Dua Pejabat Perusahaan Ditahan KPK, Skandal Kredit LPEI Terungkap

KPK secara resmi menahan dua tersangka terkait dugaan korupsi dalam pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Kedua tersangka yang ditahan adalah Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal sekaligus Komisaris Utama PT Petro Energy, Jimmy Masrin (JM), serta Direktur Keuangan PT Petro Energy, Susi Mira Dewi Sugiarta (SMD). Keduanya akan menjalani masa penahanan selama 20 hari di Rumah Tahanan Kelas I Jakarta Timur, mulai 20 Maret hingga 8 April 2025.

Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan bahwa kasus ini bermula dari benturan kepentingan antara Direktur LPEI dan pihak debitur PT Petro Energy. Sejak awal, telah terjadi kesepakatan untuk mempermudah pencairan kredit, meskipun PT Petro Energy dinilai tidak layak mendapatkannya. Bahkan, meskipun terdapat laporan dari internal LPEI yang menyatakan ketidakwajaran dalam pemberian kredit, Direktur LPEI tetap menginstruksikan pencairan dana tersebut. Dugaan semakin menguat setelah ditemukan bahwa PT Petro Energy memalsukan dokumen purchase order dan faktur sebagai dasar pencairan kredit.

Tindakan tersebut mengakibatkan kerugian negara yang mencapai 18,07 juta dolar AS serta 594,144 miliar rupiah. Skandal ini menunjukkan bagaimana konflik kepentingan dan lemahnya pengawasan internal dapat membuka celah bagi tindak pidana korupsi dalam lembaga keuangan negara. Dengan penahanan dua tersangka ini, KPK berkomitmen untuk mengusut tuntas kasus tersebut dan memastikan seluruh pihak yang terlibat mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum.

Korupsi di Balik Smart City: Eks Sekda Bandung Terjerat Kasus Gratifikasi Rp 1 Miliar

JAKARTA – Mantan Sekretaris Daerah Kota Bandung, Ema Sumarna (ES), resmi ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis (26/9/2024) terkait dugaan korupsi dalam proyek pengadaan CCTV dan Internet Service Provider (ISP) untuk program Bandung Smart Kota. Penahanan ini menandai langkah besar KPK dalam anggota melakukan praktik gratifikasi di pemerintahan.

Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, mengungkapkan Ema Sumarna menerima gratifikasi senilai Rp 1 miliar. “Uang ini terkait dengan proyek-proyek yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bandung untuk tahun anggaran 2020 hingga 2023,” jelas Asep dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.

Selain Ema, KPK juga menahan tiga anggota DPRD Kota Bandung: Achmad Nugraha (AH), Ferry Cahyadi (FCR), dan Riantono (RI). Mereka diduga terlibat dalam praktik korupsi yang sama, dengan total gratifikasi yang diterima mencapai Rp 1 miliar. “Mereka menerima pekerjaan dari Dinas Perhubungan dan dinas lain di lingkungan Kota Bandung,” tambah Asep.

Para tersangka ditahan selama 20 hari pertama mulai tanggal 26 September 2024 hingga 15 Oktober 2024 di Rutan KPK. Kasus ini merupakan pengembangan dari operasi tangkap tangan (OTT) yang melibatkan mantan Wali Kota Bandung, Yana Mulyana, pada tahun lalu.

Asep menjelaskan bahwa awal mula kasus ini bermula pada tahun 2022, ketika ada pembahasan perubahan APBD Kota Bandung. “Terdapat kesepakatan untuk memberikan anggaran kepada Dinas Perhubungan terkait Program Bandung Smart City,” ujarnya. Ema Sumarna diduga menerima gratifikasi secara rutin dari Dinas Perhubungan dan sumber lain selama periode 2020 hingga 2024.

Dengan posisinya sebagai Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), Ema diduga membantu mempermudah penambahan anggaran di Dinas Perhubungan demi kepentingan anggota DPRD agar dapat mengerjakan proyek melalui penyedia anggaran.

KPK sebelumnya telah memanggil Ema Sumarna dan Wakil Ketua DPRD Kota Bandung, Achmad Nugraha, sebagai saksi dalam penyelidikan ini. Selain mereka, sejumlah anggota DPRD lainnya juga diperiksa, termasuk Riantono, Ferry Cahyadi, dan Yudi Cahyadi.

Kasus ini menjadi sorotan publik dan menekankan pentingnya transparansi serta akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran daerah, terutama dalam proyek-proyek yang bertujuan untuk modernisasi kota seperti Bandung Smart City.

ICW dan MAKI Kritik KPK Setelah Penemuan Mobil Harun Masiku

Jakarta – Mobil Toyota Camry dengan nomor registrasi B 8351 WB ditemukan terparkir di Thamrin Residence, Jakarta Pusat, setelah bertahun-tahun tidak bergerak. Mobil ini milik Harun Masiku, seorang buronan KPK terkait kasus suap dalam pergantian antarwaktu anggota DPR RI.

“Di dalam mobil tersebut terdapat dokumen terkait Harun Masiku,” kata Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, saat memberikan keterangan di Bogor, Jawa Barat.

Harun Masiku telah masuk daftar pencarian orang (DPO) KPK sejak 20 Januari 2020 dan hingga kini belum tertangkap. Kasus ini melibatkan empat orang sebagai tersangka, termasuk Harun Masiku.

Penemuan mobil tersebut memicu kritik dari berbagai pengamat anti-korupsi terhadap KPK. Berikut adalah beberapa kritik yang disampaikan:

1. Komentar Mantan Penyidik KPK 

Yudi Purnomo Harahap, mantan penyidik KPK, menyatakan bahwa penemuan mobil ini tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap usaha penangkapan Harun Masiku. Ia menilai bahwa penemuan mobil yang sudah lama tidak digunakan mungkin tidak akan mempercepat proses penangkapan.
“KPK harus berani menaikkan status kasus dan menetapkan tersangka bagi mereka yang menghalangi proses penyidikan,” tambah Yudi.

