Pidato Kenegaraan Panas! Trump Sebut Biden Presiden Terburuk

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali memicu kontroversi dalam pidato kenegaraan yang digelarnya di Gedung Capitol, Selasa (4/3/2025) malam waktu setempat atau Rabu (5/3/2025) pagi WIB. Dalam kesempatan itu, Trump secara terbuka menyebut pendahulunya, Joe Biden, sebagai presiden terburuk dalam sejarah AS. Pernyataan tersebut sontak memicu reaksi keras dari anggota Partai Demokrat yang hadir dalam sidang tersebut.

Beberapa anggota Demokrat tampak geram dengan pernyataan Trump, bahkan beberapa di antaranya langsung mengecamnya sebagai kebohongan. Ketegangan semakin meningkat ketika Al Green, anggota Kongres dari Demokrat, berdiri dan meneriaki Trump dengan kalimat, “Anda tidak memiliki mandat!”

Situasi semakin memanas ketika para anggota Partai Republik merespons teriakan tersebut dengan riuh rendah dan menyanyikan lagu patriotik, meminta Green untuk duduk. Namun, Green menolak dan akhirnya dikawal keluar dari ruang sidang oleh petugas keamanan setelah mendapat sorakan dari anggota Partai Republik.

Solidaritas untuk Ukraina dan Aksi Protes Demokrat

Dalam pidato tersebut, sejumlah anggota Kongres menunjukkan solidaritas terhadap Ukraina, yang tengah berperang melawan Rusia. Mereka mengenakan syal, dasi bergaris, atau pita dengan warna kuning dan biru, sebagai bentuk dukungan terhadap negara sekutu yang mereka anggap telah dikhianati oleh kebijakan Trump.

Menurut laporan AFP, ketegangan ini terjadi tak lama setelah Trump memerintahkan penghentian sementara bantuan militer AS ke Kyiv. Keputusan ini menjadi kontras dengan situasi pada Maret 2022, ketika Joe Biden berpidato di Kongres hanya lima hari setelah invasi Rusia ke Ukraina. Kala itu, baik Demokrat maupun Republik kompak menyatakan dukungan bagi rakyat Ukraina, sesuatu yang kini terlihat semakin memudar di Washington di bawah kepemimpinan Trump.

Selain warna solidaritas Ukraina, beberapa anggota Demokrat juga mengenakan pakaian merah muda, sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintahan Trump yang dianggap merugikan perempuan.

Aksi Walkout Anggota Demokrat

Sejumlah anggota Partai Demokrat bahkan memilih untuk meninggalkan ruang sidang sebelum Trump mulai berbicara. Salah satunya adalah Jasmine Crockett, anggota Kongres dari Texas. Sebelum keluar, ia sempat melepas jaketnya untuk memperlihatkan kaus dengan tulisan “Resist” di bagian belakang, sebagai simbol perlawanan terhadap kebijakan Trump.

Pidato kenegaraan Trump tahun ini jelas menggambarkan polarisasi politik yang semakin tajam di Amerika Serikat, di mana kedua partai semakin sulit menemukan titik temu dalam berbagai kebijakan krusial, baik terkait isu dalam negeri maupun kebijakan luar negeri.

Linda McMahon, Mantan Pegulat WWE, Kini Menjabat Menteri Pendidikan AS

Pada Senin (3/3), Senat Amerika Serikat akhirnya menyetujui pencalonan Linda McMahon, mantan CEO WWE, sebagai Menteri Pendidikan dengan hasil pemungutan suara 51-45. McMahon, yang sebelumnya menjabat sebagai Administrator Badan Usaha Kecil (Small Business Administration) pada pemerintahan pertama Presiden Donald Trump, kini menjadi salah satu pejabat pilihan Trump untuk mengisi jabatan menteri dalam kabinetnya.

Perempuan berusia 76 tahun ini menjadi kandidat menteri ke-22 yang disetujui oleh Senat sejak pelantikan Presiden Trump. Sebelum mencalonkan McMahon, Trump sudah dikenal dengan kebijakan kontroversialnya yang ingin membubarkan Kementerian Pendidikan AS. Bahkan, pada Februari lalu, Trump mengungkapkan keinginannya untuk menutup lembaga tersebut, dengan alasan anggaran yang terlalu besar dan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan yang dikeluarkan kementerian.

Dalam sebuah pernyataan, Pemimpin Mayoritas Senat, John Thune, memberikan pujian kepada McMahon, menjelaskan bahwa dia berharap dapat bekerja sama untuk mengurangi birokrasi, memberdayakan pemerintah negara bagian dan lokal, serta memberi lebih banyak kebebasan kepada guru untuk membantu siswa meraih kesuksesan.

