AS Pertimbangkan Pembatasan Ketat bagi Pengunjung dari 43 Negara

Pemerintah Amerika Serikat dikabarkan tengah mempertimbangkan kebijakan baru yang membatasi kunjungan warga asing dari 43 negara, termasuk Rusia. Laporan dari New York Times (NYT) mengungkapkan bahwa langkah ini mencakup larangan perjalanan yang lebih luas dibandingkan kebijakan sebelumnya yang diterapkan oleh Presiden Donald Trump pada periode pertamanya. Rencana tersebut mencakup tiga kategori pembatasan, dengan 11 negara masuk dalam “daftar merah,” yang berarti pelancong dari negara-negara tersebut akan dilarang sepenuhnya memasuki AS. Negara-negara dalam kategori ini termasuk Afghanistan, Iran, Korea Utara, Sudan, Suriah, Yaman, dan lainnya.

Selain itu, 10 negara lainnya, termasuk Rusia, Pakistan, Myanmar, dan Belarus, akan dimasukkan dalam “daftar jingga.” Warga dari negara-negara ini masih diperbolehkan masuk ke AS, tetapi hanya untuk tujuan bisnis dengan persyaratan visa yang lebih ketat. Mereka tidak dapat mengajukan visa imigrasi atau wisata, serta diwajibkan mengikuti wawancara langsung dalam proses pengajuan visa. Sementara itu, 22 negara lain, termasuk Kamboja dan beberapa negara Afrika, dimasukkan dalam “daftar kuning,” yang berarti mereka diberikan waktu 60 hari untuk memperbaiki sistem keamanan dan berbagi informasi dengan AS terkait pelancong mereka.

Meskipun alasan spesifik di balik kebijakan ini belum sepenuhnya jelas, pemerintah AS dikabarkan menargetkan negara-negara yang dianggap tidak kooperatif dalam hal keamanan perjalanan. Saat ini, daftar pembatasan tersebut masih dalam tahap evaluasi oleh Departemen Luar Negeri dan instansi terkait sebelum diserahkan ke Gedung Putih untuk disesuaikan. Sebelumnya, Trump menerapkan kebijakan larangan perjalanan serupa pada 2017, yang kemudian dicabut oleh Joe Biden pada 2021.

Pidato Kenegaraan Panas! Trump Sebut Biden Presiden Terburuk

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali memicu kontroversi dalam pidato kenegaraan yang digelarnya di Gedung Capitol, Selasa (4/3/2025) malam waktu setempat atau Rabu (5/3/2025) pagi WIB. Dalam kesempatan itu, Trump secara terbuka menyebut pendahulunya, Joe Biden, sebagai presiden terburuk dalam sejarah AS. Pernyataan tersebut sontak memicu reaksi keras dari anggota Partai Demokrat yang hadir dalam sidang tersebut.

Beberapa anggota Demokrat tampak geram dengan pernyataan Trump, bahkan beberapa di antaranya langsung mengecamnya sebagai kebohongan. Ketegangan semakin meningkat ketika Al Green, anggota Kongres dari Demokrat, berdiri dan meneriaki Trump dengan kalimat, “Anda tidak memiliki mandat!”

Situasi semakin memanas ketika para anggota Partai Republik merespons teriakan tersebut dengan riuh rendah dan menyanyikan lagu patriotik, meminta Green untuk duduk. Namun, Green menolak dan akhirnya dikawal keluar dari ruang sidang oleh petugas keamanan setelah mendapat sorakan dari anggota Partai Republik.

Solidaritas untuk Ukraina dan Aksi Protes Demokrat

Dalam pidato tersebut, sejumlah anggota Kongres menunjukkan solidaritas terhadap Ukraina, yang tengah berperang melawan Rusia. Mereka mengenakan syal, dasi bergaris, atau pita dengan warna kuning dan biru, sebagai bentuk dukungan terhadap negara sekutu yang mereka anggap telah dikhianati oleh kebijakan Trump.

Menurut laporan AFP, ketegangan ini terjadi tak lama setelah Trump memerintahkan penghentian sementara bantuan militer AS ke Kyiv. Keputusan ini menjadi kontras dengan situasi pada Maret 2022, ketika Joe Biden berpidato di Kongres hanya lima hari setelah invasi Rusia ke Ukraina. Kala itu, baik Demokrat maupun Republik kompak menyatakan dukungan bagi rakyat Ukraina, sesuatu yang kini terlihat semakin memudar di Washington di bawah kepemimpinan Trump.

Selain warna solidaritas Ukraina, beberapa anggota Demokrat juga mengenakan pakaian merah muda, sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintahan Trump yang dianggap merugikan perempuan.

