Gaza di Ambang Kehancuran: Krisis Air Memperburuk Derita Warga

Krisis air di Jalur Gaza telah mencapai titik kritis, dengan 90 persen penduduknya kini tidak memiliki akses terhadap air minum yang layak. UNICEF memperingatkan bahwa kondisi ini mengancam keselamatan jutaan warga, terutama anak-anak yang paling rentan terhadap dampaknya. Rosalia Poulin, pejabat UNICEF di Gaza, menyebutkan bahwa pada November 2024, sekitar 600.000 orang sempat mendapatkan kembali akses air bersih, namun situasi tersebut tidak bertahan lama. Saat ini, mayoritas penduduk kembali menghadapi kesulitan mendapatkan sumber air yang aman dan layak konsumsi.

Badan-badan PBB melaporkan bahwa sekitar 1,8 juta warga Gaza—lebih dari separuhnya adalah anak-anak—membutuhkan bantuan darurat, termasuk pasokan air bersih, sanitasi yang memadai, serta layanan kesehatan. Situasi ini semakin memburuk setelah Israel memutus aliran listrik ke Gaza, menyebabkan fasilitas desalinasi air laut berhenti beroperasi. Tanpa proses penyaringan, pasokan air yang tersedia menjadi sangat terbatas dan berisiko tinggi terkontaminasi. Kondisi ini memperbesar kemungkinan merebaknya penyakit akibat konsumsi air yang tidak layak, seperti diare akut dan infeksi lainnya.

UNICEF menegaskan bahwa tanpa intervensi segera, dampak krisis ini akan semakin meluas, mengancam kesehatan dan kehidupan warga Gaza. Kurangnya air bersih tidak hanya meningkatkan risiko penyakit tetapi juga memperburuk situasi kemanusiaan di wilayah tersebut. Saat ini, penduduk Gaza menghadapi ancaman berlapis, dari konflik berkepanjangan hingga kelangkaan sumber daya esensial yang semakin parah.

Dukungan Eropa untuk Rekonstruksi Gaza, Israel dan AS Menolak

Menteri luar negeri dari Prancis, Jerman, Italia, dan Inggris pada Sabtu (8/3) menyatakan dukungan mereka terhadap inisiatif negara-negara Arab untuk membangun kembali Jalur Gaza yang hancur akibat serangan Israel. Rencana rekonstruksi yang diprakarsai oleh Mesir dan disetujui oleh para pemimpin Arab pada Selasa sebelumnya diperkirakan akan menelan biaya sebesar 53 miliar dolar AS atau sekitar Rp865 triliun. Langkah ini bertujuan untuk mencegah pengusiran warga Palestina dari wilayah tersebut.

Dalam pernyataan bersama, para menteri luar negeri Eropa menilai bahwa rencana tersebut menawarkan solusi realistis yang dapat mempercepat proses pemulihan Gaza dengan cara yang berkelanjutan. Namun, rencana ini mendapat penolakan dari Israel dan Presiden AS, Donald Trump, yang sebelumnya justru mengusulkan pemindahan warga Palestina dari Gaza, suatu gagasan yang memicu kecaman luas dari berbagai pihak.

Rencana rekonstruksi tersebut mencakup pembentukan sebuah komite administratif yang akan diawaki oleh teknokrat Palestina yang bersifat independen dan profesional. Komite ini akan bertanggung jawab untuk mengawasi distribusi bantuan kemanusiaan serta menangani berbagai urusan di Gaza di bawah pengawasan Otoritas Palestina (PA).

Dukungan dari negara-negara Eropa diharapkan dapat memperkuat posisi negara-negara Arab dalam mewujudkan rencana tersebut. Sementara itu, ketegangan politik semakin meningkat akibat penolakan Israel dan AS terhadap upaya ini, yang menandakan perbedaan sikap yang tajam dalam menangani krisis kemanusiaan di Gaza.

Houthi Beri Israel Tenggat Waktu, Ancam Lanjutkan Serangan di Laut Merah

Pemimpin kelompok Houthi, Abdul Malik al-Houthi, memberikan Israel tenggat waktu empat hari untuk mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza. Jika tuntutan ini tidak dipenuhi, Houthi mengancam akan kembali melancarkan operasi militer di perairan Laut Merah. Peringatan ini disampaikan dalam pidatonya yang disiarkan oleh TV Al-Masirah, yang berafiliasi dengan kelompok tersebut.

Al-Houthi menuduh Israel melanggar kesepakatan gencatan senjata yang telah disepakati, serta menggunakan strategi kelaparan sebagai senjata perang terhadap warga Gaza. Ia menegaskan bahwa tindakan semacam ini tidak bisa dibiarkan. “Kami memberikan waktu empat hari kepada para mediator,” ujarnya. “Jika dalam periode itu bantuan tetap dicegah masuk ke Gaza dan penyeberangan masih ditutup, kami akan kembali menyerang kapal-kapal yang berafiliasi dengan Israel.”