McMahon, yang dikenal luas sebagai mantan pegulat profesional di SmackDown WWE, memiliki pengalaman dalam dunia bisnis dan pemerintahan yang dianggap dapat membawa perubahan signifikan di Kementerian Pendidikan. Namun, penunjukan ini datang di tengah-tengah rencana Trump untuk mereformasi sejumlah lembaga pemerintah, termasuk Kementerian Pendidikan. Trump sebelumnya pernah mengkritik lembaga ini sebagai “akal-akalan” dan menuduh kementerian tersebut menghabiskan anggaran besar tanpa memberikan hasil yang maksimal.

Pada saat yang sama, ada dorongan dari Partai Republik untuk menutup Kementerian Pendidikan, karena mereka menentang sentralisasi kebijakan pendidikan dan lebih memilih agar keputusan pendidikan diserahkan kepada negara bagian dan pemerintah daerah. Kelompok konservatif juga menuduh kementerian ini mempromosikan materi yang dianggap tidak pantas, terutama terkait dengan isu-isu gender dan ras, yang menurut mereka mengarah pada “indoktrinasi” generasi muda.

Penunjukan McMahon ini membawa harapan bagi sejumlah pihak, namun juga menuai kontroversi mengingat latar belakangnya yang lebih banyak berkecimpung dalam dunia bisnis dan hiburan, ketimbang pendidikan formal. Meski demikian, Senat telah memberikan dukungan penuh untuk McMahon, yang kini siap menjalankan tugasnya sebagai Menteri Pendidikan AS.

Ramadhan di Gaza: Rakyat Palestina Bertahan di Tengah Reruntuhan

Di tengah kondisi yang masih diliputi ketidakpastian, warga Khan Younis, Gaza, tetap berusaha menyambut bulan suci Ramadhan meski hanya dengan dekorasi sederhana di antara puing-puing bangunan yang hancur. Suasana Ramadhan kali ini terasa berbeda, jauh dari perayaan yang biasa mereka lakukan, karena konflik yang belum sepenuhnya berakhir.

Seorang warga Gaza, Abu Salah Madi (77 tahun), mengungkapkan kesedihannya atas kondisi yang dihadapi masyarakat Palestina saat ini.

“Kami kehilangan rumah, tidak memiliki uang, dan kehabisan cara untuk bertahan hidup,” ucapnya, dikutip dari Reuters, Jumat (28/2/2025).

Ia berharap Ramadhan tahun ini dapat berlangsung tanpa adanya serangan udara yang terus membayangi kehidupan mereka. Selain itu, Abu Salah juga berharap adanya bantuan berupa tenda atau karavan bagi mereka yang kini tak lagi memiliki tempat tinggal.

Pasar Al-Baher Masih Beroperasi, Harga Pangan Lebih Stabil

Di tengah keterbatasan, beberapa pasar di Khan Younis, seperti Pasar Al-Baher, masih beroperasi. Para pedagang merasa sedikit lega karena warga masih bisa membeli daging, sayuran, dan minuman untuk kebutuhan sehari-hari.

Meskipun kondisi belum sepenuhnya pulih, harga bahan makanan kali ini lebih stabil dibandingkan saat pertempuran masih berlangsung. Hal ini memberikan sedikit harapan bagi masyarakat Gaza yang tengah bersiap menjalani bulan penuh ibadah.

Upaya Gencatan Senjata dan Masa Depan Palestina

Sementara itu, upaya untuk memperpanjang fase pertama gencatan senjata masih terus dilakukan. Israel dikabarkan akan mengirim delegasi ke Kairo, Mesir, pada Kamis (27/2/2025), guna membahas kemungkinan perpanjangan gencatan senjata dengan tujuan membebaskan lebih banyak sandera.

Sejak gencatan senjata mulai berlaku pada 19 Januari 2025, Hamas telah menyerahkan empat jenazah sandera. Kesepakatan gencatan senjata yang dirancang dalam tiga tahap ini diharapkan dapat memungkinkan pembebasan 33 sandera Israel di Gaza serta sekitar 2.000 tahanan Palestina yang ditahan di penjara Israel.

Namun, hingga kini masa depan Palestina masih penuh ketidakpastian.

Harapan di Bulan Suci

Di tengah penderitaan dan kehilangan yang begitu besar, warga Gaza hanya bisa berharap Ramadhan tahun ini membawa kedamaian. Mereka juga menantikan lebih banyak bantuan kemanusiaan agar dapat menjalani bulan suci ini dengan sedikit lebih baik.

Meskipun harapan akan perdamaian belum sepenuhnya nyata, semangat warga Gaza untuk tetap bertahan dan menyambut Ramadhan dengan penuh doa menjadi bukti keteguhan mereka dalam menghadapi ujian hidup.

