Serangan Rudal Tewaskan Tiga Orang, Putin Tawarkan Dialog dengan Trump di Hari ke-1.030 Perang

Perang antara Rusia dan Ukraina memasuki fase yang semakin memanas, dengan tanggal 19 Desember 2024 menandai hari ke-1.030 dari konflik yang tak kunjung reda. Pada hari itu, dua peristiwa besar terjadi: serangan rudal Rusia yang menewaskan tiga warga sipil di wilayah Kharkiv, dan pernyataan Presiden Rusia Vladimir Putin yang menyatakan siap untuk berunding kapan saja dengan Presiden terpilih AS, Donald Trump.

Putin Siap Berunding dengan Trump

Dalam konferensi pers pada Kamis (19/12), Putin menyampaikan kesiapan Rusia untuk berdialog dengan Presiden terpilih AS, Donald Trump, mengenai situasi Ukraina. Putin mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki jadwal pasti mengenai pertemuan dengan Trump, namun ia akan menyambut baik kesempatan untuk berbicara. “Saya siap kapan saja,” ujar Putin, menanggapi potensi pertemuan dengan Trump yang direncanakan pada Januari 2025, ketika Trump kembali menjabat di Gedung Putih.

Donald Trump, yang sebelumnya telah berjanji akan segera menemukan solusi damai untuk Ukraina, menjadi sorotan. Namun, kepulangannya ke kekuasaan memunculkan kekhawatiran di Kyiv, karena Trump diyakini bisa menekan Ukraina untuk menerima perdamaian dengan syarat yang menguntungkan Rusia. Sementara itu, Putin juga mengungkapkan rasa optimisnya bahwa jika dialog dengan Trump berlangsung, banyak hal yang dapat dibicarakan, dengan Rusia siap untuk melakukan negosiasi dan kompromi.

Serangan Rudal Rusia Tewaskan Tiga Orang di Kharkiv

Di sisi lain, meski ada pernyataan optimis mengenai kemungkinan dialog, situasi di lapangan masih jauh dari damai. Pada hari yang sama, serangan rudal Rusia mengguncang desa Shevchenkove di wilayah Kharkiv timur. Serangan ini menewaskan tiga orang dan melukai beberapa lainnya. Polisi setempat melaporkan bahwa dua wanita tewas akibat serangan rudal Iskander yang diluncurkan pada pukul 13.00 GMT. Selain itu, seorang pria juga terluka parah.

Desa Shevchenkove merupakan salah satu daerah yang menjadi fokus pasukan Rusia, yang terus berusaha merebut kembali kota Kupiansk—wilayah yang sempat dikuasai pasukan Ukraina pada tahun 2022. Meskipun pasukan Ukraina berhasil merebut kembali wilayah tersebut melalui serangan kilat, pasukan Rusia kini kembali berusaha merebutnya dengan kekuatan yang lebih besar.

Dengan pasukan Ukraina yang jumlahnya terbatas dan perlengkapan yang tidak sebanding dengan kekuatan Rusia, kondisi di wilayah Kharkiv dan Donetsk semakin terdesak. Banyak analis yang memperkirakan bahwa pasukan Rusia akan terus mendominasi wilayah ini, berusaha memperluas kontrol mereka di sepanjang garis depan yang semakin menipis.

Masa Depan yang Tidak Pasti

Konflik ini masih menunjukkan tanda-tanda ketegangan yang tinggi, dengan sedikit harapan untuk kesepakatan damai dalam waktu dekat. Perang yang telah berlangsung lebih dari dua tahun ini tidak hanya menyebabkan kehancuran fisik, tetapi juga menguji ketahanan mental masyarakat Ukraina dan Rusia. Sementara dunia menunggu perkembangan lebih lanjut, kemajuan diplomasi dan serangan-serangan militer tetap menjadi bagian dari kenyataan yang tak terelakkan.

Apakah pertemuan antara Putin dan Trump akan membawa perubahan, ataukah serangan-serangan seperti yang terjadi di Kharkiv akan semakin memperburuk keadaan? Semua ini masih menjadi pertanyaan besar yang harus dijawab dalam hari-hari mendatang.

Human Rights Watch Sebut Perang Israel Di Gaza Sebuah Genosida

Jakarta – Laporan terbaru dari organisasi hak asasi manusia internasional, Human Rights Watch (HRW), menyebutkan bahwa perang yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok militan Hamas di Gaza telah memenuhi unsur-unsur genosida. Laporan ini merujuk pada serangan militer Israel yang dinilai telah menargetkan warga sipil secara sistematis, serta infrastruktur sipil di wilayah Gaza, yang dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap hukum internasional.

Alasan Human Rights Watch Menyebutnya Sebagai Genosida
Dalam laporan yang diterbitkan hari ini, HRW mengungkapkan bahwa serangan Israel terhadap wilayah sipil di Gaza, termasuk rumah, sekolah, rumah sakit, dan pasar, tidak hanya merusak infrastruktur tetapi juga menyebabkan kematian massal yang tidak sebanding dengan tujuan militer yang sah. Organisasi ini mengutip bukti-bukti dari lokasi serangan dan wawancara dengan saksi mata yang menunjukkan bahwa serangan tersebut dilakukan secara terkoordinasi dan tidak membedakan antara sasaran militer dan sipil. HRW menilai tindakan ini sebagai upaya untuk menghilangkan sebagian besar populasi Palestina di Gaza.

Pernyataan Pemerintah Israel dan Respons Internasional
Pemerintah Israel melalui juru bicaranya membantah tuduhan genosida tersebut, menyatakan bahwa operasi militer mereka di Gaza adalah bagian dari upaya untuk melawan terorisme yang dilakukan oleh Hamas, yang dianggapnya sebagai organisasi teroris. Israel juga menegaskan bahwa mereka telah berusaha menghindari korban sipil sebanyak mungkin dengan mengeluarkan peringatan sebelum serangan. Namun, berbagai negara dan organisasi internasional lainnya mulai mendesak adanya penyelidikan independen terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia ini.

Dampak Bagi Penduduk Gaza dan Upaya Penyelesaian Konflik
Sejak awal konflik, ribuan warga Gaza telah kehilangan nyawa, dan ratusan ribu lainnya terpaksa mengungsi akibat serangan udara dan darat. HRW menekankan bahwa krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung di Gaza semakin memburuk, dengan kebutuhan dasar seperti makanan, air, dan perawatan medis yang semakin sulit didapatkan. Upaya internasional untuk menengahi gencatan senjata terus dilakukan, namun jalan menuju perdamaian yang adil dan berkelanjutan masih terjalin sangat sulit.

100 Tentara Korut Gugur Dalam Perang Rusia Melawan Ukraina

Pada 19 Desember 2024, laporan terbaru mengungkapkan bahwa sekitar 100 tentara dari Korea Utara (Korut) tewas dalam pertempuran yang berlangsung antara Rusia dan Ukraina. Tentara Korut yang tergabung dalam pasukan militer Rusia telah terlibat dalam sejumlah pertempuran besar di wilayah Donbas, Ukraina. Korut sebelumnya diketahui telah memberikan dukungan militer kepada Rusia sejak awal konflik, namun jumlah korban jiwa yang signifikan ini baru terungkap melalui sumber-sumber yang terverifikasi.

Sejak awal invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, Korea Utara telah memberikan dukungan dalam bentuk pasukan, logistik, dan peralatan militer. Meskipun Korut tidak secara terbuka mengungkapkan partisipasinya dalam pertempuran, laporan-laporan menunjukkan bahwa mereka mengirimkan tentara sebagai bagian dari “pasukan sukarelawan” yang berjuang di garis depan bersama pasukan Rusia. Kehadiran tentara Korut semakin memperburuk ketegangan internasional terkait dengan peran negara tersebut dalam mendukung agresi militer Rusia.

Korea Utara diperkirakan terlibat dalam konflik Rusia-Ukraina karena sejumlah alasan, termasuk hubungan bilateral yang kuat dengan Rusia dan keinginan untuk mempererat aliansi dalam menghadapi tekanan internasional. Dukungan militer dari Korut kepada Rusia juga dipandang sebagai upaya untuk mengamankan keuntungan strategis dan memperkuat posisinya di panggung dunia. Selain itu, Korut seringkali mencari kesempatan untuk mengembangkan kemampuan militer dan teknologi mereka melalui kerjasama dengan negara-negara besar, termasuk Rusia.

Kematian 100 tentara Korut dalam pertempuran ini diperkirakan akan memiliki dampak signifikan terhadap hubungan internasional, khususnya dengan negara-negara barat. Insiden ini semakin memperburuk citra Korea Utara di mata dunia, terutama dalam hal keterlibatannya dalam konflik yang melibatkan negara-negara besar. Meskipun Korut mungkin tidak secara terbuka mengakui kerugian ini, peristiwa ini dapat menambah ketegangan di kawasan dan memperburuk dinamika politik di Asia dan Eropa.

Kehadiran tentara Korut juga mempengaruhi strategi kedua belah pihak dalam perang ini. Bagi Rusia, kehilangan sejumlah tentara dari negara sekutunya menunjukkan tantangan yang semakin besar dalam mempertahankan posisi mereka di Ukraina. Di sisi lain, pasukan Ukraina terus meningkatkan daya serang mereka dengan dukungan dari negara-negara barat, yang mungkin memperburuk situasi bagi tentara-tentara yang terlibat di pihak Rusia dan sekutunya. Pengorbanan tentara Korut dalam konflik ini menambah kompleksitas perang yang sudah berjalan cukup lama.

Meskipun keterlibatan Korea Utara dalam perang ini tidak sebesar negara-negara utama lainnya, kematian 100 tentara Korut mencerminkan dampak jangka panjang yang mungkin timbul dari aliansi militer dengan Rusia. Ketegangan internasional diperkirakan akan semakin meningkat, dengan negara-negara seperti Amerika Serikat dan negara-negara sekutu NATO kemungkinan akan meningkatkan tekanan terhadap Korut dan Rusia. Perang ini juga menunjukkan betapa pentingnya dinamika politik dan militer global dalam menentukan arah masa depan keamanan internasional.

Terpukul Jatuhnya Assad: Apa Masa Depan Rezim Iran?

Kejatuhan rezim Bashar Al Assad di Suriah menjadi momen yang memicu harapan sekaligus kekhawatiran di kalangan masyarakat Iran. Dalam laporan yang dikutip dari media Jerman, Deutsche Welle (DW), banyak warga Iran yang melihat runtuhnya Assad sebagai simbol potensi perubahan di negara mereka. Hal ini tak lepas dari hubungan dekat Suriah dengan Iran, yang telah menjadi sekutu utama dalam strategi geopolitik regional. Kejatuhan Assad, yang sudah berkuasa lebih dari setengah abad, diyakini memiliki dampak besar pada situasi sosial dan politik di Iran.

Bagi banyak orang di Iran, Suriah bukan hanya sekedar sekutu strategis, tetapi juga cermin bagi perjuangan mereka melawan rezim otoriter. Suriah menjadi tempat di mana Iran melihat bagaimana sebuah pemerintah otoriter dapat bertahan dan berkembang meski dihadapkan pada tantangan besar. Dengan kebijakan yang keras terhadap oposisi dan perbedaan pendapat, rezim Iran mirip dengan rezim Assad yang kini mulai goyah. Di tengah ketegangan ini, para aktivis dan masyarakat Iran mulai merasakan secercah harapan akan kemungkinan perubahan, meski harus dibarengi dengan kehati-hatian yang mendalam.

Reaksi terhadap peristiwa tersebut terasa nyata di seluruh lapisan masyarakat Iran. Kekecewaan terhadap pemerintah Iran semakin mendalam, terutama setelah tindakan represif terhadap gerakan “Perempuan, Kehidupan, Kebebasan” yang menewaskan ratusan orang dan memenjarakan ribuan lainnya. Hal ini memicu kekhawatiran bagi pemimpin tertinggi Iran, Ali Khamenei, yang dengan tegas mengeluarkan peringatan agar tidak ada pihak yang meragukan kestabilan rezimnya. Peringatan ini mencerminkan betapa besar rasa takut rezim Iran akan terjadinya efek domino seperti yang terjadi di Suriah.

Hossein Razzagh, seorang aktivis politik yang juga mantan tahanan, mengatakan bahwa kejatuhan Assad sangat mengganggu para pendukung setia rezim Iran. Mereka yang selama ini mendukung sistem pemerintahan ini, terutama yang berasal dari keluarga elite penguasa dan kelompok militer, kini mulai meragukan masa depan Iran. Bahkan di antara keluarga para pejuang yang telah tewas di Suriah, muncul pertanyaan besar tentang apakah Iran sendiri berada di ambang kehancuran. Razzagh menilai bahwa kejatuhan Assad mengungkapkan betapa rentannya posisi rezim Iran yang sangat bergantung pada dukungan eksternal.

Tidak hanya pendukung pemerintah yang terkejut, tetapi juga banyak warga Iran yang semakin merasa pesimis dengan kondisi negara mereka. Ketidakpuasan terhadap korupsi, ketidakmampuan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar, serta kerusakan lingkungan, semakin memperburuk citra pemerintah. Pemadaman listrik yang berkepanjangan dan polusi udara yang semakin parah di Teheran menjadi contoh nyata dari kegagalan rezim dalam menangani masalah domestik.

Namun, meskipun situasi semakin memburuk, ada yang berpendapat bahwa Iran tidak akan serta-merta mengikuti jejak Suriah. Hassan Asadi Zeidabadi, seorang aktivis politik, mengatakan bahwa meski ada kesamaan dalam dinamika politik kawasan, tidak ada jaminan bahwa Iran akan mengalami nasib yang sama seperti Suriah. Ketidakpuasan yang semakin dalam memang semakin memperburuk hubungan antara rakyat dan pemerintah, namun untuk saat ini, gerakan perubahan mungkin tidak akan langsung terjadi.

Di sisi lain, beberapa aktivis, seperti Mehdi Mahmoudian, menilai bahwa rezim Iran telah kehilangan legitimasi dan semakin tidak efektif dalam menjalankan pemerintahannya. Mereka yang pernah mendukung rezim kini mulai mempertanyakan apakah sistem ini masih dapat bertahan dalam menghadapi krisis internal dan tekanan eksternal. Mahmoudian menyarankan agar negara-negara Barat fokus pada penguatan masyarakat sipil di Iran dan mengadopsi pendekatan yang lebih strategis untuk mendukung perubahan tanpa harus melakukan intervensi langsung.

Dengan berkurangnya pengaruh Iran di kawasan akibat penggulingan Assad, banyak warga Iran yang kini bertanya-tanya, apakah momen perubahan untuk negara mereka sudah semakin dekat. Para aktivis dan rakyat Iran terus berharap agar peluang untuk meraih kebebasan dan perubahan semakin terbuka, meskipun tantangan dan risiko yang dihadapi sangat besar.

Menhan Yoav Katz Sebutkan Israel Akan Tetap Pegang Kendali Atas Gaza Usai Perang

Menteri Pertahanan Israel, Yoav Katz, menyatakan bahwa Israel akan tetap memegang kendali atas Gaza setelah berakhirnya perang yang sedang berlangsung. Pernyataan ini disampaikan dalam sebuah konferensi pers, yang menimbulkan berbagai reaksi dan kekhawatiran dari banyak pihak, terutama negara-negara Arab dan masyarakat internasional.

Menhan Katz mengungkapkan bahwa meskipun konflik saat ini tengah berlangsung sengit, pihaknya berencana untuk memastikan keamanan dan stabilitas di wilayah Gaza dalam jangka panjang. Israel akan terus menjaga kontrol atas kawasan tersebut untuk mencegah adanya ancaman dari kelompok militan Hamas yang beroperasi di sana. Menurut Katz, meskipun peperangan bisa berakhir, tantangan besar tetap ada dalam menciptakan perdamaian yang langgeng di wilayah tersebut.

Pernyataan ini mendapat banyak kecaman dari berbagai pihak di timur tengah dan negara-negara Barat yang menganggapnya sebagai langkah yang dapat memperburuk ketegangan antara Israel dan Palestina. Beberapa pihak khawatir bahwa pendudukan jangka panjang atas Gaza akan semakin memperburuk kondisi kemanusiaan di wilayah yang sudah dilanda perang dan krisis tersebut. Negara-negara seperti Mesir dan Turki mengkritik keras keputusan tersebut dan menyerukan dialog untuk mencapai penyelesaian damai.

Pertanyaan besar kini muncul mengenai masa depan Gaza dan apakah Israel akan berhasil mewujudkan stabilitas jangka panjang. Meskipun Israel mengklaim bahwa langkah ini diperlukan untuk mencegah ancaman dari militan, para analis menilai bahwa kehadiran militer yang terus-menerus di Gaza berpotensi menambah ketegangan dan memperpanjang konflik yang sudah berlangsung selama puluhan tahun.

Keputusan Israel untuk tetap mengendalikan Gaza usai perang menimbulkan kekhawatiran akan escalasi konflik yang lebih besar. Dalam menghadapi tantangan besar ini, komunitas internasional diharapkan dapat berperan dalam meredakan ketegangan dan mendorong langkah-langkah yang dapat membawa perdamaian bagi wilayah tersebut.

Gedung Putih menyebutkan Puluhan Tentara Korea Utara Terjatuh Dalam Perang Di Ukraina

Pemerintah Amerika Serikat melalui Gedung Putih mengonfirmasi bahwa puluhan tentara asal Korea Utara dilaporkan tewas dalam pertempuran yang terjadi di Ukraina. Dalam pernyataan yang dirilis pada hari ini, pejabat Gedung Putih menyebutkan bahwa tentara Korea Utara terlibat langsung dalam konflik sebagai bagian dari upaya Rusia mendukung perangnya melawan Ukraina. Penyebaran pasukan asing, termasuk tentara dari negara-negara sekutu Rusia, menjadi topik yang semakin memprihatinkan di kalangan masyarakat internasional.

Sejak awal invasi Rusia ke Ukraina, berbagai laporan mengenai keterlibatan pasukan asing dalam konflik ini mulai muncul. Rusia yang menghadapi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pasukan, tampaknya meminta bantuan dari negara-negara sekutunya, salah satunya Korea Utara. Gedung Putih menyatakan bahwa tentara Korea Utara yang terjatuh di medan perang berjumlah puluhan, dengan beberapa di antaranya dilaporkan tewas dalam pertempuran sengit di wilayah Donbas dan Kherson. Keterlibatan tentara Korea Utara ini semakin memperburuk ketegangan geopolitik di kawasan tersebut.

Keterlibatan Korea Utara dalam perang Ukraina menambah kompleksitas konflik ini. Meskipun Korea Utara telah lama menjadi sekutu Rusia, pengiriman tentara ke medan perang mengundang kecaman dari banyak negara. Negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat, menilai tindakan ini sebagai eskalasi yang berbahaya dan memperpanjang ketegangan di kawasan Eropa Timur. Organisasi internasional, termasuk PBB, mendesak agar negara-negara yang terlibat dalam konflik tersebut menghentikan peran serta negara ketiga, yang dapat memperburuk situasi.

