Hamas Kecam Israel atas Penundaan Penarikan Pasukan di Gaza: Langgar Kesepakatan Gencatan Senjata

Hamas mengutuk tindakan Israel yang menunda penarikan pasukannya dari Koridor Philadelphia di Gaza tengah, menyebutnya sebagai pelanggaran terhadap kesepakatan gencatan senjata. Dalam pernyataannya pada Senin, Hamas mendesak para mediator untuk segera bertindak dan menekan Israel agar memenuhi kewajibannya, termasuk menarik pasukan serta melanjutkan negosiasi tahap kedua. Hamas menegaskan bahwa Israel telah gagal mematuhi jadwal penarikan yang telah disepakati, di mana seharusnya tahap pertama berakhir pada hari ke-50, yakni Ahad lalu.

Kelompok ini menuduh Israel sengaja menunda proses tersebut sebagai taktik untuk merusak kesepakatan. Hamas juga mengecam keputusan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang dinilai memperpanjang tahap pertama demi mendapatkan lebih banyak sandera Israel tanpa menjalankan komitmen militernya. Mereka menilai bahwa langkah tersebut bukan hanya pelanggaran terang-terangan terhadap perjanjian, tetapi juga upaya untuk mengabaikan substansi kesepakatan yang telah dimediasi oleh Mesir dan Qatar dengan dukungan Amerika Serikat.

Dalam pernyataannya, Hamas menegaskan bahwa menghormati perjanjian adalah satu-satunya cara untuk memastikan pembebasan sandera dan menghindari permainan politik atas nasib mereka. Penundaan lebih lanjut dinilai hanya akan memperburuk situasi dan mempermainkan perasaan keluarga para sandera. Perjanjian gencatan senjata yang mulai berlaku sejak 19 Januari 2025 tersebut terdiri atas tiga tahap, masing-masing berlangsung selama 42 hari. Namun, Israel hingga kini enggan beranjak ke tahap kedua yang seharusnya dimulai pada awal Maret. Hamas pun menuntut tanggapan cepat dari masyarakat internasional agar Israel segera menarik pasukannya dan melanjutkan proses negosiasi sesuai dengan kesepakatan awal.

Houthi Beri Israel Tenggat Waktu, Ancam Lanjutkan Serangan di Laut Merah

Pemimpin kelompok Houthi, Abdul Malik al-Houthi, memberikan Israel tenggat waktu empat hari untuk mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza. Jika tuntutan ini tidak dipenuhi, Houthi mengancam akan kembali melancarkan operasi militer di perairan Laut Merah. Peringatan ini disampaikan dalam pidatonya yang disiarkan oleh TV Al-Masirah, yang berafiliasi dengan kelompok tersebut.

Al-Houthi menuduh Israel melanggar kesepakatan gencatan senjata yang telah disepakati, serta menggunakan strategi kelaparan sebagai senjata perang terhadap warga Gaza. Ia menegaskan bahwa tindakan semacam ini tidak bisa dibiarkan. “Kami memberikan waktu empat hari kepada para mediator,” ujarnya. “Jika dalam periode itu bantuan tetap dicegah masuk ke Gaza dan penyeberangan masih ditutup, kami akan kembali menyerang kapal-kapal yang berafiliasi dengan Israel.”

Sejak November 2023, kelompok Houthi telah melakukan serangan rudal dan drone ke arah target Israel serta kapal-kapal dagang di Laut Merah sebagai bentuk solidaritas terhadap Gaza. Serangan-serangan tersebut meningkatkan ketegangan di kawasan dan memicu respons dari negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat dan Inggris.

Sementara itu, pada Minggu, Israel memblokir masuknya bantuan ke Gaza setelah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menolak memulai tahap kedua negosiasi gencatan senjata dengan Hamas. Sejak serangan Israel dimulai pada Oktober 2023, lebih dari 48.400 warga Palestina dilaporkan tewas dan lebih dari 111.800 lainnya mengalami luka-luka. Gencatan senjata yang sempat berlaku sejak 19 Januari telah memungkinkan pertukaran tahanan, namun belum menghasilkan solusi jangka panjang bagi krisis kemanusiaan yang terjadi.

AS Lakukan Dialog Rahasia dengan Hamas, Apa yang Dibahas?

Pemerintah Amerika Serikat secara resmi mengakui tengah menjalin komunikasi langsung dengan kelompok perlawanan Palestina, Hamas. Juru bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, menegaskan bahwa dialog tersebut dilakukan demi kepentingan AS dan tetap berkoordinasi dengan Israel. Kendati demikian, ia menolak membeberkan rincian pembicaraan, termasuk apakah diskusi tersebut mencakup usulan Presiden Donald Trump terkait kemungkinan AS mengambil alih Jalur Gaza atau hanya membahas upaya pembebasan sandera Israel.

