Gaza di Ambang Krisis: UNRWA Serukan Penghentian Blokade dan Akses Bantuan Kemanusiaan

Situasi kemanusiaan di Jalur Gaza semakin hari semakin memburuk akibat blokade berkepanjangan yang diberlakukan oleh Israel. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) pada Minggu (6/4) menyampaikan peringatan serius bahwa stok bantuan kemanusiaan dan logistik penting lainnya mulai menipis secara drastis. Dalam pernyataan resminya, UNRWA mengungkapkan bahwa selama lebih dari satu bulan terakhir, Israel melarang masuknya bantuan kemanusiaan maupun pasokan komersial ke wilayah Gaza, yang membuat kondisi kehidupan warga sipil di sana semakin terpuruk.

UNRWA menambahkan bahwa tim mereka masih berusaha menyalurkan bantuan dengan memanfaatkan sisa-sisa logistik yang tersedia, namun kenyataannya, persediaan kebutuhan dasar seperti makanan, air bersih, dan obat-obatan kini berada pada titik kritis. Situasi ini menimbulkan keprihatinan besar terhadap nasib jutaan warga Gaza, terutama anak-anak, lansia, dan kelompok rentan lainnya, yang selama ini menggantungkan hidup pada bantuan luar.

Dalam seruan terbuka, UNRWA mendesak agar Israel segera menghentikan pengepungan dan membuka kembali jalur akses kemanusiaan menuju Gaza. Mereka menekankan bahwa pembatasan ini tidak hanya melanggar nilai-nilai kemanusiaan, tetapi juga berpotensi menyebabkan bencana kemanusiaan yang lebih luas, termasuk meningkatnya angka kelaparan, penyebaran penyakit, serta keruntuhan sistem kesehatan dan sanitasi.

UNRWA juga meminta perhatian serius dari komunitas internasional untuk tidak tinggal diam dan segera mengambil langkah konkret dalam menekan Israel agar mematuhi kewajiban hukumnya terhadap penduduk sipil di wilayah pendudukan. Diharapkan, tekanan global yang kuat dapat membawa perubahan nyata demi keselamatan dan martabat jutaan nyawa yang kini berada dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan.

Dewan Keamanan PBB Kecam Kekerasan di Suriah, Serukan Perlindungan Warga Sipil

Dewan Keamanan PBB secara bulat mengecam eskalasi kekerasan di Suriah, terutama di Provinsi Latakia dan Tartus. Pernyataan resmi yang disetujui melalui prosedur diam ini menandakan bahwa tidak ada negara anggota yang mengajukan keberatan. Dokumen tersebut dijadwalkan untuk diadopsi secara resmi dalam sidang pada Jumat pagi waktu setempat.

Dalam pernyataannya, Dewan Keamanan menyoroti meningkatnya serangan yang telah menewaskan ratusan warga sipil sejak 6 Maret. Mereka mengutuk keras aksi pembantaian yang menargetkan komunitas Alawite, serta serangan terhadap infrastruktur sipil yang berpotensi memperburuk ketegangan antar kelompok di Suriah. Dewan juga menyerukan kepada otoritas sementara Suriah agar bertanggung jawab dalam menjamin keselamatan seluruh warga, tanpa memandang latar belakang suku atau agama.

Ketegangan di wilayah pesisir Suriah terus meningkat seiring bentrokan antara pasukan keamanan pemerintah dan kelompok pemberontak bersenjata. Berdasarkan data terbaru dari Observatorium HAM Suriah, jumlah korban tewas telah mencapai lebih dari 1.383 orang, dengan sebagian besar berasal dari komunitas Alawite. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran di tingkat internasional terkait kemungkinan eskalasi lebih lanjut yang dapat memperburuk krisis di Suriah.

Sejumlah negara anggota PBB mendesak adanya langkah konkret untuk meredakan ketegangan dan mencari solusi diplomatik guna mengakhiri kekerasan yang terus berlanjut. Namun, hingga kini belum ada langkah signifikan yang disepakati untuk menghentikan pertempuran. Masyarakat internasional berharap pernyataan Dewan Keamanan ini dapat menjadi pijakan awal menuju proses perdamaian yang lebih stabil bagi Suriah.

Pemulangan 40 Etnis Uighur ke China Picu Kecaman Internasional

Pemerintah China menegaskan bahwa hak-hak 40 orang etnis Uighur yang baru saja dipulangkan dari Thailand telah dilindungi secara hukum. Kementerian Luar Negeri China menyatakan bahwa mereka yang sebelumnya ditahan di luar negeri kini telah kembali ke kehidupan normal sesuai dengan hukum yang berlaku. Pernyataan ini disampaikan oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, dalam konferensi pers pada Senin (3/3).