Ke depan, keterlibatan Korea Utara di Ukraina diperkirakan akan mempengaruhi hubungan internasional di Asia dan Eropa. Amerika Serikat dan sekutunya di NATO kemungkinan akan meningkatkan tekanan terhadap Rusia dan Korea Utara, baik melalui sanksi ekonomi maupun diplomatik. Sementara itu, pemerintah Ukraina menyatakan bahwa mereka terus berjuang melawan kekuatan besar yang didukung oleh berbagai negara, namun tetap mempertahankan harapan untuk meraih kemenangan demi kedaulatan negara mereka.

Eropa Pertimbangkan Sanksi Baru atas Eskalasi Nuklir Iran

Tiga negara besar Eropa—Britania Raya, Perancis, dan Jerman—mengindikasikan kemungkinan penerapan kembali sanksi terhadap Iran jika negara tersebut terus melanjutkan pengembangan program nuklirnya.

Dalam surat resmi yang dikirimkan kepada Dewan Keamanan PBB, ketiga negara ini, yang dikenal sebagai E3, menegaskan komitmen untuk mencari solusi diplomatik guna menangani isu nuklir Iran.

“Kami tetap bertekad memanfaatkan semua jalur diplomasi untuk mencegah Iran mengembangkan senjata nuklir, termasuk penerapan mekanisme ‘snapback’ jika diperlukan,” tulis pernyataan tersebut.

Mekanisme Snapback dalam Perjanjian Nuklir
Mekanisme “snapback” merupakan bagian dari perjanjian nuklir internasional tahun 2015. Ketentuan ini memungkinkan pengembalian sanksi yang sebelumnya dicabut, jika Iran melanggar kesepakatan.

Kesepakatan nuklir 2015, yang melibatkan Iran dan enam kekuatan dunia—Perancis, Jerman, Britania Raya, China, Rusia, dan Amerika Serikat—memberikan pelonggaran sanksi ekonomi sebagai imbalan atas pembatasan aktivitas nuklir Iran.

Namun, pada 2018, Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump secara sepihak keluar dari perjanjian ini dan kembali memberlakukan sanksi terhadap Iran.

Sebagai balasan, Iran meningkatkan pengayaan uranium hingga 60 persen, mendekati level 90 persen yang diperlukan untuk pembuatan senjata nuklir.

Titik Kritis dan Resolusi Dewan Keamanan PBB
E3 memperingatkan bahwa situasi akan mencapai fase kritis pada tahun depan, mengingat Resolusi Dewan Keamanan PBB 2231 yang mendukung perjanjian nuklir 2015 akan berakhir pada Oktober 2025, tepat satu dekade setelah perjanjian tersebut disahkan.

“Iran harus mengambil langkah untuk mengurangi eskalasi program nuklirnya guna menciptakan kondisi politik yang kondusif bagi solusi diplomatik,” tegas E3 dalam suratnya.

Upaya Diplomasi Lanjutan
Dewan Keamanan PBB dijadwalkan membahas masalah nuklir Iran pekan depan. Pertemuan antara perwakilan E3 dan Iran di Jenewa bulan lalu menghasilkan kesepakatan untuk melanjutkan dialog diplomatik.

Sementara itu, Iran terus menegaskan bahwa program nuklirnya murni untuk tujuan damai dan menyangkal memiliki ambisi untuk mengembangkan senjata nuklir.

Tragedi Kabul: Menteri Pengungsi Afghanistan Tewas dalam Serangan Bom Bunuh Diri di Kantor Kementerian

KABUL – Dunia kembali dikejutkan oleh berita duka dari Afghanistan. Khalil Ur Rahman Haqqani, Menteri Urusan Pengungsi Afghanistan, menjadi korban tewas dalam serangan bom bunuh diri yang terjadi di kantor kementeriannya di ibu kota Kabul pada Rabu (11/12/2024). Peristiwa ini mengguncang tidak hanya pemerintah Afghanistan, tetapi juga komunitas internasional yang terus memantau situasi keamanan di negara tersebut.