2. Pandangan dari MAKI 

Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) berpendapat bahwa KPK tampak tidak serius setelah mengungkap penemuan mobil Harun Masiku. Menurut MAKI, penemuan ini adalah isu lama yang kini hanya dipublikasikan kembali oleh KPK. “Masalah mobil ini sebenarnya sudah lama diketahui, termasuk lokasi parkirnya. Penemuan ini sepertinya hanya upaya untuk menciptakan berita,” ujar Koordinator MAKI, Boyamin Saiman. “KPK seolah-olah hanya mencari perhatian tanpa kemajuan nyata.” Boyamin juga mengkritik KPK karena dianggap tidak serius dalam usaha penangkapan Harun Masiku dan menyebut pengumuman ini sebagai upaya untuk menutupi kurangnya kemajuan dalam kasus tersebut.

3. Tanggapan dari ICW

Indonesia Corruption Watch (ICW) berpendapat bahwa lamanya penanganan kasus Harun Masiku bukan disebabkan oleh keterampilan Harun dalam melarikan diri, tetapi karena KPK sepertinya tidak ingin menangkapnya.

“Kami semakin yakin bahwa masalah dalam penanganan kasus Harun Masiku adalah karena KPK tampaknya sengaja menghindari penangkapan. Empat tahun pencarian adalah waktu yang sangat lama,” kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana.

Kurnia mengusulkan agar pimpinan KPK dan Dewan Pengawas melakukan audit mendalam terhadap jajaran Deputi Penindakan untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah yang ada. Ia juga meminta KPK untuk menyelidiki kemungkinan keterlibatan pihak-pihak lain dalam kasus suap dan pelarian Harun Masiku.

Wakil Ketua KPK Jelaskan Situasi Terkini Soal Heboh Jet Pribadi Kaesang

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata, memberikan tanggapan terkait isu yang beredar mengenai penggunaan jet pribadi oleh Kaesang Pangarep, putra dari Presiden Joko Widodo.

Isu ini menjadi perbincangan hangat di media sosial dan menuai beragam tanggapan publik.

Alexander Marwata menjelaskan bahwa KPK sedang memantau dan mengumpulkan informasi lebih lanjut terkait laporan masyarakat mengenai penggunaan jet pribadi tersebut.

Proses Pengumpulan Data oleh KPK

Dalam keterangannya, Alexander menegaskan bahwa hingga saat ini belum ditemukan indikasi pelanggaran hukum terkait penggunaan jet pribadi oleh Kaesang Pangarep. Namun, KPK tetap menjalankan prosedur standar dalam memverifikasi laporan masyarakat, termasuk menelusuri asal-usul kepemilikan jet serta sumber dana yang digunakan untuk menyewa atau membeli jet tersebut.

“Kami masih dalam tahap pengumpulan dan verifikasi data untuk memastikan apakah ada unsur yang melanggar hukum dalam kasus ini,” ungkap Alexander di Gedung KPK, Jakarta. Ia juga menekankan bahwa KPK tidak akan mengambil tindakan sebelum memiliki dasar hukum yang kuat.

Klarifikasi dari Kaesang Pangarep

Menanggapi isu yang beredar, Kaesang Pangarep telah memberikan klarifikasi melalui akun media sosialnya. Dalam pernyataannya, ia menjelaskan bahwa jet pribadi yang digunakan bukanlah miliknya, melainkan hasil dari kerja sama bisnis dengan mitra. Kaesang juga menegaskan bahwa dana yang digunakan untuk penyewaan jet tersebut berasal dari kegiatan bisnis pribadinya, bukan dari keluarga atau fasilitas negara.

“Saya selalu menjaga profesionalisme dalam menjalankan bisnis dan memastikan semua tindakan saya mengikuti aturan hukum yang berlaku,” tulis Kaesang. Ia juga memastikan bahwa tidak ada fasilitas negara yang digunakan untuk kepentingan pribadi dalam aktivitas bisnisnya.

Reaksi Publik dan Pengawasan KPK

Isu ini memicu berbagai tanggapan dari masyarakat. Sebagian besar publik berpendapat bahwa figur publik seperti Kaesang seharusnya diawasi lebih ketat untuk mencegah adanya penyalahgunaan sumber daya atau kekuasaan. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa selama dilakukan secara legal, penggunaan fasilitas seperti jet pribadi adalah hal yang wajar bagi seorang pebisnis.

KPK dalam pernyataannya juga meminta masyarakat untuk menunggu hasil verifikasi resmi sebelum membuat kesimpulan. “Kami mengimbau masyarakat untuk tidak terburu-buru menyimpulkan hal-hal yang belum terbukti secara hukum,” kata Alexander.

Komitmen KPK dalam Pengawasan dan Transparansi

Alexander Marwata menegaskan bahwa KPK akan terus menjalankan pengawasan dengan transparan dan akuntabel. KPK berkomitmen menjaga integritas dalam menindak segala bentuk penyalahgunaan wewenang. Kasus ini masih dalam tahap pendalaman, dan pihak KPK akan memberikan informasi lebih lanjut jika ada perkembangan terbaru.

“Kami akan terus bekerja sama dengan pihak terkait untuk memastikan bahwa setiap aktivitas yang melibatkan dugaan penyalahgunaan kekuasaan akan diawasi dengan ketat,” ujar Alexander menutup pernyataannya.