Jerman Kian Konservatif, Migran Hadapi Tantangan Baru

Bagi Mohammad Azmouz, seorang tukang cukur asal Suriah yang kini menetap di Berlin, pemilu Jerman pada Minggu (23/2/2025) menjadi momen bersejarah. Di usianya yang ke-57, ia akhirnya bisa menggunakan hak pilihnya untuk pertama kalinya. Namun, di balik kegembiraan tersebut, ada kekhawatiran besar yang menghantuinya. Lonjakan dukungan terhadap Alternative for Germany (AfD)—partai sayap kanan yang dikenal dengan sikap anti-imigrasinya—membuatnya mempertanyakan masa depannya di negeri ini.

“Mengapa masih ada kebencian terhadap kami? Kami sudah bekerja, membangun kehidupan di sini, dan tidak menjadi beban bagi masyarakat. Kami mencintai rakyat Jerman,” ungkap Azmouz.

Dalam pemilu kali ini, kebijakan terkait suaka dan imigrasi menjadi salah satu isu utama yang mendominasi perdebatan. Hal ini memberi keuntungan bagi kelompok konservatif dan AfD, yang masing-masing menduduki posisi pertama dan kedua dalam hasil pemungutan suara.

Dilema Pemilih Imigran di Tengah Kenaikan Biaya Hidup

Selain meningkatnya sentimen anti-imigran, Azmouz juga mengaku khawatir dengan biaya hidup yang semakin tinggi. Karena itu, ia memutuskan untuk memberikan suaranya kepada partai sayap kiri, Die Linke, yang memperjuangkan keadilan sosial serta menawarkan lebih banyak bantuan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

“Kami merindukan masa-masa ketika Angela Merkel masih berkuasa,” ujarnya, mengenang kepemimpinan mantan kanselir Jerman tersebut. “Sekarang, segalanya terasa lebih mahal. Kami seperti terus berlari, tetapi tak pernah bisa mengejar.”

Kondisi ekonomi yang semakin sulit memang menjadi tantangan bagi banyak warga Jerman, terutama mereka yang berlatar belakang migran. Sebuah penelitian terbaru dari DeZIM mengungkap bahwa 63,4 persen warga migran merasa cemas dengan situasi ekonomi, dibandingkan dengan 46,7 persen warga asli Jerman.

Migran dalam Pemilu: Suara yang Semakin Berpengaruh

Jerman saat ini memiliki jumlah penduduk berlatar belakang migran tertinggi dalam sejarahnya. Diperkirakan lebih dari tujuh juta warga dengan keturunan imigran memenuhi syarat untuk memilih dalam pemilu kali ini, termasuk ratusan ribu mantan pengungsi yang telah menjadi warga negara.

Namun, tidak semua warga migran memiliki pandangan politik yang sama. Mohammed, seorang tukang cukur asal Yordania yang tidak memiliki hak pilih, justru melihat naiknya popularitas AfD sebagai peluang untuk perubahan.

“Jerman berhak melindungi perbatasan dan rakyatnya,” katanya. Ia bahkan mengaku akan memilih AfD jika partai tersebut ada di negaranya sendiri. Menurutnya, komunitas migran juga memiliki tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan aturan di Jerman. Ia mendukung sikap lebih tegas terhadap pelaku kriminal serta pembatasan reunifikasi keluarga pengungsi.

Perubahan Arah Politik di Kalangan Pemilih Migran

Secara historis, Partai Sosial Demokrat (SPD) merupakan pilihan utama bagi pemilih berlatar belakang imigran. Partai ini dikenal karena membela hak-hak pekerja, kesejahteraan sosial, dan kebijakan integrasi. Namun, pada pemilu kali ini, SPD mengalami penurunan dukungan yang cukup signifikan.

Alaa Eddin Mhanna, seorang operator pabrik asal Suriah yang tinggal di Ludwigsfelde, pernah memilih SPD pada pemilu 2021. Namun, tahun ini ia memutuskan untuk tidak mendukung partai tersebut lagi. Menurutnya, kebijakan SPD yang pro-Ukraina telah berdampak negatif pada perekonomian Jerman.

“Saya tidak merasa ada partai yang benar-benar mewakili saya,” ujarnya. Ia juga menilai bahwa melemahnya ekonomi Jerman menjadi faktor utama di balik meningkatnya popularitas AfD.

Masa Depan Jerman di Tangan Kepemimpinan Baru

Meskipun AfD meraih banyak suara, kelompok konservatif diperkirakan tidak akan berkoalisi dengan mereka. Namun, kekuatan mereka sebagai oposisi tetap menjadi hal yang mencemaskan bagi banyak kalangan, termasuk para imigran.

Di tengah ketidakpastian ini, Azmouz berharap bahwa Friedrich Merz, pemimpin baru Jerman, dapat membawa negara ini kembali ke jalur kemakmuran.