Laporan dari Axios mengungkapkan bahwa dalam beberapa pekan terakhir, pembicaraan rahasia berlangsung di Qatar dengan Adam Boehler, utusan presiden AS untuk urusan sandera, sebagai pemimpin delegasi AS. Leavitt pun mengonfirmasi kebenaran laporan tersebut. Sementara itu, kesepakatan gencatan senjata tahap pertama yang diberlakukan sejak 19 Januari kini tidak lagi berlaku setelah Israel menolak negosiasi tahap kedua dan justru meminta perpanjangan tahap pertama. Di sisi lain, Hamas menuntut agar kesepakatan baru mencakup penarikan penuh pasukan Israel dari Jalur Gaza serta penghentian agresi militer.

Ketegangan ini semakin meningkat setelah Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada November lalu mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, serta mantan Menteri Pertahanan, Yoav Gallant. Keduanya didakwa atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan terkait serangan di Gaza. Selain itu, Israel juga menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) akibat serangannya yang menimbulkan korban sipil dalam jumlah besar di wilayah tersebut.

Arab Saudi dan Mesir Kecam Israel atas Penghentian Bantuan ke Gaza

Arab Saudi mengutuk keras keputusan Israel yang menangguhkan bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza meskipun telah ada kesepakatan sebelumnya. Pernyataan ini disampaikan oleh Kementerian Luar Negeri Arab Saudi pada Minggu, menegaskan bahwa tindakan Israel merupakan bentuk hukuman kolektif yang bertentangan dengan hukum internasional. Langkah ini diumumkan setelah Hamas menolak usulan Steve Witkoff, utusan AS untuk Timur Tengah, terkait perpanjangan fase pertama gencatan senjata.

Arab Saudi mendesak komunitas internasional untuk bertindak tegas terhadap Israel serta memastikan kelangsungan distribusi bantuan kemanusiaan bagi rakyat Gaza. Menurut Riyadh, penggunaan bantuan sebagai alat tekanan politik sangat tidak dapat diterima, terutama saat kondisi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk.

Mesir juga mengecam keputusan Israel dengan menyatakan bahwa kebijakan tersebut menunjukkan upaya mencapai tujuan politik dengan mengorbankan nyawa warga sipil. Kementerian Luar Negeri Mesir menegaskan bahwa tindakan ini menjadi semakin tidak dapat dibenarkan karena dilakukan saat Bulan Suci Ramadan, momen yang seharusnya mengedepankan solidaritas dan perdamaian.

Sementara itu, rencana gencatan senjata yang diajukan Steve Witkoff mencakup penghentian konflik selama Ramadan hingga Paskah, yang berlangsung sekitar satu setengah bulan. Usulan ini juga mencakup pembebasan separuh sandera Israel di Gaza pada hari pertama gencatan senjata, dengan pembebasan penuh jika kesepakatan permanen tercapai. Ramadan tahun ini berlangsung dari 28 Februari hingga 29 Maret, sementara Paskah Yahudi akan dirayakan pada 12 hingga 19 April.

Hamas Peringatkan Trump: Hanya Gencatan Senjata yang Bisa Kembalikan Sandera Israel

Pejabat senior Hamas, Sami Abu Zuhri, memperingatkan Presiden AS Donald Trump bahwa satu-satunya cara untuk membebaskan para sandera Israel adalah dengan menghormati perjanjian gencatan senjata antara Israel dan Hamas. Dalam pernyataannya kepada Reuters pada Selasa (11/2/2025), Zuhri menegaskan bahwa kedua belah pihak harus menaati kesepakatan yang telah dibuat. “Trump harus mengingat bahwa ada perjanjian yang harus dihormati oleh kedua pihak, dan ini adalah satu-satunya cara untuk membebaskan para sandera. Ancaman tidak akan menyelesaikan masalah, justru semakin memperumit keadaan,” katanya.

Sebelumnya, Trump menyatakan pada Senin bahwa ia mempertimbangkan untuk membatalkan gencatan senjata dan membiarkan situasi semakin memburuk jika semua sandera Israel yang ditahan Hamas tidak dibebaskan sebelum Sabtu mendatang. Hamas sendiri telah menunda pembebasan sandera hingga ada pemberitahuan lebih lanjut, dengan alasan Israel melanggar perjanjian gencatan senjata karena masih melanjutkan serangan di Jalur Gaza.

Selain itu, Trump juga menimbulkan kemarahan dunia Arab setelah mengusulkan agar Amerika Serikat mengambil alih Gaza, memindahkan lebih dari dua juta penduduknya, dan mengubah kawasan tersebut menjadi “Riviera di Timur Tengah.” Rencana kontroversial ini menjadi salah satu agenda dalam pertemuan antara Trump dan Raja Yordania, Abdullah, pada Selasa waktu AS. Pertemuan tersebut diperkirakan berlangsung tegang karena Trump juga mengancam akan memotong bantuan ke Yordania jika negara itu menolak menerima warga Palestina yang dipindahkan dari Gaza.

Pemindahan paksa penduduk di bawah pendudukan militer merupakan pelanggaran hukum internasional dan dikategorikan sebagai kejahatan perang berdasarkan Konvensi Jenewa 1949. Perang di Gaza, yang dipicu serangan Hamas ke wilayah Israel pada 7 Oktober 2023, telah dihentikan sejak pertengahan Januari melalui perjanjian gencatan senjata yang dimediasi oleh Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat.