenaikan 3,58 ppm dalam kadar karbon dioksida, lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya yang memprediksi kenaikan hanya 2,84 ppm.

Angka ini sangat mencemaskan, karena untuk menjaga suhu Bumi tidak melebihi 1,5 derajat Celsius, pelepasan CO2 ke atmosfer seharusnya dibatasi hingga 1,8 ppm per tahun. Data yang ada juga menunjukkan bahwa emisi karbon dioksida meningkat di hampir seluruh dunia, menunjukkan bahwa isu ini bersifat global.

Ada beberapa faktor utama yang mempengaruhi lonjakan emisi karbon dioksida pada tahun ini. Pertama, konsumsi bahan bakar fosil yang tetap tinggi. Kedua, kebakaran hutan dan lahan yang semakin meluas, dan ketiga, kerusakan ekosistem yang mengurangi kemampuan alam dalam menyerap karbon. Pengaruh El Nino juga memperburuk pemanasan global dan meningkatkan kebakaran hutan, yang turut menyumbang pada peningkatan gas rumah kaca di atmosfer.

Profesor Richard Betts dari The Meteorological Office menjelaskan bahwa tren pemanasan global yang terus meningkat kemungkinan besar akan berlanjut dalam jangka panjang. “Penumpukan karbon dioksida di atmosfer akan terus mendorong suhu Bumi naik,” ujarnya dalam sebuah wawancara pada 17 Januari 2025. Meskipun demikian, ia memperkirakan bahwa suhu di tahun 2025 akan lebih rendah dibandingkan 2024, berkat fenomena La Nina yang dapat memperlambat laju penambahan CO2 ke atmosfer.

Namun, Betts menegaskan bahwa untuk menghentikan pemanasan global, perlu ada upaya nyata untuk mengurangi gas rumah kaca. “Tidak hanya harus dihentikan, tetapi jumlah gas rumah kaca juga harus mulai dikurangi,” tambahnya.

Tahun 2024 juga tercatat sebagai tahun dengan suhu rata-rata tertinggi dalam sejarah pencatatan suhu Bumi. Berdasarkan data Copernicus Climate Change Service (C3S), suhu global tahun ini mencapai 15,10 derajat Celsius, 0,72 derajat lebih tinggi dibandingkan rata-rata suhu periode 1991-2020. Hal ini menjadikannya sebagai tahun dengan suhu tertinggi yang tercatat, mengalahkan rekor suhu tahun 2023.

Carlo Buontempo, Direktur C3S, mengungkapkan bahwa kenaikan suhu yang melebihi ambang batas 1,5 derajat Celsius ini disebabkan oleh aktivitas manusia. Ia memperingatkan bahwa perubahan iklim yang dipicu oleh aktivitas manusia adalah penyebab utama pemanasan global saat ini.

“Masa depan iklim kita ada di tangan kita. Tindakan cepat dan tegas masih dapat mengubah arah perubahan iklim di masa depan,” kata Buontempo. Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) juga mengonfirmasi bahwa 2024 adalah tahun terpanas yang tercatat, dengan suhu permukaan rata-rata global lebih tinggi 1,55 derajat Celsius dibandingkan dengan masa pra-industri pada 1850-1900.

Dengan tantangan besar di depan mata, dunia harus segera mengambil langkah konkret untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mempercepat transisi menuju energi bersih demi menghadapi ancaman perubahan iklim yang semakin nyata.