Pejabat pemerintah setempat mengonfirmasi bahwa Khalil tidak sendirian dalam menghadapi ajalnya. Sejumlah rekannya juga turut menjadi korban dalam serangan mematikan ini. Taliban, yang kini memegang kendali pemerintahan sejak 2021, segera menuding kelompok militan ISIS sebagai dalang di balik serangan brutal tersebut.

Pihak ISIS tidak butuh waktu lama untuk mengklaim tanggung jawab. Mereka merilis foto pelaku yang dikatakan bertanggung jawab atas pemboman tersebut. Melalui kantor berita Amaq, yang laporannya diterjemahkan oleh SITE Intelligence Group, diketahui bahwa pelaku berhasil menembus barikade keamanan di markas besar sebelum akhirnya meledakkan diri menggunakan rompi peledak.

Juru bicara pemerintahan Taliban, Zabihullah Mujahid, dengan tegas menyatakan bahwa Khalil adalah seorang pejuang hebat yang gugur sebagai martir. “Khalil adalah simbol keberanian dan dedikasi,” ujarnya dengan penuh haru. Taliban kini telah memblokir jalan menuju Kementerian Pengungsian dan menempatkan personel keamanan di atap-atap gedung sekitarnya, menciptakan suasana yang sangat tegang dan mencekam.

Kementerian Pengungsian sendiri adalah tempat yang sering dipenuhi oleh para pengungsi yang mencari bantuan atau mengurus berbagai kasus relokasi. Afghanistan saat ini menjadi rumah bagi lebih dari tiga juta pengungsi perang, menjadikan kementerian ini sangat vital bagi masyarakat yang terdampak konflik berkepanjangan.

Khalil Ur Rahman Haqqani dikenal sebagai figur yang sering tampil di depan publik dengan membawa senjata otomatis, mencerminkan karakter yang tegas dan siap bertempur. Ia adalah saudara Jalaluddin Haqqani, pendiri jaringan Haqqani yang terkenal karena kekejamannya, dan juga paman dari Sirajuddin Haqqani, Menteri Dalam Negeri Afghanistan saat ini. Di usia 58 tahun, Khalil masuk dalam daftar sanksi Amerika Serikat dan PBB, dengan Washington menawarkan hadiah 5 juta dollar AS untuk informasi tentang keberadaannya.

Kematian Khalil menambah daftar panjang pemimpin senior Taliban yang tewas sejak kelompok ini kembali berkuasa. Beberapa di antaranya termasuk gubernur provinsi, komandan, dan ulama yang menjadi target serangan ISIS. Kelompok militan ISIS-K, cabang regional dari ISIS yang beroperasi di wilayah Khorasan, sangat aktif di Afghanistan dan sering melancarkan serangan yang menargetkan warga sipil, orang asing, serta pejabat Taliban.

Situasi ini menunjukkan betapa rapuhnya keamanan di Afghanistan, meski Taliban telah berusaha mengendalikan keadaan. Serangan terhadap Khalil Ur Rahman Haqqani tidak hanya memperlihatkan keganasan ISIS, tetapi juga menyoroti tantangan besar yang dihadapi oleh pemerintah Afghanistan dalam upaya mereka menciptakan stabilitas dan perdamaian di tengah kekacauan yang melanda negara tersebut.

Negara Rusia Tegaskan Perang Ukraina Berlanjut Sampai Tujuan Vladimir Putin Tercapai

Moskow – Pemerintah Rusia kembali menegaskan komitmennya dalam melanjutkan perang di Ukraina, dengan menekankan bahwa konflik ini tidak akan berhenti sampai tujuan Presiden Vladimir Putin tercapai. Dalam pernyataan resmi yang dirilis oleh Kementerian Luar Negeri Rusia, pihak berwenang menegaskan bahwa operasi militer di Ukraina adalah bagian dari upaya untuk melindungi kepentingan keamanan Rusia dan memastikan stabilitas wilayah tersebut.

Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menyatakan bahwa meskipun banyak negara internasional mendesak Rusia untuk menghentikan perang dan mencari solusi diplomatik, Rusia akan terus melanjutkan operasi militernya sampai “tujuan strategis” Putin tercapai. Peskov juga menegaskan bahwa tujuan utama Rusia adalah untuk memastikan bahwa Ukraina tidak bergabung dengan NATO dan untuk melindungi wilayah yang dianggap sebagai bagian dari “keamanan jangka panjang” negara tersebut.

Pernyataan ini muncul setelah adanya serangkaian pembicaraan internasional yang berupaya mencari penyelesaian damai. Namun, upaya tersebut gagal mencapai titik temu yang signifikan, dengan Rusia menuntut agar Ukraina menerima status yang lebih netral dan tidak memiliki hubungan dengan aliansi Barat.

Meski begitu, serangan dan pertempuran terus berlanjut di wilayah timur Ukraina, dengan pasukan Rusia semakin memperkuat cengkeramannya di beberapa wilayah strategis. Negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa, terus mengutuk agresi Rusia dan memberlakukan sanksi ekonomi, meskipun efeknya terhadap kebijakan Rusia sejauh ini tampak terbatas.

Pemerintah Ukraina, di sisi lain, tetap berkomitmen untuk mempertahankan kedaulatan wilayahnya dan menegaskan bahwa mereka tidak akan pernah menerima pembagian atau kompromi atas integritas teritorial negara mereka.

Serahkan DIPA 2025, Prabowo: Tidak Boleh Lagi Ada Toleransi Kebocoran Pengeluaran

JAKARTA – Pada Selasa (10/12/2024), Presiden Prabowo Subianto resmi menyerahkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan Buku Alokasi Transfer ke Daerah (TKD) Tahun 2025 di Istana Negara, Jakarta Pusat. Penyerahan ini menandai dimulainya pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.

Dalam sambutannya, Prabowo menekankan pentingnya efisiensi dalam penggunaan anggaran, terutama dalam mendukung kesejahteraan rakyat. Ia meminta pemerintah daerah (Pemda) untuk memastikan bahwa setiap anggaran yang disalurkan benar-benar sampai ke masyarakat yang membutuhkan, tanpa adanya pemborosan.

“Kita harus memastikan setiap rupiah digunakan secara tepat sasaran. Tidak ada toleransi terhadap kebocoran anggaran yang tidak produktif, apalagi yang tidak langsung mengatasi kesulitan rakyat,” tegas Prabowo di hadapan pejabat Pemda yang hadir dalam acara tersebut.

Presiden juga menyarankan untuk menghindari pengeluaran yang tidak memberikan dampak nyata bagi pembangunan. “Saat ini bukan waktunya untuk menghabiskan anggaran untuk kajian yang berlebihan atau seminar yang tidak menghasilkan solusi nyata. Kita perlu bertindak cepat dan tepat untuk mengatasi permasalahan yang ada,” tambahnya.

Lebih lanjut, Prabowo mengungkapkan bahwa APBN 2025 disusun dengan hati-hati, menjaga stabilitas dan keberlanjutan ekonomi. Fokus utama dari anggaran tahun depan adalah efisiensi dan penghematan di segala sektor, seiring dengan upaya pemerintah untuk menghadapi tantangan ekonomi global yang penuh ketidakpastian.

“Penggunaan anggaran harus dilakukan secara efisien. Kita harus mengurangi pemborosan dan berfokus pada pengeluaran yang produktif. Di tengah tantangan ekonomi yang tidak menentu ini, kita harus bisa mengikat sabuk kita lebih ketat dan mengurangi kebocoran dari anggaran negara,” ujar Prabowo.

Penyerahan DIPA 2025 ini juga menunjukkan komitmen pemerintahan Prabowo untuk mewujudkan Indonesia Maju, dengan pemanfaatan anggaran yang lebih terarah dan berkelanjutan. Pemerintah akan terus bekerja keras untuk memastikan bahwa setiap alokasi dana memberikan manfaat maksimal bagi rakyat Indonesia.