Sejak November 2023, kelompok Houthi telah melakukan serangan rudal dan drone ke arah target Israel serta kapal-kapal dagang di Laut Merah sebagai bentuk solidaritas terhadap Gaza. Serangan-serangan tersebut meningkatkan ketegangan di kawasan dan memicu respons dari negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat dan Inggris.

Sementara itu, pada Minggu, Israel memblokir masuknya bantuan ke Gaza setelah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menolak memulai tahap kedua negosiasi gencatan senjata dengan Hamas. Sejak serangan Israel dimulai pada Oktober 2023, lebih dari 48.400 warga Palestina dilaporkan tewas dan lebih dari 111.800 lainnya mengalami luka-luka. Gencatan senjata yang sempat berlaku sejak 19 Januari telah memungkinkan pertukaran tahanan, namun belum menghasilkan solusi jangka panjang bagi krisis kemanusiaan yang terjadi.

PBB Alokasikan Rp1,8 Triliun untuk Tangani 10 Krisis Kemanusiaan Terabaikan

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengumumkan alokasi dana sebesar 110 juta dolar AS atau sekitar Rp1,8 triliun untuk membantu menangani 10 krisis kemanusiaan yang kurang mendapat perhatian di berbagai negara di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Dalam pernyataan resminya pada Kamis (6/3), Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) menyoroti penurunan drastis pendanaan global untuk bantuan kemanusiaan, yang diperkirakan mencapai titik terendah dalam sejarah pada tahun ini. Saat ini, lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia membutuhkan bantuan darurat.

Wakil Sekretaris Jenderal Urusan Kemanusiaan dan Koordinator Bantuan Darurat OCHA, Tom Fletcher, menegaskan bahwa pemotongan anggaran tidak menghilangkan kebutuhan kemanusiaan bagi negara-negara yang menghadapi konflik, dampak perubahan iklim, dan ketidakstabilan ekonomi. Oleh karena itu, pendanaan darurat harus segera dialokasikan ke wilayah yang paling membutuhkan.

Sepertiga dari anggaran tersebut akan difokuskan untuk membantu Sudan dan Chad yang tengah menghadapi krisis akibat kekerasan, pengungsian massal, dan ancaman kelaparan. Selain itu, bantuan juga akan diberikan ke Afganistan, Republik Afrika Tengah, Honduras, Mauritania, Niger, Somalia, Venezuela, dan Zambia. Dana tersebut juga digunakan untuk memperkuat perlindungan bagi komunitas rentan yang terdampak perubahan iklim.

Sepanjang tahun 2024, alokasi dana ini diperkirakan dapat membantu lebih dari 3 juta orang yang terkena dampak krisis di 10 negara tersebut. Namun, komunitas kemanusiaan global masih membutuhkan hampir 45 miliar dolar AS untuk menolong 185 juta orang yang paling rentan di seluruh dunia. Sayangnya, hingga saat ini, hanya 5 persen dari anggaran tersebut yang telah tersedia, meninggalkan defisit lebih dari 42 miliar dolar AS.

Arab Saudi dan Mesir Kecam Israel atas Penghentian Bantuan ke Gaza

Arab Saudi mengutuk keras keputusan Israel yang menangguhkan bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza meskipun telah ada kesepakatan sebelumnya. Pernyataan ini disampaikan oleh Kementerian Luar Negeri Arab Saudi pada Minggu, menegaskan bahwa tindakan Israel merupakan bentuk hukuman kolektif yang bertentangan dengan hukum internasional. Langkah ini diumumkan setelah Hamas menolak usulan Steve Witkoff, utusan AS untuk Timur Tengah, terkait perpanjangan fase pertama gencatan senjata.

Arab Saudi mendesak komunitas internasional untuk bertindak tegas terhadap Israel serta memastikan kelangsungan distribusi bantuan kemanusiaan bagi rakyat Gaza. Menurut Riyadh, penggunaan bantuan sebagai alat tekanan politik sangat tidak dapat diterima, terutama saat kondisi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk.

Mesir juga mengecam keputusan Israel dengan menyatakan bahwa kebijakan tersebut menunjukkan upaya mencapai tujuan politik dengan mengorbankan nyawa warga sipil. Kementerian Luar Negeri Mesir menegaskan bahwa tindakan ini menjadi semakin tidak dapat dibenarkan karena dilakukan saat Bulan Suci Ramadan, momen yang seharusnya mengedepankan solidaritas dan perdamaian.

Sementara itu, rencana gencatan senjata yang diajukan Steve Witkoff mencakup penghentian konflik selama Ramadan hingga Paskah, yang berlangsung sekitar satu setengah bulan. Usulan ini juga mencakup pembebasan separuh sandera Israel di Gaza pada hari pertama gencatan senjata, dengan pembebasan penuh jika kesepakatan permanen tercapai. Ramadan tahun ini berlangsung dari 28 Februari hingga 29 Maret, sementara Paskah Yahudi akan dirayakan pada 12 hingga 19 April.