Ke-40 orang Uighur tersebut dipulangkan dari Thailand pada Kamis (27/2) setelah bertahun-tahun ditahan di pusat penahanan Bangkok sejak 2014 akibat melintasi perbatasan secara ilegal. Namun, pemulangan ini menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Volker Türk, yang menilai bahwa deportasi tersebut berisiko membuat mereka mengalami penyiksaan dan penganiayaan di China.

Lin Jian menegaskan bahwa China berkomitmen melindungi hak-hak warga negaranya dan meminta para pakar HAM PBB untuk bersikap adil serta tidak mencampuri urusan hukum negara lain. Ia juga menambahkan bahwa pemulangan tersebut dilakukan berdasarkan hukum domestik China, Thailand, serta hukum internasional.

Meski demikian, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengecam langkah ini, menganggapnya sebagai ancaman serius terhadap hak asasi manusia karena para tahanan tidak mendapatkan proses hukum yang adil. Inggris dan Uni Eropa juga mengkritik keputusan tersebut, mendesak Thailand untuk meninjau kembali kebijakan penanganan pencari suaka Uighur.

Menurut laporan, kelompok ini merupakan bagian dari sekitar 350 etnis Uighur yang ditahan di Thailand sejak 2014. Selama 11 tahun terakhir, lima tahanan Uighur, termasuk dua anak kecil, dilaporkan meninggal akibat kondisi penahanan yang buruk.

Israel Diduga Terlibat dalam Pelarian Mantan Tentara dari Penyelidikan Kejahatan Perang di Brasil

Berita terbaru mengungkapkan bahwa seorang mantan tentara Israel berhasil melarikan diri dari Brasil di tengah penyelidikan terkait tuduhan kejahatan perang. Tentara tersebut, Yuval Vagdani, diduga terlibat dalam perusakan rumah warga sipil selama konflik di Gaza, yang membuatnya menjadi sorotan internasional.

Penyelidikan terhadap Vagdani dimulai setelah Hind Rajab Foundation (HRF), sebuah organisasi yang mendukung Palestina, mengajukan laporan yang mencakup lebih dari 500 halaman bukti, termasuk video dan data geolokasi yang menunjukkan keterlibatan Vagdani dalam serangan terhadap warga sipil selama operasi militer Israel di Gaza. HRF menilai bahwa ini merupakan bagian dari upaya sistematis untuk merusak kawasan sipil di Gaza.

Meskipun telah dikeluarkan perintah penangkapan, Vagdani berhasil melarikan diri dari Brasil dan kembali ke Israel. Media Israel melaporkan bahwa keluarganya menyebutkan dia tidak ditangkap sebelum melarikan diri. Namun, HRF berpendapat bahwa Israel mungkin telah memfasilitasi pelarian ini untuk menghindari proses hukum yang semestinya. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang komitmen Israel terhadap keadilan internasional.

HRF mengkritik pelarian ini sebagai bentuk penghinaan terhadap kedaulatan Brasil dan hukum yang berlaku. Mereka menekankan pentingnya melindungi sistem peradilan dan mendesak pemerintah Brasil untuk bertindak tegas demi memastikan keadilan. Kritik ini juga mencerminkan kekhawatiran bahwa pelarian seperti ini dapat mengancam penegakan hukum di tingkat internasional.

Francesca Albanese, pelapor khusus PBB mengenai hak asasi manusia di Palestina, menyatakan bahwa tindakan hukum terhadap individu yang diduga melakukan kejahatan perang sangatlah penting. Ia mengingatkan bahwa keadilan harus tetap berjalan meskipun ada upaya pelarian atau campur tangan politik. Ini mencerminkan seruan global yang semakin kuat untuk akuntabilitas dalam kasus kejahatan perang.

Dengan pelarian Yuval Vagdani dan dugaan keterlibatan Israel dalam kejadian ini, tahun 2025 diperkirakan akan menjadi tahun yang penuh tantangan bagi sistem hukum internasional. Semua pihak diharapkan untuk merenungkan pentingnya akuntabilitas dalam kasus kejahatan perang dan dampak dari tindakan seperti ini terhadap kepercayaan global terhadap sistem peradilan. Keberhasilan dalam menangani kasus ini akan berpengaruh besar terhadap masa depan hubungan internasional dan penegakan hak asasi manusia.