“Kami berharap pemimpin yang berkuasa bisa berbelas kasih, tidak hanya kepada para pengungsi, tetapi juga kepada seluruh rakyat Jerman,” tutupnya.

Dengan hasil pemilu yang mencerminkan polarisasi di masyarakat, masa depan Jerman kini bergantung pada bagaimana para pemimpin mengelola kebijakan ekonomi dan imigrasi di tahun-tahun mendatang.

Pesawat Delta Airlines Terbalik, Penumpang Dapat Ganti Rugi Sebesar Rp 490 Juta

Jakarta, 20 Februari 2025 – Delta Airlines mengumumkan akan memberikan kompensasi sebesar 30.000 dolar AS (setara dengan Rp 490 juta) kepada setiap penumpang yang terlibat dalam insiden kecelakaan pesawat yang terjadi pada Senin, 17 Februari 2025, di Bandara Internasional Toronto Pearson, Kanada. Meskipun memberikan kompensasi finansial, pihak maskapai menegaskan bahwa hal ini tidak mengurangi hak hukum para penumpang untuk menuntut lebih lanjut.

Menurut juru bicara Delta Airlines, kompensasi ini diberikan sebagai bentuk perhatian terhadap para korban dan keluarga mereka, namun tidak akan mempengaruhi hak hukum yang dimiliki oleh setiap penumpang untuk mengambil langkah hukum lebih lanjut jika diperlukan. “Kompensasi ini tidak akan mempengaruhi hak-hak hukum yang dimiliki penumpang,” kata perwakilan Delta Airlines.

Penyelidikan Masih Berlangsung
Dewan Keselamatan Transportasi Kanada (TSB) saat ini tengah melakukan penyelidikan menyeluruh mengenai penyebab kecelakaan tersebut. Dalam upaya ini, mereka bekerja sama dengan Administrasi Penerbangan Federal AS (FAA), Delta Airlines, serta Mitsubishi, yang membeli lini pesawat CRJ dari Bombardier pada tahun 2019. Pada tahap awal penyelidikan, pihak berwenang sedang melakukan wawancara dengan saksi dan melakukan analisis terhadap kotak hitam pesawat yang berhasil ditemukan di lokasi kejadian.

Sementara itu, pihak berwenang juga sedang mempersiapkan pesawat yang terlibat kecelakaan untuk dipindahkan dari tempat kejadian. Mereka akan memeriksa landasan pacu untuk memastikan tidak ada kerusakan lebih lanjut sebelum area tersebut dibersihkan dan diserahkan kembali ke otoritas bandara untuk kembali beroperasi.

Penyelidikan Menyentuh Pada Keamanan Pilot
CEO Delta Airlines, Ed Bastian, angkat bicara mengenai spekulasi yang muncul terkait pengalaman pilot yang menerbangkan pesawat tersebut. Dalam keterangannya, Bastian menegaskan bahwa pilot tersebut memiliki pengalaman yang cukup, bahkan sangat terlatih dalam menghadapi kondisi cuaca ekstrem, termasuk salju. “Semua pilot Delta dilatih untuk menghadapi kondisi cuaca ekstrem seperti yang terjadi saat kecelakaan ini,” jelas Bastian.

Meskipun kondisi cuaca yang sangat dingin dan angin kencang turut berkontribusi pada insiden tersebut, Bastian tetap memuji respons cepat dan profesional dari seluruh awak pesawat yang berusaha mengevakuasi penumpang dengan segera setelah kecelakaan terjadi.

Kondisi Penumpang
Delta Airlines juga memberikan informasi terkait kondisi para penumpang yang terluka dalam insiden ini. Pada Rabu, 20 Februari, hanya satu orang dari 21 penumpang yang masih dirawat di rumah sakit, sementara sisanya diperkirakan akan segera pulih. Meskipun kecelakaan ini meninggalkan dampak yang mengerikan, di mana 21 orang mengalami luka-luka dari total 80 orang di pesawat, pihak maskapai memastikan bahwa para korban dalam kondisi stabil dan akan bertahan hidup.

Insiden Lain di Amerika Utara
Kecelakaan pesawat Delta Airlines ini terjadi setelah sebuah insiden tragis lain di Amerika Utara, di mana helikopter Black Hawk milik Angkatan Darat AS bertabrakan dengan pesawat American Airlines di Washington DC, yang mengakibatkan 67 orang tewas. Peristiwa ini semakin memperjelas betapa pentingnya peningkatan keselamatan transportasi udara untuk menghindari kejadian-kejadian serupa di masa depan.

Meskipun kecelakaan ini menambah daftar panjang insiden yang mengguncang dunia penerbangan, Delta Airlines berjanji untuk terus berkomitmen pada keselamatan dan kenyamanan penumpang. Perusahaan berharap langkah kompensasi ini dapat sedikit meringankan beban yang ditanggung oleh korban dan keluarga mereka.