Aksi Walkout Anggota Demokrat

Sejumlah anggota Partai Demokrat bahkan memilih untuk meninggalkan ruang sidang sebelum Trump mulai berbicara. Salah satunya adalah Jasmine Crockett, anggota Kongres dari Texas. Sebelum keluar, ia sempat melepas jaketnya untuk memperlihatkan kaus dengan tulisan “Resist” di bagian belakang, sebagai simbol perlawanan terhadap kebijakan Trump.

Pidato kenegaraan Trump tahun ini jelas menggambarkan polarisasi politik yang semakin tajam di Amerika Serikat, di mana kedua partai semakin sulit menemukan titik temu dalam berbagai kebijakan krusial, baik terkait isu dalam negeri maupun kebijakan luar negeri.

Tim Trump Kritik Langkah Biden Izinkan Ukraina Gunakan Senjata AS untuk Serang Rusia

Tim Presiden Amerika Serikat terpilih, Donald Trump, mengkritik keras keputusan Pemerintahan Joe Biden yang mengizinkan Ukraina menggunakan senjata buatan AS untuk serangan ke wilayah Rusia. Kebijakan ini diumumkan pada Minggu (17/11/2024) dan menjadi sorotan berbagai pihak.

Pada Senin (18/11/2024), perwakilan Trump menuding langkah tersebut sebagai eskalasi konflik yang berbahaya. Mereka menilai kebijakan Biden dapat memperburuk situasi geopolitik yang sudah memanas, terutama dengan hanya dua bulan tersisa masa jabatannya sebagai Presiden AS.

Perubahan Kebijakan di Masa Transisi

Biden diketahui telah melakukan perubahan besar dalam kebijakan luar negeri, termasuk memenuhi permintaan lama Ukraina terkait penggunaan rudal jarak jauh. Langkah ini dianggap sebagai upaya memperkuat dukungan bagi Ukraina yang terus menghadapi invasi Rusia, sekaligus menunjukkan sikap tegas sebelum Trump dilantik pada Januari 2025.

Namun, tim Trump menilai langkah tersebut akan mempersulit strategi pemerintahan mendatang. Trump sendiri telah berjanji untuk mengakhiri perang Rusia-Ukraina, meskipun belum memberikan detail rencana yang jelas. Sementara itu, Ukraina khawatir perubahan kebijakan ini dapat memengaruhi posisi tawar mereka dalam negosiasi damai di masa depan.

Respon Rusia dan Tuduhan Eskalasi

Pihak Rusia menanggapi keputusan ini dengan ancaman “tindakan yang sesuai” jika senjata buatan AS digunakan untuk menyerang wilayah mereka. Di sisi lain, Departemen Luar Negeri AS, melalui Juru Bicaranya Matthew Miller, menuduh Rusia melakukan eskalasi dengan menerima bantuan tentara dari Korea Utara untuk menghadapi Ukraina.

Langkah Biden ini juga memunculkan kritik dari dalam negeri. Richard Grenell, mantan Direktur Intelijen Nasional di era Trump, menyebut keputusan tersebut sebagai “peluncuran perang baru selama masa transisi.” Mike Waltz, calon Penasihat Keamanan Nasional Trump, menyebut kebijakan ini sebagai langkah yang dapat memperumit situasi geopolitik.

Donald Trump dan Janji Perdamaian

Donald Trump Jr. turut mengkritik langkah Biden, menuding bahwa kebijakan ini mempercepat risiko konflik global demi kepentingan politik. Juru Bicara Trump, Steven Cheung, menambahkan bahwa Trump adalah sosok yang mampu membawa kedua belah pihak ke meja perundingan untuk menghentikan perang.

Meskipun Trump belum memberikan tanggapan langsung, ia sebelumnya menyatakan dapat mengakhiri konflik Rusia-Ukraina hanya dalam 24 jam setelah dilantik. Trump juga mempertanyakan bantuan militer AS senilai lebih dari $60 miliar yang telah dikirim ke Ukraina sejak perang dimulai.

Misi Ukraina di Kongres AS

Sementara itu, Ukraina terus mencari dukungan dari Kongres AS. Menteri Luar Negeri Ukraina, Andriy Sybiga, dijadwalkan bertemu dengan anggota Kongres pada Selasa untuk menggalang dukungan tambahan.

Trump, sebagai presiden terpilih, telah menjalin komunikasi dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky. Percakapan antara keduanya dilaporkan berlangsung “konstruktif,” dengan fokus pada upaya untuk mengakhiri perang.